SEBAGAI medium literasi dan artistik, tinta telah digunakan lebih dari dua milenium silam. Pada tinta, gagasan dan jiwa manusia diurai, disimpan dan dikembangkan secara terus menerus, mulai citra pada dinding gua, berjuta buku di hampir semua perpustakaan, hingga cetak biru gedung pencakar langit dan desain pesawat luar angkasa. Mengurai tinta, karenanya, tak ubahnya mengurai peradaban kita.
Di tengah lanskap besar itu, pengggunaan tinta dalam seni rupa kontemporer menarik untuk diperhatikan. Sedikit di antaranya dilakukan perupa Bambang Heras dalam pameran bertajuk Mangsimili: Trilateral Solo Art Exhibiton. Mangsimili berasal dari kata mangsi, artinya tinta (turunan dari kata India masi yang artinya tinta—bahan penulisan naskah sejak zaman kuno), sedang mili artinya mengalir. Sesuai judulnya, pameran Mangsimili menampilkan lukisan aliran tinta sebagai medium ekspresinya.
Pameran Mangsimili diselenggarakan secara kolosal dan estafet di tiga galeri sekaligus, yaitu Kiniko Art Room Sarang Building milik Jumaldi Alfi (2/4)2018), Plataran Djoko Pekik (17/4/2018) dan Studio Kalahan Heri Dono (2/5/2018), ketiganya di Yogyakarta. Di Sarang Building pameran menampilkan lukisan kertas hasil interaksi dan refleksi tentang manusia, flora dan fauna. Di Plataran Djoko Pekik, Heras berkesperimen melukis tinta di atas kanvas berskala besar. Sedang di Studio Kalahan, Heras menghadirkan karya eksperimental berupa lukisan perkakas rumah tangga dan performance art dengan dukungan musik, video dan tari.
Pada masing-masing galeri, Heras melakukan presentasi secara interaktif dengan format yang disesuaikan dengan karakter galerinya. Dengan cara itu, karya-karyanya dapat menyatu dengan alam keruangan masing-masing galeri untuk selanjutnya menarik ekosistemnya ke dalam konsep dan aura yang ritawarkan karya-karyanya. Singkatnya, Heras berusaha mendefinisikan ruang secara emik (sesuai alam pikiran galeri) dan gradual (dari dalam dan perlahan-lahan), sehingga memudahkan publik memasuki lanskap imajinatif dalam karya-karyanya.
Aliran tinta dan imajinasi
Strategi Heras dalam merespon galeri ke dalam format dan tema tertentu tak jauh beda dengan cara kerja melukis dengan tinta. Karena sifatnya yang cair dan mudah kering, tinta amat sulit dikontrol dengan presisi sebagaimana cat minyak dan akrilik. Lelehan tinta pada tahap awal membentuk bercak yang kemudian direspon dengan sketsa dan drawing berupa objek figuratif tertentu, kemudian diguyur dan dipertegas lagi sehingga membentuk gradasi, tekstur dan dmensi.
Karena sifat materialnya itu, tinta bukan lagi semata medium melukis, tetapi juga subjek yang diajak berdialog oleh seniman. Dengan kata lain, Heras tidak hanya melukis dengan tinta tetapi “bersama” dengan tinta. Keduanya berkolaborasi demi mencapai kualitas estetika yang diinginkan. Metode tersebut merefleksikan kerja kreatif Mangsimili sebagai hasil dialog (bukan monolog) praktikal dan eksperiensial antara aspek kultural (gagasan atau konsep seniman) dengan natural (karakteristik material tinta, kertas dan kanvas) dengan seniman sebagai medium kreatornya.
Terdapat dua konsekwensi dari mekanisme melukis seperti di atas. Pertama, konsekwensi teknis. Heras dituntut menggunakan berbagai teknik yang dilakukan baik secara simultan maupun sekuensial. Pada karya-karyanya dapat kita saksikan lelehan tinta di tahap awal, sketsa dari bentuk mula yang diinginkan, drawing yang mengembang di atasnya, lelehan dan garis lagi, demikian secara bertumpuk dan berjenjang sehingga merefleksikan berbagai tingkatan realitas dari objek yang digambarkan. Karakter lukisan tersebut seakan merefleksikan sedimentasi dari arkeologi bawah sadar umat manusia yang berlapis-lapis, dari imaji alam masa kini di lapisan muka hingga yang paling purba pada lapisan yang lebih dalam.
Kedua, konsekwensi konseptual. Mengingat karakteristik material dan teknik yang digunakan, dalam lukisan-lukisan Heras batas antara realitas (natural) dan imajinasi (kultural) tidak dapat dibedakan secara tegas. Keduanya saling membentuk dan melahirkan. Sebagaimana diungkapkan oleh Heri Dono, hal tersebut tampak paling jelas dalam action painting di Studio Kalahan di mana Heras melukis pada kelir untuk merespons bayangan penari yang bergerak di baliknya. Di sana batas antara lukisan dan modelnya menjadi kesatuan karena memiliki peran yang sama besar dalam proses penciptaan karya seni.
Dialog imajinatif yang didukung aspek teknikal dan konseptual di atas telah cukup berhasil menghadirkan sintesa magis dan imajinatif sebagai hasil “dialog” seniman dengan beragam “kolaboratornya”: aneka satwa, flora, benda-benda dan manusia. Berbagai subjek sederhana itu, yang amat biasa kita saksikan sehari-hari, dapat hadir sebagai entitas yang menggugah dan penuh misteri: manusia yang lahir dari bongkahan batu, bunga lotus yang mekar di langit, ikan yang berkitar menembus gugusan kaktus, malaikat yang letih dan murung, juga lilin, meja, arca seorang dewi, serta ratusan figur imajiner lainnya.
Hasil “kolaborasi” Heras dengan tinta tersebut telah berhasil mewarnai realitas yang profan menjadi sakral dengan mentransendesnsi realitas material sehari-hari lewat tampilan berenjang, deformasi aneka figur dan komposisi yang tidak biasa. Dalam konteks masyarakat modern, usaha tersebut telah membantu menghadirkan realitas secara baru agar lebih mudah intim dengan ruang ruhani, sekaligus mengurangi alienasi manusia agar dapat kembali menjadi subjek sejarah yang saling memaknai satu sama lain. Dengan cara itu, produksi kultural dan spiritual berkembang secara signifikan, bukan hanya material seperti dalam kerja industrial.
Panggilan Peradaban
Apa yang dilakukan oleh Heras, pada akhirnya, akan berdialog dengan para seniman tinta di berbagai kawasan dan zaman, mulai seniman purba yang menggambar tatanan kosmis di dinding gua, para seniman realis Barat, juga para pelukis impresionis dan puitis Tiongkok. Dalam konteks ini, lukisan tinta tak lagi sebuah imajinasi visual yang menggetarkan, namun telah menjadi semacam “ajaran” atau “lelakon” hidup dari para seniman dan penikmatnya.
Di samping itu, usaha Heras juga dapat disandingkan dengan para pengguna tinta di luar tujuan visual seperti para penyalin naskah di berbagai scriptorium. Kerja mereka tak hanya menyimpan dan mengembangkan peradaban, tetapi juga menandai tranformasi dari budaya literal-visual dan pergeserannya dari kawasan satu ke kawasan lain serta zaman ke zaman sesuai putaran peradaban. Bahkan, fungsi tinta sebagai medium literasi dapat dikatakan lebih massif dan signifikan implikasinya terhadap kehidupan, yang pada aspek tertentu sering berbarengan dengan fungsi visualnya sebagaimana ilustrasi di tepian kitab-kitab klasik.
Di balik peran besar tinta sebagai medium visual dan literasi itu juga terdapat kerja eksperimen para alkemis demi menghasilkan tinta berkualitas tinggi, dari bahan nabati bercampur logam yang diproses di masa Firaun, bahan nabati dan hewani di India dan Tiongkok, hingga eksperimen-eksperimen kimia tingkat lanjut di masa modern. Tidak sedikit para skriptografer dan seniman yang merangkap sebagai alkemis amatir dengan membuat tinta sendiri, terutama di tengah keterbatasan industri spesifik pada dahulu.
Di tengah berbagai ekspresi, fungsi dan inovasi “peradaban tinta” itulah karya-karya Heras menjadi mungkin untuk lahir, ditempatkan dan didialogkan. Di satu sisi, ia telah menawarkan sesuatu yang segar di tengah lanskap tersebut, namun di sisi lain masih terdapat “khazanah tinta” yang dapat direspons lebih lanjut. Jika karya-karyanya kali ini menarik untuk ditempatkan sebagai cenderamata untuk peradaban, bukan mustahil pada masa mendatang giliran gugusan peradaban yang akan ditempatkan oleh si seniman dalam karya-karyanya. (T)