10 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Wacana itu Fana, Belajar adalah Abadi – Catatan Khusus untuk Teater Kalangan

Kadek Sonia PiscayantibyKadek Sonia Piscayanti
February 2, 2018
inUlasan

Wisata Monolog Teater Kalangan di Kampus Undiksha Singaraja

64
SHARES

 

DALAM konteks dunia perteateran di Bali, khususnya dalam konteks Festival Monolog 100 Putu Wijaya, saya secara pribadi sangat ingin menulis Teater Kalangan karena bagi saya Teater Kalangan memberi warna baru dan (kelak) memberi wacana baru perteateran di Bali, yang tentu masih harus didukung, diapresiasi, dan tentu saja dikritisi, jika perlu.

Saya ingin memberikan catatan kecil terhadap peristiwa monolog sebagai ajang pembelajaran bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya, terutama bagi dua aspek pentingnya; pelaku monolog (yang bisa disebut sebagai tim produksi) dan penonton monolog (apresiator monolog). Saya ingin sekali menjadikan proses kreatif Teater Kalangan sebagai sebuah studi kasus dalam konteks tulisan ini yaitu bagaimana pentingnya mempersiapkan penonton sebelum menonton.

Teater Kalangan kini sedang menjadi trending topic di kalangan teater di Bali, khususnya teater yang memberikan warna lain dari teater konvensional yang cenderung memisahkan penonton dan pelakunya. Teater Kalangan berupaya mendobrak sisi teater konvensional itu dengan memberi penawaran yang sesungguhnya tidak terlalu baru (jika bicara dalam konteks teater tradisional di Bali), yaitu melibatkan penonton dalam pementasan.

Namun ada penawaran baru yang menurut saya berbeda jika dibandingkan dengan penawaran teater konvensional pada umumnya dan teater tradisional Bali (seperti pada Arja, Drama Gong, atau Bondres), yakni adalah pembentukan wacana, yang terdiri dari (dipersiapkan) pra-produksi, produksi dan pasca produksi. Setidaknya itu menurut saya.

Wacana pra-produksi yang digarap Teater Kalangan biasanya adalah persiapan tahap pertama bagi penonton. Wacana ini ditulis dan disebarkan oleh sutradara atau pimpro di media sosial. Persiapan wacana ini diberikan untuk memberi ruang pertanyaan di kepala calon penonton. Apakah itu cukup? Tidak.

Wacana kedua yang dibangun adalah wacana produksi berupa wacana visual, melalui promosi atau teaser video di media sosial. Teater Kalangan menggunakan media sosial atau media apapun untuk menyerbu kepala calon penonton. Biasanya wacana ini digarap dengan konsep multimedia, bisa potongan video saat latihan, potongan suara-suara yang digabung dengan peristiwa, bisa juga gambar bergerak, sampai poster konvensional.

Wacana berikutnya adalah pembuatan sinopsis yang juga disebar secara masif. Terakhir, undangan. Undangan inipun tidak main-main, Teater Kalangan akan memborbardir calon penonton lewat SMS, WA, Line, Instagram, email, undangan dari mulut ke mulut dan entah apa lagi. Untuk urusan ini, mereka sangat serius dan militan. Persis pejuang yang akan jihad.

Wisata Monolog, Teater Kalangan

Berikutnya, wacana ini lanjut ke pementasan. Seringkali, wacana yang telah diberikan tidak cukup bagi Teater Kalangan. Teater Kalangan akan berupaya lagi sedemikian rupa untuk mengejutkan penonton. Mengapa saya katakan mengejutkan, karena bisa jadi wacana yang telah dibangun sebelum menonton, menjadi runtuh ketika menonton. Sebab bisa jadi wacana yang disodorkan sebelumnya terlalu besar alias kedodoran, atau kesempitan alias sumpek. Atau bahkan mencengangkan karena tercipta wacana baru.

Tetapi menakar wacana memang sulit, menundukkan kepala penonton lebih sulit lagi. Disinilah ternyata, wacana tidaklah cukup. Wacana adalah fana, belajar adalah abadi. Begitu kira kira. Mengapa saya katakan demikian, sebab wacana dalam konteks Teater Kalangan masih bersifat satu arah atau “monologue” atau lebih seram lagi “interior monologue”.

Wacana yang dipersiapkan adalah wacana yang sudah disiapkan secara subjektif. Secara subjektif sebab persoalan dibidik dengan sudut pandang personal, dan hemat saya masih sering terasa “normal-normal” saja. Kalaupun dianggap tidak normal, ketidaknormalannya pun masih tahap tidak normal yang normal sebab masih digarap dari sisi pelaku teater, bukan penonton.

Garapan isu yang diberi sudut pandang subjektif dan personal ini perlu diberi takaran akurasi yang lebih misalnya pada riset wacana dari sudut pandang penonton, misalnya penonton atau calon penonton dilibatkan sebagai pemberi ide kreatif, atau pemberi wacana baru, bukan sekadar menonton. Ini kalau memang serius ingin melibatkan penonton. Bicara soal penonton, ini masuk ranah wacana setelah pementasan, yang bahkan seringkali lebih serius dibanding pementasan.

Tentang Penonton

Kalau benar-benar serius, maka wacana melibatkan penonton ini terpaksa harus melibatkan sedikit teori tentang penonton. Pertanyaan apakah teori ini relevan masih harus diperdebatkan lagi, tapi setidaknya bacalah dulu.

Pertama, pahamilah 3 teori tentang penonton yaitu Background, Expectation and Imagination of the Audience. Menurut Edwin Wilson, penulis buku The Theater Experience, penonton adalah elemen pertama dalam teater. Karena tidak mungkin ada teater tanpa penonton. Demikian pentingnya peran teater maka, penonton harus dipersiapkan. Siapa, darimana, usia berapa, mengapa mereka menonton, apa latar belakang mereka, apa harapan mereka dan apa imajinasi mereka. Sulit? Tentu saja. Rumit? Tentu saja.

Di sini kemudian perlu menggarap wacana dalam rangka menyiapkan background, expectation and imagination. Semua harus disiapkan? Ya, tentu saja. Orang yang pikirannya kosong melompong tidak bisa menonton teater. Mereka bisa sekadar menonton, tapi bukan menonton ‘isi’ nya. Yang saya maksud tentu penonton yang menonton ‘isi’, ‘mengupas’, ‘memakan’, ‘mencari’ inti sarinya. Disini background diperlukan, wacana dibutuhkan.

Wisata Monolog, Teater Kalangan

Wacana akan membantu membentuk teori kedua yaitu expectation of the audience. Ekspektasi penonton, harapan atau persiapan mutlak diperlukan bagi penonton sebab itu membantunya memahamai apa yang akan terjadi di pementasan.

Selanjutnya adalah perpaduan antara background and expectation akan membentuk teori ketiga yaitu the imagination of the audience yaitu imajinasi atau bayangan-bayangan imajiner tentang pementasan. Ketiga-tiganya sekali lagi berperan mengisi kepala penonton sehingga mereka siap. Pertanyaannya apakah itu cukup? Sekali lagi, tidak.

Wacana adalah fana, belajar adalah abadi, begitulah kira-kira. Saya pastikan lagi, ilmu menjadi penonton luas tak terbatas seperti langit. Setelah tiga teori itu, ada lagi yang mesti dipelajari. Untuk itulah mengapa saya kira Edwin Wilson menulis teori-teori penonton ini di bab-bab awal. Sebab begitu banyaknya yang perlu kita ketahui. Penonton tentu beragam jenisnya, setidaknya ada dua jenis penonton yang dibedakan penggolongannya yakni berdasarkan pengalaman dan berdasarkan kategori jenisnya.

Berdasarkan penggolongan pengalaman, penonton dibagi dua yakni mature audience dan immature audience. Mature audience adalah penonton yang matang baik secara teori, pengalaman maupun wawasan. Sedangkan immature audience adalah penonton yang awam, tidak punya pengalaman dan wawasan, apalagi teori. Bagaimana kita menyikapi penonton ini? Bagaimana menggarap wacananya? Tunggu, ini belum apa-apa.

Lanjut golongan kedua, berdasarkan penggolongan jenisnya, penonton dibagi dua lagi yakni, penonton yang bersifat homogen dan heterogen. Penonton yang bersifat homogen, adalah penonton yang dibagi lagi, berdasar usia, jenis kelamin, latar belakang, dan sebagainya. Misalnya penonton adalah siswa perempuan usia 15 tahun di sebuah sekolah A. Sangat jelas, sangat precise. Sedangkan golongan heterogen adalah golongan masyarakat umum yang campur aduk usianya, jenis kelaminnya, dan latar belakangnya. Tipe penonton inilah yang jamak hadir di perteateran kita. Bagaimana menggarap wacananya? Seperti apa bentuknya?

Nah tunggu dulu. Di antara penonton itu, maka terdapatlah jurnalis dan kritikus. Jurnalis biasanya hanya menulis permukaan dan deskripsi singkat tentang pementasan, sementara kritikus menulis dalam dan panjang. Bagaimanakah menggarap wacana bagi mereka? Berbeda urusan menggarap penonton biasa dengan jurnalis dan kritikus bukan?

Saya ingin mengembalikan konteks tulisan ini ke awal yaitu bagaimana menggarap wacana di tataran penonton. Saya menyadari bahwa tulisan ini bukanlah subjektivitas semata, namun ajakan berpikir bersama, sudahkah kita sebagai pelaku teater atau penikmat teater memikirkan menggarap penonton dengan hati-hati?

Wisata Monolog Teater Kalangan

Teater Kalangan bagi saya sudah sangat menggarap penonton dari segi wacana, tapi apakah itu cukup? Saya menelusuri pemikiran para penggiat Teater Kalangan, karena mereka teman diskusi dan teman ‘bermain’ teater yang sudah tahu asam garam teater. Saya menaruh optimisme pada mereka karena keseriusan mereka berteater, tanpa kenal waktu dan tanpa lelah.

Namun saya juga mencoba kritis, apakah ini semua benar-benar sudah cukup? Ternyata belum. Saya termasuk beberapa kali mengamati, wacana mereka kedodoran atau kesempitan. Penonton tidak dipersiapkan. Penonton tidak dikontrol, persiapan tidak serius. Penonton tidak diberi aba-aba jelas, penonton hanya dikejutkan, penonton hanya diajak bingung bersama, meskipun banyak yang meyakini bingung itu adalah proses belajar.

Penonton dilibatkan hanya sebagai penonton, setidaknya saya masih merasa begitu. Memang ada upaya melibatkan, tapi sekali lagi masih sebagai penonton. Belum pula saya lihat ada upaya antisipatif preventif terhadap misalnya penonton yang sensitif terhadap perlakuan tiba-tiba. Misalnya lagi penonton tiba-tiba dikejutkan, didorong, bajunya dicoret cat, disenggol, diberi suara-suara hentakan, diajak keliling tempat gelap, sempit, dan (hii) angker, bagaimana jika ada penonton sesak nafas, jantungan atau (tiba-tiba) kesurupan?

Apakah semua sudah dipikirkan? Apakah semua sudah dihitung resikonya? Termasuk menggunakan tempat di lorong-lorong sempit dan sulit diakses penonton. Saya serius bertanya, apakah ini hanya mengejar sensasi berbeda? Juga termasuk melakukan 8 pementasan bersamaan di delapan tempat yang berbeda dalam waktu bersamaan dengan penonton yang dipecah dan tidak diberi pilihan alias ditentukan.

Premis wisata monolog harusnya tidak sesederhana mengantarkan penonton seolah menonton objek wisata. Beda loh, menonton objek wisata dengan monolog. Objeknya beda, subjeknya beda, tujuannya juga sudah berbeda, otomatis sudut pandang dan pendekatannya juga berbeda. Saya curiga jangan jangan wacana di awal dihancurkan sendiri oleh Teater Kalangan. Padahal wacananya bagus, menonton monolog seperti menikmati sajian wisata ide, wisata makna yang berbeda.

Hemat saya, dalam konteks Wisata Monolog serangkaian Festival Monolong 100 Putu Wijaya ini Teater Kalangan seharusnya menyajikan dan menyiapkan lebih dari sekadar wisata menggedor mata dan telinga, namun benar-benar wisata makna. Tentu saja, saya tidak bermaksud mengatakan wisata ini tak bermakna, namun saya ingin bahwa layanan wisata monolog ini perlu diperbaiki, ditingkatkan kualitasnya dengan menilik semua teori penonton yang saya uraikan.

Jika belum cukup teori, atau wacana ini, maka perlu kiranya kita belajar lagi. Semuanya, sekali lagi, semuanya, termasuk saya tentu saja, perlu belajar yang terus menerus. Seperti yang saya katakan di atas, wacana adalah fana, belajar adalah abadi. Kita adalah fana, cerita kita adalah abadi. Tabik.(T)

(PS. Catatan ini ditulis jam 00.00 hingga jam 2 pagi, Kamis 27 Desember 2017. Setelah nonton “Wisata Monolog” Teater Kalangan hingga pukul 23.00 Wita Selasa 26 Desember 2016, di Kampus Bawah Undiksha)

Tags: Festival Monolog Bali 100 Putu WijayaMonologTeaterTeater Kalangan
Previous Post

Tahun Baru: Tak Ada Resolusi, Hiduplah Dengan Spontan!

Next Post

Arnata Pakangraras# Puisi-puisi: Giri Tohlangkir, Jalan Menuju Ingatan

Kadek Sonia Piscayanti

Kadek Sonia Piscayanti

Penulis adalah dosen di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Next Post

Arnata Pakangraras# Puisi-puisi: Giri Tohlangkir, Jalan Menuju Ingatan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co