BERANGKAT dari beberapa minggu lalu ketika saya sempat dibuat tersihir dan tertarik pada sebuah game android. Awalnya agak risih juga melihat sejumlah teman saya yang terus-terusan bermain game. Lambat laun, setelah setiap hari bahkan setiap beberapa jam selalu mendengarkan nada game tersebut, akhirnya saya mencoba-coba.
Setelah mengerti dan semakin lihai memencet tombol-tombol navigasi akhirnya saya pun ketagihan bermain game itu. Dikarenakan smartphone yang kurang memadai, akhirnya demi memuaskan hasrat nge-game, gadget teman saya pun jadi korban. Sampai-sampai bila dihitung dan diprosentasekan terkait pemakaian, pemilik (teman saya) akan mendapat angka lebih sedikit daripada si peminjam (saya sendiri).
Pada akhirnya, setelah teman yang gadgetnya biasa saya pinjam untuk nge-game itu pulang, saya seperti merasakan gelisah. Hampir mirip perokok berat yang kehabisan rokok dan lagi kebelet ingin rokokan. Benar-benar sakau. Ambisi untuk meng-upgrade smartphone sangat menggelora di hati saya. Namun nasib tidak mengizinkannya. Dengan segenap kekecewaan dan iba, saya pendam keinginan itu dalam kantong tipis dompet saya.
Bukan hanya Mobile Legends juga sebenarnya, beberapa game kerap membuat manusia kecanduan bermain smartphone. Sempat pula Clash of Clans viral di tengah para pengguna gadget. Berbagai ulasan tentang tips and trick memenuhi semesta google perihal cara bermain game tersebut. Begitu pula youtube yang tak mau kalah menampilkan tayangan-tayangan game di beranda awal semakin membuat para gamers kecanduan dan bagi yang tidak tahu jadi semakin penasaran. Manusia menjadi makhluk pemuja game. Sebab melalui game tersebut, hasrat untuk memenuhi kebahagiaan bisa tercapai. Belum lagi sejumlah idealisme ala gamers yang membuat bermain game seolah menjadi kegiatan yang penuh manfaat dan mengesankan.
Barangkali, bila Karl Marx hidup pada zaman ini, maka yang dia legitimasikan sebagai “candu” bukan lagi agama, melainkan game. Game menjadi jalan terakhir dan pemasrahan diri bagi segenap kepenatan dan kegalauan manusia. Atau mungkin Marx akan mengulas fenomena ini dengan penafsirannya perihal teori keterasingan (alienasi), di mana manusia terasing dengan ciptaannya sendiri, yang pada konteks ini adalah game. Sehingga secara tidak langsung dan mau tidak mau, mereka seperti memuja dan mengagung-agungkan game.
Berapa banyak orang yang rela menghabiskan waktunya bahkan rela mengeluarkan uang untuk keberlangsungan karir game-nya. Tahun lalu bahkan sempat viral beberapa pemberitaan perihal game Pokemon yang miris hampir membuat banyak bencana. Sejumlah orang bahkan diberitakan meninggal karena ambisi untuk mendapatkan pokemon. Padahal yang mereka cari itu hanya terdapat di layar hp, tidak lebih. Dimakan juga tidak bisa. Apalagi membuat manusia masuk surga. Sangat utopis!
Sedikit merasa munafik juga menulis artikel ini ketika yang dirasa-rasakan bahwa saya juga suka nge-game dan dengan seolah paling lantang meneriakkan bahwa bermain game adalah kegiatan pragmatis tiada guna. Namun bagaimana lagi ketika kenyataan yang ada memanglah seperti ini. Manusia (termasuk saya) sadar sesadar-sadarnya bahwa bermain game itu tidak bermanfaat – paling-paling ada tapi sedikit – namun mereka terus melakukannya bahkan menganggap game itu adalah aktifitas utama mereka. Sampai-sampai makan yang menjadi kebutuhan utama hidup dinomorduakan.
Game hanyalah salah satu bagian kecil dari lingkaran besar yang banyak merubah hidup manusia melalui kecanggihan teknologi. Banyak hal lain yang juga membatasi pandangan manusia yang berkutat hanya pada kotak kecil yang bersinar. Mereka kemudian enggan dan apatis terhadap dunia luar. Mbak Maya seperti terlihat lebih anggun daripada Buk Nyata.
Zaman telah memasuki era krisis emosional dikarenakan teknologi informasi yang semakin canggih dan luar biasa pesat pekembangannya. Emosi-emosi di dunia maya cukup diwakili dengan gambaran emoji. Tersenyum, melet, terbahak, dan lainnya. Sampai kemudian muncul pemberitaan hari emoji internasional. Menurut saya hal itu merupakan puncak dari kekolotan dan konserfatifme manusia dalam hal emosi. Emosi yang menjadi unsur alamiah kemanusiaan mengalami pengkerdilan juga distorsi makna dan kemudian hanya menjadi sebatas gambaran simbolisme semata.
Satu game heboh pada masanya, kemudian game lain tumbuh menumbangkan keviralan game-game lainnya. Game seolah pahlawan hero yang muncul untuk menyelamatkan kemurungan manusia. Tanpa iklan dan tanpa spanduk-spanduk promosi yang nagkring di warung-arung pojok suatu game dengan sendirinya banyak digandrungi orang-orang, apa lagi bila memunculkan iklan di televisi.
Game juga menjadi lahan alteratif bagi mereka yang belum menemukan kenikmatan dalam aplikasi chat semacam whatsapp. Entah sebab karena “kejombloan” atau memang karena tidak suka. Pada intinya, manusia selalu menemukan sisi menyenangkan dalam menggunakan smartphone. Tanpa perlu adanya motivator dan acara-acara inspiratif, pemain game pun akan dengan sendirinya tekun dan gigih membukanya setiap waktu.
Pada akhirnya saya akan memohon ampun pada tuhan dan segenap jajaran malaikat pencatat amal buruk karena kemunafikan saya dalam tulisan ini. Jujur, saya masih menyimpan file apk beberapa game yang saya suka, termasuk Mobile Legends, Clash of Clans, Clash Royal, dan banyak nama-nama game lain di memori smartphone saya agar kelak bila sudah kebelet pengen main tinggal install tanpa buang-buang kuota untuk download lagi di google play store. Namun terkadang, untuk menyadarkan diri sendiri lebih-lebih orang lain, sikap muka dua memang perlu direalisasikan. Sekali lagi, maafkan kami Tuhan.(T)