SALAH satu agenda utama saya setelah meninggalkan Singaraja dan pulang ke Tuban adalah sowan (ziarah) ke makam-makam para Syekh dan Wali yang ada di Tuban dan mengantarkan pemudi yang semangat berproses, Quratul Aen dan Indriani Lestari.
Maka hari itu saya mulai mengagendakan beberapa jadwal untuk memenej itu semua. Saya memulai agenda pertama; mengunjungi makam Syekh Maulana Ibrahim Asmoro Qodi, Gesikharjo, Palang, setelah sebelumnya saya berkunjung ke tempat screnning Latihan Kader II HMI Cabang Tuban.
Setelah sampai di tempat pemakaman, seperti biasa, banyak peziarah berlalu lalang. Penjual mulai memasarkan dagangannya. Memanggil, merayu, mempromosikan dengan nada-nada bicara yang memikat. Beberapa peziarah menyempatkan singgah di beberapa lapak mereka. Ada yang membeli baju, buah tangan, buku, dan ada yang hanya sekedar menawar-nawar saja.
Di sudut sana, dekat lapak baju, duduk seorang sekitar tujuh belasan tahun, sedang asyik dengan smartpone–nya. Seperti kebiasaan orang umumnya, menunduk, seperti dunianya hanya ada di dalam benda berlayar yang menawarkan fitur-fitur luar biasa itu. Ya, bagaimana tidak, smartphone sekarang memang sungguh luar biasa. Mau bepergian tapi tidak tahu alamatnya, tinggal menghamba kepada GPS serta Google Maps. Kangen pacar tapi ingin sekali ngobrol sambil menatap wajahnya, tinggal video call. Smartphon menjadi segala-galanya di-era milenial ini.
Kembali ke anak tadi. Saya perhatikan, sepertinya, ia sedang asyik dengan game onlie, ketika dilihat dari bagaimana ia memegang smartphone-nya. Dimiringkan dan kedua jempolnya bergerak-gerak lincah sambil sesekali mengumpat-umpat. Terdengar suara seorang perempuan paruh baya memanggilnya—mungkin, itu ibunya, pikir saya—dari dalam toko bajunya.
“Nak, makan dulu…”
Tak ada respon, anak itu masih asyik dengan smartphone-nya. Dianggap angin lalu saja panggilan ibunya yang begitu mesra dan terkesan manja itu. Sekali lagi ibunya memanggil:
“Makan dulu. Nanti sakit.”
Masih tidak ada respon. Si anak tetap dalam posisi yang sama, bahkan, umpatannya makin menjadi. Entah mengumpat smartphone–nya atau mengumpat ibunya yang dirasa mengganggu, saya kurang paham.
Saya masih memperhatikannya. Semenit kemudian, handphone di sampingnya berbunyi—memang ada dua handphone disana—betapa kagetnya saya, dengan mendengar bunyi nada dering itu, secepat kilat ia menyambar benda berbunyi itu. Saya tersenyum. Gila, segitu irasionalnya anak jaman sekarang. Dipanggil ibunya disuruh makan tak ada respon, sekali hp–nya berbunyi, secepat kilat ia merespon.
*
Saya tidak hendak membicarakan pemakaian terobosan IT dan alat-alatnya yang terasa lebih marak pada jaman ini. Itu bukan masalah bagi saya. Yang lebih membuat saya galau adalah sejenis ketidakmasukakalan manusia di-era digital ini.
Seperti apa yang dituliskan Pak Iqbal Aji, beginilah teknologi datang kepada kita. Ia menawarkan efektivitas dan efisiensi, namun melenyapkan hal-hal lama yang kadang membuat kita menikmati takdir sebagai manusia. Lalu dengan keterikatan dan ketergantungan kepada teknologi, masihkan kita untuh dalam kemanusiaan kita?
Pertanyaan yang lebih mendasar lagi bisa saja diajukan: Apakah itu manusia? Benarkah komputer lebih rendah derajatnya daripada manusia, sehingga kita mesti resah dengan perubahan nilai dan segenap gejalanya? Atau, jangan-jangan kita ini juga Cuma robot, yang bisa menciptakan robot-robot lain yang bakalan mengganggu eksistensi para robot lama?
Jian tenan, dan ternyata, wabah seperti ini bukan hanya terjadi pada anak yang sedang saya amati tadi, ketika saya pulang, adik saya, teman saya, dan bahkan Anda pun tanpa disadari telah mengalamai in-rasional seperti ini. Wabah seperti ini menyerang kita secara halus, pelan tapi pasti. Tanpa kita sadari kapan awalnya dan kenapa bisa begitu. Bajigur betul, kan.
Mari renungkan dalam-dalam. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Apakah kita yang mengoprasikan smartphone, atau jangan-jangan kita yang dioprasikan oleh smartphone? Baik, permasalahan seperti ini, baiknya kita berbincang-bincang panjang, tertawa bersama, berdebat dengan ceria, berjumpa, berdiskusi layaknya manusia, dan menyapa satu sama lain sebagai sesama manusia.
*
“Wan… makan dulu!”
“Sebentar, Mak, lagi balas chat dulu.” (T)