RIBUT-RIBUT soal kartu kuning dari seorang mahasiswa UI untuk Presiden Jokowi sesungguhnya tak menarik perhatian gamer Mobile Legend semacam saya. Game ini sempat mengajari saya untuk tidak peduli, terutama soal polemik dan berita-berita yang dibagi di media sosial, yang hoax maupun yang fakta.
Namun 7 Februari 2018 saya berpaling dari game dan mata tersangkut di acara Mata Najwa. Tajuknya saat itu Kartu Kuning Jokowi: Awas Mahasiswa Ditunggangi Kepentingan Politik. Acara itu menghadirkan mahasiswa yang sedang jadi pembicaraan panas karena kartu kuningnya. Ya, kartu kuning – dia mahasiswa bukan wasit sepakbola.
Merasa jadi mahasisa, eh, mahasiswa, saya tertarik juga.
Apalagi, yang tertangkap di pikiran saya dari kata-kata yang disampaikan mahasiswa itu, kartu kuning adalah simbol kritik terhadap pemerintah terutama tentang isu gizi buruk di Asmat, Papua. Di Asmat, bukan di Medan lo ya.
Kritik ini menjadi kontroversial karena banyak yang kontra dan tidak sedikit yang pro. Yang kontra melihat ini aksi yang tidak sopan terhadap kepala negara katanya. Tapi yang pro mengapresiasi bahkan sampai menawarkan beasiswa ke luar negeri. Jaen gati!
Mungkin akibat pro-kontra itulah saya jadi ikut-ikutan tertarik dan ikhlas meninggalkan Mobile Legend sebentar saja.
Ketertarikan saya menemukan puncaknya ketika mendengar penjelasan mahasiswa itu di acara Mata Najwa. Jika saya tak salah dengar TV, katanya membaca buku dan artikel saja sudah cukup untuk mengetahui kondisi di Asmat.
Saya agak ragu juga, bagaimana mungkin bisa mengetahui (secara rinci) kondisi di suatu tempat tanpa pernah ke tempat itu? Apalagi dari situ kemudian ditarik sebuah kesimpulan. Lah, apa bisa yakin penulis buku atau artikel tentang Asmat yang dibaca itu juga pernah ke Asmat? Atau jangan-jangan penulis itu juga baca buku orang saja atau artikel di media online tanpa pernah melihat, meraba dan menerawang Asmat? Jangan-jangan, lho.
Saya jadi ingin membicarakan hal lain yang agak melenceng dari kartu kuning (tapi tetap bisa dihubungkan), yakni budaya copy-paste yang sepertinya sudah sering jadi perbincangan dalam dunia penulisan artikel, skripsi dan karya-karya ilmiah lain. Copy sana dan paste sini sebenarnya tak bisa dihindarkan di dunia serba instans ini. Dan itu tidak salah, bahkan sebenarnya menjadi satu syarat bagi dunia kepenulisan ilmiah.
Sebab, meng-copy teori dan pendapat ahli memang menjadi sebuah keharusan untuk di-paste pada karya tulis kita. Mungkin, dulu, sebelum ada media online, namanya bukan meng-copy, tapi menyalin, baik dengan tulisan tangan maupun dengan mesin ketik manual yang bunyinya tik-tik-tik seperti hujan jatuh di atas genteng.
Jika tak ada teori yang di-copy dan di-paste, siap-siaplah mendengar pekik marah dari dosen pembimbing. “Mana teorinya? Cari dulu!” Begitu mungkin kata dosen. Perintah “cari dulu” itu bisa diubahartikan menjadi “copy dulu”. Bukan ngopi dulu, ya. Itu sih enak.
Tapi, copy-nya itu yang kadang bisa keblablasan. Bisa-bisa meng-copy seluruh karya tulis (skripsi) dari kakak kelas yang jauh di atas, dengan hanya mengganti tempat penelitian. Bahkan mungkin keterangan dan data-data tempatnya pun di-copy, bisa dari media online bisa juga dari hasil penelitian lain, tanpa pernah datang ke tempat itu.
Jadi, kesimpulan sederhananya, bahwa tidak cukup hanya dengan membaca buku atau artikel orang lain, lalu kutip sana kutip sini, copy sana, paste sini, seseorang sudah bisa dikatakan ahli.
Saran saya, bacalah artikel bagus ini:
Catatan Harian Sugi Lanus# Gelar Berjejer Kok Nyontek?
Bang Adrian Napitupulu yang juga hadir di acara Mata Najwa menegaskan bahwa mahasiswa adalah calon-calon pemimpin di masa depan, sama seperti dirinya dulu waktu tahun 98-an. Kata Bang Adrian, seorang pemimpin tumbuh dan besar bersama masyarakat. Pernah makan bersama rakyat, melihat air mata rakyat, mencium bau keringat rakyat.
Hmhmh, saya rasa analogi ini terlalu berat, Bang. Mahasiswa semacam saya ini gak akan kuat, apalagi cium bau keringat. Cium keringat sendiri mungkin sudah mau pingsan rasanya.
Saya coba memberikan analogi yang lebih sederhana. Yang sesuai dengan level mahasiswa zaman now seperti saya.
Misalnya, makan duren, makan lo ya bukan belah. Jika ingin mengetahui bagaimana rasa duren tu, ya harus makan. Bukan dengan membaca tulisan. Kalau disuruh cium bau duren begini semua pasti mau. Apalagi makan!
Biar tahu legitnya durian itu seperti apa. Sedikit endorse saja, jika ada yang belum pernah makan durian, datanglah ke Desa Tajun, Buleleng. Sebentar lagi akan ada festival makan duren sepuasnya. Kalau mau, hubungi teman saya, Cotex (pake X buka K) namanya.
Hidup Mahasisa, eh Mahasiswa! (T)