KEMARIN malam, pukul 01:30 dini hari, Ainul Yakin, mahasiswa semester tiga jurusan Teknik Informatika, menawarkan kepada saya untuk menonton sebuah film. Ini ada film menarik, Kak Jas, katanya. Saya tertarik, mengingat, besoknya saya tidak ada perkuliahan. Sekali-kali bergadang tidak apa-apa, pikirku. Toh, besok tidak kuliah.
Dengan cekatan dia mulai meng-copy file dari laptopnya ke laptop Chalim. Sebab, laptopnya tidak bisa dibuat memutar film. Sond–nya jelek, Kak Jas, katanya. Saya lihat ada beberapa film yang sudah dicopy. Film ini cocok untuk malam ini, katanya kemudian. Diputarlah film pilihannya itu.
Film sudah mulai. Vino G Bastian, langsung saya kenali. “Film apa ini?” tanya saya kepadanya. Film Radit dan Jani, jawabnya. Ya, Radit & Jani.
Memang, pada awal tahun 2008, dunia perfilman Indonesia dihujani dengan film-film bergenre drama romantis. Tak ketinggalan rumah produksi Investasi Film Indonesia (IFI) yang sebelumnya pernah membuat Cokelat Steoberi pada 2007, dan pada tahun berikutnya, tahun 2008, mereka merilis film yang diklaim sebagai “film hot pertama di Indonesia”, dengan judul, Radit & Jani.
Film yang sedang saya tonton waktu itu adalah sebuah film yang mengaharukan. Tak seperti lazimnya sebuah film yang bergenre romance—perjuangan cinta, cinta bertepuk sebelah tangan—film Radit & Jani memiliki kisah lain dari yang lain. Bisa dikatakan romantis, juga bisa dikatakan ngenes.
Film yang berkisah tentang mempertahankan rumah tangga dan juga cinta di tengah kondisi serba kekurangan dan belitan candu obat terlarang (narkoba) itu, telah mampu mengoyak air mata Ainul—termasuk saya. Mereka—Vino sebagai Radit dan Fahrani sebagai Anjani—berusaha mempertahankan cinta akibat kebodohan mereka sendiri.
Fahrani, seorang model internasional yang berperan sebagai Anjani yang kemudian akrab dipanggil Jani, berperan sebagai anak yang dicap telah merusak masa depannya sendiri oleh keluarganya—khususnya ayahnya—karena nekat pergi dari rumah dan menikah dengan Radit. Padahal, Radit adalah anak band yang bahkan satu produser pun tak ada yang mau mendengar lagu ciptaannya. Keadaan itu diperparah perihal Radit juga seorang pecandu narkoba. Radit tak punya pekerjaan tetap, tanpa bekal uang, kehidupan keras harus mereka hadapi.
Radit dan Jani, pasangat suami istri tergila yang pernah saya lihat—walaupun saya tahu itu hanya film. Bagaimana tidak gila, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka rela melakukan apa saja. Mencuri di supermarket, atau menyatroni rumah kosong untuk bertahan hidup. Namun, terlepas dari duka kehidupan, kekuatan cinta mereka membuat kepahitan kehidupan seperti tak terasa.
Rumah tangga mereka semakin tidak karuan, manakala Jani diketahui telah mengandung—hamil—mereka pun dibangunkan oleh kenyataan, bahwa hidup, tidak bisa hanya bermodalkan cinta. Mereka sadar, hidup mereka harus berubah. Radit mencoba segera melepaskan diri dari jeratan narkoba dan juga mendapatkan pekerjaan agar dapat membahagiakan Jani dan memberi masa depan cerah kepada anaknya kelak. Di sinilah, konflik untuk mempengaruhi psikologi penonton dibangun begitu apik.
Ainul, yang duduk di sebelah saya tidak sungkan-sungkan meneteska air mata, ketika melihat adegan Radit yang sebelumnya disuruh Jani untuk cepat pulang ke rumah, sebab Jani merasa kesepian. Sebelum pulang, Radit meminta sebagian gaji dari bosnya untuk membeli makanan dan juga menebus obat untuk Jani. Sialnya, Radit tidak diberikan sepeser rupiah pun.
Dengan wataknya yang pemarah, Radit menahan emosi kemudian bergegas keluar dari ruangan bosnya. Di luar, teman kerjanya mengejek, jika dia (Radit) mau meminum air kencing temannya, maka obat untuk Jani akan ditebus. Artinya, Radit akan mendapatkan uang dari temannya tersebut setelah dia meminum air kencing temannya. Atas dasar ingin membahagiakan Jani, apapun rela dia lakukan, termasuk, meminum air kencing temannya.
Adegan berlanjut, dengan penuh keraguan dalam keyakinan, Radit meminum segelas air kencing itu seperti meminum segelas bir, sekali teguk. Radit menang, uang sudah ada di tangan. Dia pun lari ke apotek terdekat untuk menebus obat, sekaligus membeli sebungkus nasi goreng. Dalam perjalanan, sebuah drama terjadi. Beberapa orang, sedang nongkrong di pinggir jalan. Salah satu dari mereka adalah orang yang pernah dicuri handpone–nya oleh Radit dan Jani di sebuah warung makan.
Sialnya, orang itu masih ingat jelas wajah Radit. Tanpa ampun, mereka menghajar Radit habis-habisan. Nasi goreng, obat-obatan berserakan di tanah. Terinjak-injak. Melelehlah air mata Ainul. Betapa perjuangan yang harus sia-sia. Radit pulang dengan tangan hampa dan mendapati Jani tengah tertidur gelisah di tengah kegelapan malam.
Dalam film tersebut, crime tidak lepas dari sebagian tema/konsep dalam film. Jika berasal dari 3 babak, maka crime adalah unsur penggerak plot. Crime dalam film ini sangat banyak contonya, mulai dari minum-minuman keras, narkoba, kekerasan, dan masih banyak lagi. Tentu saja faktor criminal menggerakkan bahkan membuat cerita ini berjalan layaknya sebuah kehidupan nyata.
Tidak hanya crime yang menjadi penggeraknya, faktor kelas sosial juga sangat terasa. Penokohan masyarakat urban yang bermacam-macam. Namun secara garis besar, mereka berasal dari kelas menengah ke bawah. Hal ini dijelaskan ketika beberapa adegan tempat-tempat kumuh bersanding dengan gedung perkantoran, mencirmankan khas latar belakang masyarakat urban.
Dalam Radit & Jani peran gender diangkat sebagai faktor penting. Karena konsep peran gender merupakan bagian dari upaya pelepasan “stereotyping” dan/atau “lebeling”. Di sini, peran laki-laki dan perempuan begitu terlihat. Radit, tetap diperankan menjadi sosok lelaki yang berusaha mati-matian untuk membahagiakan Jani. Bekerja keras layaknya tipikal laki-laki.
Saya melihat filim ini tentu saja dengan pendekatan sosiologi. Di mana definisi dari sosiologi itu sendiri adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat; imu tentang struktur sosial, proses sosial, dan perubahannya (semoga saya salah, kalau salah, silahkan dibenarkan). Sosiologi mengambil peran dalam kehidupan masyarakat yang sangat besar, sama halnya seperti film yang dapat menyampaikan atau memberikan pengetahuan baru bagi penontonnya.
Dari keseluruhan tulisan yang saya tulis di atas, saya menyimpulan bahwa pada dasarnya film ini—bahkan hampir semua/kebanyakan film—tentu mengusung dasar konsep-konsep sosiologi. Dan pada film ini, konsep sosiologi yang diusung cukuplah kuat. Film ini telah membongkar sistem berpikir bagaimana layaknya kehidupan sebuah bahtera rumah tangga.
Kehidupan yang dipilih (hanya atas dasar cinta) oleh dua orang anak manusia sehingga membentuk konflik-konflik dan keadaan yang begitu rumit yang tentu saja merupakan maksud dari ilmu sosiologi (manusia dan perilaku bermasyarakat/berumah tangga/berkelompok) itu sendiri. Seperti penjelasan konsep ilmu sosiologi di atas.
Radit & Jani juga memberikan pesan moral dan sensai kebebasan psikologi kepada penonton (hasil penelitian berdasarkan perasaan yang saya alami dan beberapa pernyataan Ainul) karena terenyuh dan tersadarkan, bahwa, dalam hal berumah tangga tidak cukup hanya bermodalkan cinta. Sungguh, rasa kesepian, hampa, kesedihan, dan kebahagiaan itu berasal dari bagaimana seseorang berpikir dan bertindak. Bagaimana paradigma yang dianut oleh orang tersebut.
Pada akhir film ini, Upi, sang sutradara, kembali mengoyak psikologi penonton dengan membuat skenario bahwa Jani ternyata menikah dengan orang lain. Radit, merelakan Jani jatuh di pelukan orang lain hanya karena dia merasa tidak bisa membahagiakan istri tercintanya. Lagi-lagi, Ainul merasakan dadanya sesak.(T)