SALUT atas perhelatan akbarmu yang sudah berlangsung sepanjang tahun 2017. Bukan pekerjaan yang mudah bagi pekerja kreatif, sutradra dan aktor, menjadi penggagas sekaligus pelaksana festival setahun penuh, 100 monolog di banyak kota di Bali dengan berbagai kelompok yang mungkin saja berbeda keyakinan estetika dan bisa jadi juga lain “kubu politik”.
Itu hanya mungkin terlaksana berkat ketekunan, kesabaran, kelapangan hati, kebijakan, sikap toleran, dedikasi tinggi, etos kerja spartan yang tanpa pamrih dan dukungan dari seluruh peserta baik yngg terlibat langsung atau yngg mendukung baik dengan moral maupun material.
Tak kecil pula urunan mereka yngg menghadiri pementasan dan yngg menghadirkan peristiwa kesenianmu itu di medsos, sehingga yang tak dapat menggapai secara phisik pun terinformasi. Dan begitu peristiwa sudah melayang jadi informasi, dia akan terus bertualang menyapa siapa saja, di mana saja dan kapan saja.
Kau dan kelompok kerjamu, teman-temanmu, mereka yngg telah tampil dan membantu – bahkan termasuk yngg tak senang dan menghambat, kalau ada – mereka yg sudah menyumbangkan waktunya menonton, kalian semua telah menulis sebuah kalimat penting dalam sejarah teater modern di Bali:
“Bahwa Bali bukan hanya pajangan, tapi juga mesin penciptaan yang menyala memberikan sumbangan pemikiran untuk kemanusiaan lewat seni (teater)”.
Kalimat yang sama sekali tidak berambisi jadi slogan, tetapi janji, yang akan terus-menerus menggedor, memburu, menuntut generasi ke genersi untuk mewujudkannya.(Karena memang itulah fitrah manusia kreatif, terus dikejar untuk bekerja mencipta) inilah langkah pertama yang meyakinkan dan indah. Aku terharu dan menyampaIkan salam hormat. Semoga langkah emas ini berhasil dilanjutkan dan aku percaya itu akan terjadi apabila terus fokus.
Bravo!
Jkt 2 Desember 2017
Catatan: Surat ini disampaikan kepada Putu Satria Kusuma sebagai penggagas Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya, Mare-Desember 2017