Om swastiastu
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Nammo Buddhaya
Salam Sejahtera untuk kita semua
SALAM BUDAYAAAA!!!!!!
Pertama-tama marilah kita panjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat, rahmat, serta karunia-Nya yang diberikan kepada kita semua, terutama nikmat sehat dan nikma panjang umur, sehingga syukur alhamdullilah kita semua berkesempatan untuk menyaksikan bersama-sama proses kreatif Teater Kalangan dari awal sampai akhir.
Pembaca yang terhormat, Bapak-bapak, Ibu-ibu, saudara saudari sebangsa dan setanah air.
Atas nama Teater Kalangan saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak-bapak, Ibu-ibu, adik-adik, kakak-kakak, suadara sebangsa setanah air yang telah menyempatkan diri untuk hadir menonton pementasan Teater Kalangan (terutama pementasan Monolog Anjing Gila karya Putu Wijaya pada tangggal 26 Desember 2017 di Wantilan Kampus Bawah Undiksha), baik itu dari awal sampai akhir atau hanya beberapa bagian saja, dan terima kasih serta apreasiasi sebesar-besarnya juga kepada saudara-saudari pembaca yang telah meluangkan waktunya untuk membaca dan membuang sedikit kuota internetnya. Jika tak ada kalian yang menonton dan membaca, tentu tidak akan berarti apa-apa. Maka dari itu saya sebenarnya berhutang budi pada kalian semua. Entah bagaimana cara saya membalas budi kalian.
Yang kedua saya mohon maaf sebesar-besarnya jika sekiranya sambutan saya ini tidak berfaedah apa-apa. Hahahaha
Bapak-bapak, Ibu-ibu, saudara saudari sebangsa dan setanah air yang dimulaikan Tuhan
Percaya atau tidak, akhir-akhir ini tak henti-hentinya saya memanjatkan puja dan puji syukur (di dalam lubuk hati yang paling dalam) kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat Beliau saya dapat bertemu dengan Teater Kalangan. Ah, bukan bertemu. Maksud saya berproses kreatif bersama Teater Kalangan. Kepada Tuhan dan Teater Kalangan saya ucapkan terima kasih. Jujur,saya banyak berhutang budi, terutama kepada Tuhan karena banyak hal lain yang diberikan selain mempertemukan saya dengan Teater Kalangan.
Tapi cukuplah Teater Kalangan saja yang saya bahas kali ini. Tak ada banyak waktu. Butuh waktu bertahun-tahun kalau saya harus cerita hal lain, semisal perihal patah hati saya ditinggal calon pacar atau diputusin gebetan sebelum nembak. Ah, lupakan.
Namun, harus diakui bahwa ada banyak sekali kenangan manis saya dengan Teater Kalangan selama menjalani proses kreatif bersama-sama. Mulai dari latihan tengah malam, nongkrong tengah malam, diskusi tengah malam, menata panggung tengah malam, pulang pergi Singaraja Denpasar tengah malam, makan tengah malam, mengobrol tengah malam, ketemuan tengah malam dan masih banyak hal tengah malam lainnya. Jujur saya sendiri juga tak begitu mengerti mengapa itu semua dilakukan tengah malam. Tak sedikit juga kenangan pahitnya, seperti ngaret waktu atau salah paham, tapi ya pada akhirnya akanmanis juga, tanpa diperlu ditambahkan pemanis gula batu atau stevia.
Bapak-bapak, Ibu-ibu, saudara saudari sebangsa dan setanah air yang saya cintai dan banggakan
Kalau boleh saya jujur lagi sebenarnya saya masih mempertanyakan dimensi saya di Teater Kalangan. Saya ini juga memiliki kejelasan yang tidak jelas. “Sebenarnya saya ini Teater Kalangan atau bukan?” itulah yang sering saya tanyakan dalam batin saya. I Wayan Sumahardika, seorang pemuda tampan dan rupawan juga gagah berani, yang juga menjadi setir dan setang kemudi Teater Kalangan, tidak pernah mengajak saya secara jelas untuk tergabung menjadi anggota Teater Kalangan.
Malam itu, malam yang menjadi awal pertemuan saya dengan Teater Kalangan (waktu itu bernama Teater Tebu Tuh), Suma mengajak saya untuk ikut terlibat dalam garapannya yang akan dipentaskan di sebuah acara kampus Universitas Mahasarawasti, Denpasar. Setelah terlibat di sana, saya diajak lagi ikut dalam produksi pementasan Rintrik dalam Mimbar Teater Indonesia V di Solo. Setelah itu saya diajak ikut lagi, diajak lagi, dan diajak lagi, sampai pada pementasan monolog Pidato Gila karya Putu Wijaya bulan Desember kemarin. Nah, saya masih mengganggap saya bukan anggota yang resmi, karena saya merasa selama ini saya diajak untuk ikut terlibat, bukan ikut sebagai anggota.
Saya bahkan masih mempertanyakan apakah sebenarnya saya pantas tergabung dalam Teater Kalangan. Saya tidak bisa apa-apa. Tidak bisa main musik. Tidak bisa mengendarai motor dengan kopling. Tidak bisa menyutradari. Tidak bisa menata panggung. Saya tidak bisa apa-apa. Jadi MC masih dan bermain peran pun masih di bawah kategori “bagus”. Kalau masalah berjualan ya saya jago. Saya bisa jual apa saja, jual kupon bazzar, jual tiket, jual kaset, jual album, jual buku dan lain-lain. Naluri saya sebagai orang cina benar-benar bisa diandalkan.
Selain tidak bisa apa-apa, saya juga tidak mengerti apa-apa. Saya selalu akan bengong sendiri jika sudah tergabung dalam diskusi yang Suma dan kawan-kawan lakukan. Saya tak pernah paham apa yang mereka bicarakan. Mereka berbicara tentang konsep ruang, konsep tubuh, konsep segala konsep, tawaran akting, ruang adalah teks, ini adalah teks, itu adalah teks, semua adalah teks, arrrghhhh pokoknya saya tidak mengerti. Saya hanya mengerti cara membuat proposal penggalian dana, pembuatan surat pertanggungjawaban, surat undangan, surat peminjaman tempat dan tidak banyak lagi. Itu saja. Menyedihkan sekali.
Dan lagi, saya selalu benci kalau sudah diminta melakukan pemanasan oleh Suma. Pemanasan versi Suma benar-benar melelahkan. Lelah fisik lelah batin. Saya diminta berlari sambil tetap menjaga tempo tapi sambil mengucapkan monolog atau dialog yang akan saya mainkan nanti. Aduh, bagaimana ya menjelaskannya. Derap langkah saya saat berlari itu seperti menjadi ketukan, ritme, atau tempo bagi saya. Jadi saya tidak bisa santai dalam mengucapkan monolog atau dialog, selalu dipengaruhi ketukan langkah saya, dan karena saya berlari tentu saja ketukan langkah saya itu cepat. Ya merasakannya cepat dan saat mengucapkan monolog atau dialog juga menjadi agak cepat.
Belum lagi bagian perut bawah sebelah kanan akan terasa nyeri lebih cepat karena saya berlari dan saya berucap, ditambah waktu lari yang katanya 15 menit malah menjadi 25 menit atau 30 menit dan ditambah Suma yang galak. Dan yang paling parah, setiap berlari (biasanya di Taman Kota) saya selalu bertemu dengan mantan pacar, mantan calon pacar, dan beberapa orang-orang yang saya punya hubungan tidak baik dengan saya. Pokoknya malu. Sekali malu, malu sekali. Tebek tiang tebek. Terkadang saya juga kesal sendiri, kenapa Suma tak pernah ikut lari ya? Ah, lupakan. Pada akhirnya, saya mengenang semua itu dengan manis. Berat di awal, manis di akhir. Hahahaha
Bapak-bapak, Ibu-ibu, saudara saudari sebangsa dan setanah air yang saya kasihi.
Harus saya akui, Teater Kalangan bagi saya lebih dari sekedar komunitas teater yang belajar teater kemudian mempertunjukan teater kepada para penikmat teater. Teater Kalangan bagi saya adalah obat. Obat bagi segala kesepian saya. Penawar bagi semua luka batin saya yang membunuh. Pembasuh bagi setiap memar dan lebam hidup dan kehidupan saya. Yah agak alaymemang, tapi saya bisa melupakan sejenak masalah-masalah yang membebani pikiran saya. Saya ucapkan terima kasih banyak karena sudah menemani saya sepanjang kebersamaan kita bersama. Meski saya tidak tahu apa-apa, saya tetep tresna Teater Kalangan.
Bapak-bapak, Ibu-ibu, saudara saudari sebangsa dan setanah air yang berbahagia, masih semangat?
Demikianlah sepatah dua patah dari saya tentang Teater Kalangan. Semoga saudara-sudara tidak mengantuk membaca tulisan saya yang lebih mirip curhat awal tahun ketimbang catatan awal tahun. Saya mohon saudara-saudara agar senantiasa mendoakan saya dan teman-teman saya juga Teater Kalangan selalu menjadi inshan yang kreatif, unggul dan memiliki daya saing tinggi, juga berguna bagi nusa dan bangsa. Hahaha. Akhir kata saya ucapkan terima kasih
Om Santhi Santhi Santhi Om
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Nammo Buddhaya
Salam Sejatera untuk kita semua
SALAM BUDAYA (T)