TIAP musim liburan tiba, Yogyakarta diserbu pengunjung dari berbagai kota. Ini berkaitan erat dengan fenomena wisata Yogya yang berbasis wisatawan dalam negeri. Bahkan beberapa tahun terakhir makin menguatkan karakternya sebagai “kota liburan pelajar”, menyusul status ajegnya sebagai “kota pelajar”.
Rombongan wisata sekolah secara sadar memilih Yogya sebagai titik destinasi. Sambil mencari info tentang keberadaan kampus yang bertebaran di seantero Yogya, mereka sekaligus merasakan suasana Yogya, terlebih untuk persiapan jika kelak siswa bersangkutan melanjutkan studi di kota ini. Belum terhitung kunjungan pelajar di luar paket karyawisata atau studi tour, misalnya datang bersama keluarga. Alhasil, setiap liburan semester atau kelulusan/kenaikan kelas, Yogyakarta dipastikan diserbu siswa sekolah.
Kehadiran rombongan wisata pelajar menjadi warna kental dalam fenomena wisata Yogya yang memang berbasis Wisnu (Wisatawan Nusantara). Dibanding Wisman (Wisatawan Mancanegara), Wisnu lebih dominan mewarnai pergerakan destinasi Yogya. Data dari Dinas Pariwisata menunjukkan angka Wisnu per Agustus 2014 saja mencapai 208.434 orang. Bandingkan dengan Wisman, dalam kurun yang sama, “hanya” 5.463 orang.
Selain fenomena wisata pelajar, tentu saja Yogya tak luput menjaring Wisman non-siswa, dan itu terlihat terutama pada setiap akhir pekan, liburan nasional, dan puncaknya pada libur panjang (Natal dan Tahun Baru). Apalagi ada Sekaten. Maka semuanya tumplek-blek ing Yogya! Jalan-jalan macet, pusat belanja, pusat kuliner dan objek wisata sesak, hotel-hotel penuh, para pedagang dan penjual jasa di sektor wisata panen besar.
Wisnu Istimewa
Bagi saya, Wisnu merupakan berkah yang membuat pariwisata Yogya berbeda dengan Bali, misalnya. Wisnu cocok benar dengan spirit keistimewaan Yogya yang merakyat, di mana semua pihak terlibat dan ikut merasakan manfaat. Tak hanya hotel berbintang, juga hotel kecil, bahkan kelas rumahan. Tak hanya pengusaha trevel, juga rental kendaraan hingga becak dan andong. Itulah sebabnya, dalam lomba menulis surat kepada Sri Sultan HB X sekian tahun lalu, saya mengharap Yogya mengoptimalkan basis wisatawan yang setia itu.
Sebab harus diakui, potensi ini belum tergarap maksimal. Rombongan wisata pelajar masih melihatkan karakter umum wisatawan yang menyasar tempat-tempat mainstream seperti pasar, meluputkan objek lain. Misalnya saja wisata masuk kampus, belum diagendakan, karena memang pihak kampus pun terbilang adem-ayem membaca peluang dan fenomena wisata pelajar ini. Belum ada terdengar paket wisata seputaran Bulaksumur-Karangmalang (UGM-UNY), misalnya, yang menggaet pelajar untuk datang berwisata sambil belajar atau mencari info-info pendidikan.
Objek wisata yang berkaitan dengan bahan ajar siswa pun justru terlupakan. Lihatlah Gua Selarong di Pajangan, Bantul. Markas besar Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa itu, sepi dan merana. Setali tiga uang dengan nasib museum di seputaran kota. Ironis. Para guru pendamping mestinya menyadari keberadaan objek wisata semacam ini dan pengelola wisata di Yogya juga harus lebih proaktif memperkenalkannya.
Di sisi lain, pembangunan hotel makin gencar di Yogya. Dalam waktu singkat, sudah ada 30 hotel baru berdiri. Sekitar 40 hotel lain juga sudah mengantongi izin. Menurut Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta, Istijab, jumlah hotel di Yogyakarta sudah melampaui kapasitas (sindonews.com, 5 Nopember 2016).
Tanpa mengabaikan urgensi hotel—misalnya, menampung tenaga kerja, akomodasi turis, dan seterusnya—pembangunan tanpa kendali dapat menuai efek tak diinginkan, mulai isu lingkungan hingga persaingan. Saat ini saja banyak warga Yogya menjerit sumur mereka pada kering (Jawa= asat) karena air tanah di sekitar mereka disedot hotel.
Mereka berhimpun dalam Gerakan Yogya Asat yang dikomandani Dodok Putra Bangsa, mantan pengamen yang kini aktif dalam pendampingan. Gerakan Dodok yang tak kalah progresif adalah mempopulerkan semboyan “Djogja Ora Didol” (Yogya tidak dijual) lewat cetakan kaos—boleh jadi anomali dari kaos “guyonan” ala Dagadu. Kaos ini sudah beredar luas di dalam dan luar negeri.
Lebih memprihatinkan lagi, hampir semua bangunan hotel baru terkesan ramai-ramai “mengepung” Malioboro. Jalan-jalan terdekat dengan Malioboro dipenuhi bangunan beton, pembangunan menumpuk di kawasan padat, sebaliknya wilayah lain tak berkembang. Untunglah ada moratorium pembangunan hotel lewat Peraturan Walikota No. 77/2013, tapi apakah masih bertahan atau sudah jebol, belum sempat saya konfirmasi lagi. Maklum pengajuan izin baru telah pula menumpuk.
Sementara itu, dalam berapa tahun ke depan, bandara internasional Yogya akan beroperasi di Kulonprogo. Rencananya, bandara ini didukung infrastruktur jalan besar (jalan tol?) yang mengakses langsung kawasan Borobudur, menembus Pegunungan Menoreh.
Jika ini terjadi, pembangunan hotel diasumsikan akan bergeser ke wilayah paling barat Yogya, menyusul kawasan timur di Gunungkidul yang kini marak dengan wisata pantainya. Kabar galaunya: kawasan Menoreh dengan segala ekosistem dan situs bersejarah (salah satunya situs prajurit Diponegoro) bisa terancam. Saat ini pun, proses pembangunan bandara ini juga sedang berhadapan dengan persoalan yang tak kalah genting untuk digugat atau dipertanyakan: bagaimana nasib warga yang mempertahankan tanah dan hak hidupnya?
Kembali ke kota. Pengelolaan taman parkir dan soal kemacetan sudah lama menjadi perhatian. Taman parkir dan parkir bertingkat dibangun. Tapi bus pariwisata masih belum tertib parkir di taman Parkir Ngabean atau di samping BI, atau parkir itu sendiri penuh. Mereka umumnya memilih parkir di Taman Abu Bakar Ali, di ujung utara Malioboro. Akibatnya, kemacetan muncul di mana-mana.
Pembenahan demi pembenahan memang terus dilakukan, salah satu “puncak pencapaian” ikhtiar Pemda dan warga Yogya adalah membebaskan Jalan Malioboro dari parkir kendaraan. Trotoar Malioboro kini sudah sepenuhnya menjadi ruang publik, meski pedagang dan para jukir (juru parkir) menjerit. Apakah seniman Yogya bisa mengembalikan roh Malioboro seperti era PSK (Persada Studi Klub) dan Umbu? Belum tentu. Sebab mall dan swalayan sudah lebih dulu mencengkram, melebihi toko-toko kecil, pedagang kaki lima dan lesehan.
Tapi, lupakan sejenak keniscayaan sebuah kota. Sebab, tulis Umbu Landu Paranggi dalam Melodia,”Kapan dan di mana pun hidup tak kan pernah aman.” Dan yakini sajalah: “Cintalah yang membuat diri untuk betah sesekali bertahan.” (T)