SESUNGGUHNYA tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, suasana yang terasa di pesisir timur-laut kota Singaraja, Buleleng, Bali, Rabu 15 Februari hingga Kamis 16 Februari 2018. Ini tentu karena perayaan Tahun Baru Imlek 2569 atau di Bali biasa juga disebut Galungan Cina.
Orang-orang masuk ke pesisir – di mana di situ terdapat sebuah klenteng tua bernama Klenteng Ling Gwan Kiong – dengan wajah sumringah. Busana merah mendominasi dan keriangan anak-anak bersatu dengan desir angin yang agak keras dari laut.
Di telinga lamat-lamat terdengar suara gamelan Bali, seperti tabuh telu dan tabuh pat lelambatan, mendayu-dayu. Jika berada di sekitar klenteng saat itu, kita seakan dibawa kepada sebuah tempat, entah di mana, bukan di Bali, bukan pula di Cina. Hanya hati yang bersih bisa melukiskan tempat apakah yang sedang kita kunjungi saat itu.
Suara gamelan itu berasal dari klenteng. Suara gamelan yang sayup namun penuh getar itu dihasilkan dari pukulan panggul tangan-tangan orang Hindu, Bali. Tabuh itu mengiringi orang-orang Bali keturunan Tionghoa yang saat Tahun Baru itu begitu khusyuk sembahyang, memohon kebaikan, keberuntungan dan terhindarkan dari hal-hal buruk.
Yang datang sembahyang bukan hanya orang Bali keturunan Tionghoa. Orang-orang keturunan Bali asli juga banyak yang turut sembahyang. Ada yang berpakaian adat Bali, ada juga yang berpakaian sopan biasa. Lalu-lalang di sekitar klenteng member harap, bahwa Indonesia tetap damai-damai saja.
Perayaan Imlek di Singaraja, juga di sejumlah tempat lain di Bali, memang seperti itu, dari tahun ke tahun. Keunikan itu bukanlah dibuat-buat semacam membuat objek wisata baru. Keunikan itu muncul dari masing-masing hati yang bersih. Mereka tak mengarang diri, masing-masing memunculkan diri apa adanya, hingga yang tanpak dari semua itu adalah keadaan yang luar-biasa.
Iringan tabuh gong Bali dari sore hari hingga dini hari menyambut Tahun Baru Imlek, lalu ada atraksi barongsai di halaman klenteng dan anak-anak yang riang, seakan memberitahu kita bahwa tak ada masalah dengan perbedaan. Tak ada.
“Setiap perayaan imlek seluruh warga tionghoa merayakan dengan suka cita dan berbaur dengan warga asli Bali. Bahkan akulturasi antara budaya Tionghoa dan budaya Bali sudah terjadi sejak dahulu kala dan telah diwariskan hingga kini,” kata Wira Sanjaya. Dia adalah Ketua TITD Ling Gwan Kiong. (T)