KOPLAK berkali-kali memutar nomor telpon anak perempuan semata wayangnya, Ni Luh Putu Kemitir dengan tangan yang gemetar, dan detak jantung yang terasa tidak normal. Keringat dingin terus menetes. Ketiaknya basah. Punggungnya juga basah. Dahinya terasa panas.
Hatinya tidak tenang, karena terus gemetar Koplak pun semakin merasa diteror dengan perasaan tidak jelas. Oh Hyang Jagat! Hyang Widhi! Koplak terus nyerocos berusaha memanggil beragam kekuatan niskala yang dianggap bisa menenangkan aliran darahnya yang terasa mengalir dengan cara tidak benar.
“Jika menghadapi masalah dengan pikiran kusut, otomatis penyelesaiannya juga akan berbuntut.”
Kata Kacong serius.
“Berbuntut?”
“Ya, tidak akan tundas. Tidak juga tandas.”
“Bahasamu terlalu tinggi!”
“Mulai sekarang kita-kita ini yang harus berlatih belajar menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, Koplak.”
“Kita?”
“Ya, minimal aku dan kamu.”
“Bicaramu seperti pejabat penting saja, Kacong.”
“Sekarang kita ini harus mulai belajar menghormati diri kita sendiri, Koplak. Kalau kita tidak bisa menghormati diri kita sendiri. Memangnya siapa yang kamu suruh menghormati dirimu?”
“Sejak kapan kamu berubah jadi gila hormat?”
“Sejak tiang sadar bahwa sekecil apa pun diri ini harus kita hormati. Pejabat di Jakarta juga membuat undang-undang untuk menjaga kehormatannya. Masak kita tidak boleh menjaga kehormatan kita.”
Koplak makin panas dingin dan kembali memencet nomor telpon anak perempuan. Aneh sekali? Sudah hampir dua minggu, Kemitir tidak menengoknya? Kemana anak itu? Sadarkah anak perempuan semata wayangnya itu bahwa semakin hari dunia ini semakin buas dan ganas, juga panas.
“Kau sekarang pejabat, Koplak.”
“Hanya Kades.”
“Itu namanya tetap p e j a b a t. Pemilik k e k u a s a an!”
“Maksudmu apa, Kacong?”
Koplak semakin pusing dengan kata-kata Kacong, tetangga di depan rumahnya yang selalu gelisah, jujur saja setiap kedatangan Kacong ke rumah Koplak. Koplak merasa terganggu. Tepatnya, tidak nyaman. Bagaimana mungkin Kacong, lelaki seumuran dirinya yang tidak pernah menikah dan tidak juga suka kerja keras memiliki ide-ide yang kadang-kadang tidak masuk akal. Ada saja yang dibicarakannya. Semua warga di desa Sawut tahu persis, jika Kacong bertandang itu artinya duitnya sudah menipis, dan lelaki bertubuh pendek dan bulat itu bertandang dengan tujuan meminta ikut minum kopi. Sudah menjadi kebiasaan warga desa Sawut, memberi kopi kepada Kacong. Memang mereka tidak mengeluh, Kacong juga tidak minta ini-itu. Dikasih ya, syukur. Tidak dikasih lelaki itu juga tidak protes juga tidak mengamuk.
Dan, pagi ini, giliran Koplak kedatangan Kacong. Seperti biasa lelaki itu bahkan tidak mandi. Baunya cukup menyengat. Koplak memang merasa sedikit terganggu juga, tetapi sebagai “sepuh” di desa Sawut, Koplak pun harus berusaha menyusun kekuatan untuk “tabah” berhadapan dengan beragam konsep-konsep yang selalu dikeluarkan Kacong. Lelaki tambun ini memang sesungguhnya tidak bodoh, hanya malasnya minta ampun! Kadang-kadang membuat senewen juga.
“Tiang tidak ingin kawin, kawin buat hidup jadi ribet dan ruwet. Hidup sendiri itu lebih terhormat, tidak menganggu orang lain. Tidak juga merugikan orang lain. Contohnya, jika tiang ingin teman ngobrol cukup datang ke tempat tetangga. Minimal ikut menghibur diri sambil ikut minum kopi. Itu kan pekerjaan terhormat. Minimal ikut mengusir rusuh-rusuh di hati. Dengan berbicara dengan tiang kau pasti merasa terhibur, Koplak.” Kacong berkata santai sambil menghirup wangi kopi yang disuguhkan Koplak. Sejak tadi kopi itu belum juga diteguknya.
Koplak terdiam. Kembali melirik telpon genggamnya. Ke mana Kemitir? Di mana posisinya saat ini? Hati Koplak cemas sekaligus gemas!
“Kau punya pacar? Seperti anak abg saja sebentar-sebentar melirik hp?” Kacong berkata pelan. Koplak mendelik, wajahnya berubah tidak senang.
“Sudah layak kamu punya istri lagi, Koplak. Kamu itu kan Kades, harus punya bu Kades minimal untuk menemani kau menggunting pita jika ada perayakan di desa ini.” Kacong terus nyerocos tentang ini-itu. Koplak semakin pening, pikirannya kacau, kemana Kemitir? Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi padanya? Pikirannya macam-macam. Apalagi tadi pagi dia membaca sebuah berita seorang anak perempuan yang duduk di bangku SMP ditemukan tidak bernyata setelah bersetubuh dengan pacarnya yang usianya jauh lebih tua. Koplak terus memencet telponnya. Tetap tidak ada tanda-tanda bahwa telpon anaknya hidup.
Sementara Kacong terus berteori tentang menjadi manusia terhormat. Koplak makin pusing, dadanya turun naik antara menahan marah dan sumpek.
“Kacong! Bisakah kau pulang?! Aku sedang tidak enak badan!” Koplak berusaha mengusir Kacong yang melongo dan menatap Koplak dengan tatapan aneh. Koplak menarik nafas, untung tidak keluar kata-kata kasar dan meracau. Kacong pun beringsut dari kursi dan bergegas pergi dengan tatapan penuh tanda tanya. Koplak kembali menarik nafas, jantungnya terasa berdetak kembali kali ini lebih cepat dan tidak beraturan, ketika Kemitir sudah berdiri di depan pintu pagar dan menatap Koplak dengan penuh tanda tanya.
“Kenapa pan Kacong pergi terburu-buru. Kemitir kan sudah bilang pada Bape, kalau ingin dihormati warga, Bape sebagai penguasa di desa ini harus juga hormat pada warga. Jangan minta dihormati saja. Jadi penguasa yang memegang kekuasaan itu juga harus tahu diri, Bape. Bape sekarang berkuasa dan menjadi warga desa Sawut yang dihormati kan karena rakyat desa Sawut. Bape ingin bergaya seperti orang-orang yang berkuasa di TV itu? Sudah korupsi! Tidak punya malu, dan masih gila hormat…. Tidak bisa dikritik, mau menang sendiri! “ Kemitir terus bicara dan menatap mata Koplak heran. Koplak terdiam. Menahan nafas sebelum membela diri. Koplak tersenyum.Syukurlah, Kemitir masih sehat. Masih hidup! Koplak berkata dalam hati. Kemitir menatap ayahnya sambil mengeryitkan alisnya. Lalu memegang dahi Koplak.
“Bape sakit?” Kemitir menatap Koplak dengan tatapan aneh. (T)