KOPLAK menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Juga lehernya. Segelas kopi hitam dihirupnya pelan-pelan.
Sambil membaca koran pagi, isinya begini: Badan Pusat Statisk (BPS) mencatat sampai dengan minggu ke-2 Januari tahun ini, kenaikanharga berasdi pasar sudah naik sekitar 3 persen. Peningkatan tersebut dianggap BPS sudah dalam kategori mengkhawatirkan atau mencemaskan. Kepala BPS, Suhariyanto atau yang akrab disapa Kecuk mengatakan, pemerintah harus mengendalikan inflasi pada 2018 yang ditargetkan 3,5 persen. Target tersebut dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.
Presiden Joko Widodo mengatakan, kebijakan impor 500.000 ton beras dilaksanakan demi memperkuat cadangan beras nasional. “Itu (impor beras) untuk memperkuat cadangan beras kita agar tidak terjadi gejolak harga di daerah-daerah,” ujarJokowi.
Selain itu, posisi cadangan beras pangan Indonesia menipis.Ketentuan soal cadangan beras di Indonesia itu mematok pada FAO. Organisasi sayap PBB yang mengurusi soal pangan itu merekomendasikan cadangan beras untuk negara seperti Indonesia.
Di sisi lain, panen beras di Indonesia baru dimulai pertengahan Februari 2018 dan berakhir pada Maret 2018 (panen raya). Total konsumsi beras per tahun di Indonesia 37.700.000 ton. Artinya, konsumsi beras per bulan mencapai sekitar 3,1 juta ton. Hitung-hitungan pemerintah pun, 500.000 ton beras hasil impor itu akan menjadi cadangan sekitar satu hingga dua pekan saja.
“Jadi aslinya negara kita itu sangat kaya ya, Koplak?” tanya Pan Gadung sambil menggambil sepotong singkong rebus.
“Kaya?”
“Iya, buktinya mau impor beras 500.000 ton.”
“Kok bisa berpikir seperti itu?”
“Sejak kapan Koplak tidak cerdas?” Pan Gadung, lelaki seumuran dirinya, yang sering membeli hasil bumi di desa Koplak menatap mata Koplak tajam, sambil menurunkan letak kacamatanya. Koplak menatap mata lelaki di depannya serius.
“Belum juga paham maksudtiang?”
“Belum. Dan tidak mengerti.” Koplak menjawab jujur. Sambil mengambil satu buah pisang rebus.
“Berita pagi yang Koplak baca menunjukkan negara kita ini sudah kaya?” Suara Pan Gadung terdengar sedikit mengejek. Koplak merengut.
“Bagaimana kaya? Masak beras saja impor? Sebentar, ada yang ingintiangtunjukkan.” Koplak tidak jadi mengupas pisang rebus tetapi beranjak ke ruang tamu.
“ Jangan repot-repot,tiangcukup dengan pisang rebus dan singkong rebus. Kolesteroltiangsedang naik , jangan dipesankanbe genyoldanbe guling,”
Koplak terdiam. Lalu berkata serius. “Setelah memutuskan impor beras, pemerintah kembali membuka keran imporgaramindustri sebanyak 3,7 juta ton pada 2018. Jumlah tersebut keluar setelah ada perbedaan data dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang hanya merekomendasikan 2,1 juta ton per tahun. Kau tahu, para petinggi negeri kita itu pada ribut kok. Antar pejabat tidak sama idenya. Satu menteri dan menteri lain konon bersitegang. Kau lihat urusan beras belum beres, muncul lagi urusan garam. Negeri kita konon dikelilingi laut. Bukannya garam itu berasal dari laut? Bukannya beras itu berasal dari sawah? Sawah yang jadi kebanggaan negeri ini. Bahkan di Bali sawah jadi objek wisata. Kenapa kita bisa impor beras? Impor garam? Kabar seperti ini kau bilang negeri kita kaya? Semua barang serba impor? Kata anak perempuanku harga beras sudah membuat migren teman-temannya yang sudah menikah. “
Pan Gadung tersenyum, “Kupikir kau akan membelikan akube guling.”
Koplak kembali duduk di kursinya.
“Apa maksudmu mengatakan negara kita makin kaya?”
“Coba duduklah yang tenang, jangan bersungut-sungut seperti itu. Orang yang berpikir tenang, akan bijak mengambil keputusan.”
“Gayamu, seperti pejabat saja.”
“Aku memang ada rencana ingin bermain di ranah politik, tetapi nanti setelah berlatih dan punya modal. Kau tidak tertarik bermain politik?”
“Politik? Jadi Kades saja sudah senang.Tiangbisa mengurusi warga desa. Pan Gadung bisa lihat sendiri, warga di desatiangtidak ada yang ribut. Tidak ada yang mengeluh. Tidak ada yang kelaparan. Tidak ada juga yang ribut jika kebutuhan pokok terus meranjak naik. Semuanya karena warga di desa ini sesungguhnya warga yang kreatif. Tanah mereka bisa difungsikan sebagai hasil bumi, minimal mereka bisa menggunakan untuk kebutuhan hidup. Menanam cabe, bawang, dan apa saja untuk hidup. Kau pikirtiangmau bermain politik seperti orang-orang di TV? Waktu kampanyetiangtidak berjanji muluk-muluk. Yang penting kerja. Apa yang sudah baik kita lanjutkan.Tiangini cuma tamatan sarjana ekonomi, tahulah sedikit-sedikit menghitung untung rugi. Warga desa memilihtiangjadi Kades, karena warga desa ingin penggunaan dana desa dari pemerintah benar-benar bermanfaat untuk warga desa.”
“Iya, kau memang harus berlaku seperti itu. Jangan sampai dana desa tidak berfungsi, malu sama rakyat.Tiangjuga geli sendiri, lihat saja pemilihan gubernur yang heboh dan bikin ribut sampai hari ini.Tiangpikir kerjanya juga akan heboh seperti kampanyenya, masak mengambil kebijakan mengganti nama jalan, kayak tidak ada hal yang lebih penting saja yang harus diurus. Menghidupkan becak. Jalanan sudah krodit . Prioritasnya makin tidak jelas. Kau jangan seperti itu.”
“Kau suruh aku berpolitik!”
“Iya, biar kau punya kekuasaan, Koplak?”
“Kau sajalah yang berkuasa. Semoga kau bisa membangun desa ini lebih maju lagi.” Koplak berkata serius. Terjun ke dunia politik? Memangnya berapa Koplak punya uang? Rasanya hidup di desa ini sudah menyenangkan. Orang ribut beras Koplak dan warga desa tidak bingung, tidak juga linglung, karena di desanya sudah terbiasa warga desa mencampur nasi dengan umbi-umbian. Yang sengaja di tanam di halaman rumah. Sarapan juga biasa dengan ubi rebus, jagung rebus, pisang rebus, dan singkong rebus. Memang terlihat kampungan. Kalau kondisi seperti saat ini, bagaimana? Harga beras makin tinggi. Harga di koran berbeda dengan harga di pasar.
Aneh juga komentar Pan Gadung, negara kita kok dibilang kaya?
“Jelas kaya dong. Bayangkan negara kita selalu impor. Itu menunjukkan negara kita kaya, Koplak. Bayangkan saja negara ini dirimu, kamu pakai barang impor. Ini kan artinya kamu kaya?” Pan Gadung tertawa nyelekit.
Koplak terdiam. Giginya terasa ngilu. Negara kaya? Iya sih, konon sebatang kayu pun bisa mudah tumbuh jadi pohon jika ditanam. Tapi faktanya? Negara ini makin tidak jelas, buktinya tidak ada anak muda yang mau jadi petani, karena kebiasaan mengambil solusi selalu dengan cara pintas, impor. Barang-barang KW juga laku keras, semua demi gengsi dan status. Kenapa tidak ada kebanggaan dengan hasil negeri sendiri?
“Kita akan makin sering impor, karena kayanya. Tidak ada lagi petani di negeri ini, Koplak. Orang sudah malu jadi petani. Mungkin mereka lebih tertarik jadi koruptor. Bisa jadi artis di TV.” Pan Gadung tertawa keras.
Koplak terdiam, kopi tanpa gula yang diseduhnya terasa makin aneh di tenggorokannya. Negara kaya? Kaya dengan impor? Kira-kira apa lagi yang akan diimpor negeri ini setelah beras dan garam?
Menjadi seorang pemimpin sesungguhnya harus memiliki bekal etika moral. Etika moral yang dibangun di dalam diri sebelum membangun orang lain. Kalau begini terus negeri ini, bagaimana anak muda bisa bangga dengan sawah mereka,
Persawahan di Jatiluwih sudah dinyatakan sebagai salah satu Word Heritage kekayaan alam khususnya di bidang pengaturan dan perawatan sistem pengairan tradisional Bali, yang dikenal dengan sebutan Subak pada 26 Juli 2012 setelah melalui proses panjang pengajuan/pengusulan kepada Unesco di tahun 2003. Area yang diakui sebagai World Heritage ini meliputi 14 buah subak yang menaungi 11 Desa, luas hamparan sawah (padi fields) sebesar 2.372 ha, taman seluas 3.545 ha, hutan seluas 9.316 ha, rumah sebanyak 317 unit, dan semak-semak liar seluas 475 ha.
Apa kita masih bangga, jika kekurangan beras? Apa kita masih bangga disebut orang pelaut, dengan impor garam? Apakah kita ini kaya, atau lebay?(T)
Denpasar, 4/2/2018