KOPLAK menatap Kemitir dengan serius. Kemitir melotot dan menatap kembali mata ayahnya dengan perasaan dan pikiran yang sedikit mengganggu.
“Ada apa? Bape menatapku dengan tatapan aneh seperti itu?” Kemitir merengut dan beringsut dari hadapan Koplak. Koplak masih terdiam. Kemitir makin penasaran,” ada apa, Bape? Ada yang ingin Bape bicarakan dengan tiang?” tanya Kemitir serius, karena selama menjadi anak Koplak, Kemitir tidak pernah melihat Koplak menatapnya dengan sorot mata yang sedikit aneh, sorot mata yang penuh rasa kuatir, sorot mata yang penuh tanda tanya, sorot mata yang sulit dieja Kemitir.
Koplak masih terdiam. Nafasnya ditarik, terlihat agak berat. Terasa sekali ada beban yang mengisi seluruh lubang-lubang paru-parunya. Sesekali Koplak menunduk, mencoba menyibukkan diri menggiling kertas rokoknya.Salah satu kebiasaan unik di kalangan perokok adalah tradisi yang menggiling rokok sendiri terasa seperti melakukan “ritual” melinting sendiri sambil menghirup bau tembakau.
Bagi Koplak aktivitas melinting rokok memiliki nilai keasyikan tersendiri. Yakni, ketika jemari mulai memilih tembakau dan menatanya di atas kertas rokok atau biasa disebut papir lantasmenaburi dengan cengkeh. Komposisinya tak memakai ukuran pasti, namun feeling mereka sudah terlatih untuk menghasilkan racikan bercitarasa khas pada setiap batang rokok.
Kemudian, dengan lihai, kedua telapak tangan dan jari-jarinya bergantian memilin secara perlahan hingga terasa kencang. Terkadang, mereka menjilat pinggiran-pinggiran papir, rasanya manis dan gurih. Setelah itu, ludah yang tersisa di papir dipakai untuk pelekat. Ritual yang menenangkan Koplak. Tetapi kali ini Koplak merasa beban bratnya tidak bisa pindah ke kertas papir yang dipilinnya. Kegundahannya juga tidak bisa dipangkas oleh bau cengkeh dan tembakau. Apa yang salah dengan hari ini?
“Bape tidak ke kantor hari ini?” tanya Kemitir berusaha mencairkan keadaan. Tiba-tiba saja Kemitir merasa ada sesuatu yang dipendam Koplak. Ah, Kemitir merasa sangat berdosa. Selama ini dia merasa terlalu disibukkan dengan bisnis cafenya di Denpasar. Bisnis yang makin berkembang melampaui impiannya. Gerai-gerai kopinya segera dibuka di tempat-tempat pariwisata, dan banyak “klien” dari pelbagai daerah juga luar negeri berusaha menawarkan beragam ide dan kerjasama yang menggiurkan.
Diusianya yang ke-21 tahun, Kemitir telah suskses sebagai “pedagang kopi”, dulu ketika kanak-kanak Kemitir ingat istilah “Dakocan” akronim dari, Dagang Kopi Cantik. Istilah itulah yang Kemitir rasa membuat keberuntungan yang beruntun menghajar hidupnya sehingga Kemitir tidak perlu lagi pontang-panting mencari pekerjaan setelah tamat kuliah dari Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana. Kemitir ingat kata-kata seorang perempuan tua di kantin tempatnya makan siang. “Hidup itu sudah ada yang mencatat, untung-buntung itu sudah ditulis di jidat,” kata perempuan di kantin kampusnya. Dulu, kata-kata itu seperti angin. Hari ini kata-kata perempuan itu seperti gasing yang meninggalkan jejak putarannya di tanah.
Kemitir menatap Koplak, berusaha meraba, membaca, juga mengeja pikirannya ayahnya, lelaki kelahiran 30 September 1971. Lelaki yang menjadi teman, ayah sekaligus ibu bagi Kemitir. Kemitir merengut pikirannya tiba-tiba seperti gasing berputar dan melukai hatinya. Apakah ini waktunya ayahnya yang selama ini setia pada cintanya telah jantu cinta pada perempuan lain? Membayangkan ayahnya jatuh cinta pada perempuan lain, ada pisau tajam yang melukai pikiran Kemitir.
Sebagai perempuan yang tumbuh makin dewasa Kemitir juga sadar ayahnya pasti kesepian sejak ditinggal ibunya, Ni Luh Wayan Langir yang meninggal setelah memuntahkan Kemitir dari tubuhnya. Bahkan, menurut orang-orang Langir bahkan tidak pernah melihat wujud daging yang diperamnya selama delapan bulan sebelas hari. Langir bahkan tak pernah menyentuh tubuh Kemitir. Tetapi, Kemitir tidak pernah merasa kesepian, tidak pernah merasa kehilangan, Koplak telah menjadi ayah-ibu sekaligus.
Dan, saat ini, mungkinkah ayahnya telah menemukan perempuan yang cocok untuk menemaninya di masa tua? Tegakah ayahnya menyapu bersih beragam kenangan yang telah tertatam permanen di hati, pikiran, juga nafas hidupnya? Lalu, siapkah Kemitir berhadapan dengan perempuan baru? Perempuan yang mungkin akan menyita seluruh perhatian ayahnya. Perempuan yang dijamin belum tentu cocok dengan Kemitir. Perempuan yang mungkin saja akan memiliki banyak aturan. Perempuan yang bisa saja membuat ayahnya lupa memiliki Kemitir. Kemitir menarik nafas tiba-tiba saja ada perasaan berat dan membuatnya kehilangan gairah.
Siapa perempuan itu? Seperti apa gayanya? Apakah perempuan itu seorang janda? Janda yang memiliki anak seusia Kemitir? Jika, iya. Celaka! Bagamana kalau anak-anak janda itu seperti cerita dongeng bawang merah dan bawang putih. Celaka, bisa jadi Si Upik Abu. Kemitir terus dirajam pikiran-pikiran buruk yang tidak jelas, sementara Koplak terlihat semakin gelisah, berkali-kali Koplak menatap dan melirik anak gadisnya.
“Bape…” Kemitir berkata dengan terbata-bata. Menyusun kekuatan untuk berusaha berada di posisi seimbang. Bagamanapun, Kemitir harus iklas jika ayahnya akan kawin lagi, “Bape…” Kemitir kembali menyusun kata-katanya di otaknya agar kata-katanya tidak menyinggung perasaan Koplak.
“Kau ingin bicara apa?” Koplak berkata sambil menatap Kemitir serius.
“Begini, Bape. Tiang nunas iwang, mohon maaf jika kata-kata tiang akan membuat Bape terluka atau membuat Bape tersinggung. Sudah sejak lama tiang berpikir, ada baiknya Bape mulai saat ini mencari teman hidup. Minimal bisa Bape ajak menemani hari-hari Bape, sehingga Bape tidak kesepian. Ada teman untuk bicara, ada orang yang setiap pagi bisa membuatkan sarapan untuk Bape… Ada….”
Koplak menatap mata Kemitir dengan penuh tanda tanya.
“Aku tidak ingin mencari perempuan untuk teman hidupku, Kemitir. Kau tahu apa yang membuat aku kehilangan selera makan. Bahkan aku merasa tidak bisa bernafas setiap bangun tidur. Kau tahu apa yang ada di dalam pikiranku?!” Koplak berkata sedikit geram. Kemitir beringsut dan menatap ayahnya serius, “kau tahu apa yang ada di otakku?” Tanya Koplak lagi dengan intonasi tinggi, “Bape, sedang berduka, kau baca apa yang dilakukan seorang guru, wali kelas sekolah dasar yang tega meracun ketiga orang anaknya. Anak-anaknya sendiri yang dilahirkan dengan susah payah. Bagaimana kamu bisa berpikir Bapemu ini harus kawin lagi. Bagaimana kalau perempuan yang Bape kawini meracunmu! Juga meracun, Bape?!” Koplak berkata makin keras. Kemitir beringsut menatap ayahnya.
Koplak terdiam. Lega rasanya telah mengeluarkan unek-uneknya. Perempuan-perempuan kadang-kadang memang selalu berpikir dengan hati tidak dengan pikirannya. Tahukah Kemitir, selama ini Koplak sudah membuktikan kesetiaannya sebagai ayah-ibu, juga sebagai lelaki-perempuan sekaligus untuk menjaga cintanya pada Langir. Bayangkan saja, jika perempuan baru yang ada di rumahnya juga memiliki niat negatif, ingin meracun. Koplak terdiam. Perempuan! (T)