DALAM konteks dunia perteateran di Bali, khususnya dalam konteks Festival Monolog 100 Putu Wijaya, saya secara pribadi sangat ingin menulis Teater Kalangan karena bagi saya Teater Kalangan memberi warna baru dan (kelak) memberi wacana baru perteateran di Bali, yang tentu masih harus didukung, diapresiasi, dan tentu saja dikritisi, jika perlu.
Saya ingin memberikan catatan kecil terhadap peristiwa monolog sebagai ajang pembelajaran bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya, terutama bagi dua aspek pentingnya; pelaku monolog (yang bisa disebut sebagai tim produksi) dan penonton monolog (apresiator monolog). Saya ingin sekali menjadikan proses kreatif Teater Kalangan sebagai sebuah studi kasus dalam konteks tulisan ini yaitu bagaimana pentingnya mempersiapkan penonton sebelum menonton.
Teater Kalangan kini sedang menjadi trending topic di kalangan teater di Bali, khususnya teater yang memberikan warna lain dari teater konvensional yang cenderung memisahkan penonton dan pelakunya. Teater Kalangan berupaya mendobrak sisi teater konvensional itu dengan memberi penawaran yang sesungguhnya tidak terlalu baru (jika bicara dalam konteks teater tradisional di Bali), yaitu melibatkan penonton dalam pementasan.
Namun ada penawaran baru yang menurut saya berbeda jika dibandingkan dengan penawaran teater konvensional pada umumnya dan teater tradisional Bali (seperti pada Arja, Drama Gong, atau Bondres), yakni adalah pembentukan wacana, yang terdiri dari (dipersiapkan) pra-produksi, produksi dan pasca produksi. Setidaknya itu menurut saya.
Wacana pra-produksi yang digarap Teater Kalangan biasanya adalah persiapan tahap pertama bagi penonton. Wacana ini ditulis dan disebarkan oleh sutradara atau pimpro di media sosial. Persiapan wacana ini diberikan untuk memberi ruang pertanyaan di kepala calon penonton. Apakah itu cukup? Tidak.
Wacana kedua yang dibangun adalah wacana produksi berupa wacana visual, melalui promosi atau teaser video di media sosial. Teater Kalangan menggunakan media sosial atau media apapun untuk menyerbu kepala calon penonton. Biasanya wacana ini digarap dengan konsep multimedia, bisa potongan video saat latihan, potongan suara-suara yang digabung dengan peristiwa, bisa juga gambar bergerak, sampai poster konvensional.
Wacana berikutnya adalah pembuatan sinopsis yang juga disebar secara masif. Terakhir, undangan. Undangan inipun tidak main-main, Teater Kalangan akan memborbardir calon penonton lewat SMS, WA, Line, Instagram, email, undangan dari mulut ke mulut dan entah apa lagi. Untuk urusan ini, mereka sangat serius dan militan. Persis pejuang yang akan jihad.
Berikutnya, wacana ini lanjut ke pementasan. Seringkali, wacana yang telah diberikan tidak cukup bagi Teater Kalangan. Teater Kalangan akan berupaya lagi sedemikian rupa untuk mengejutkan penonton. Mengapa saya katakan mengejutkan, karena bisa jadi wacana yang telah dibangun sebelum menonton, menjadi runtuh ketika menonton. Sebab bisa jadi wacana yang disodorkan sebelumnya terlalu besar alias kedodoran, atau kesempitan alias sumpek. Atau bahkan mencengangkan karena tercipta wacana baru.
Tetapi menakar wacana memang sulit, menundukkan kepala penonton lebih sulit lagi. Disinilah ternyata, wacana tidaklah cukup. Wacana adalah fana, belajar adalah abadi. Begitu kira kira. Mengapa saya katakan demikian, sebab wacana dalam konteks Teater Kalangan masih bersifat satu arah atau “monologue” atau lebih seram lagi “interior monologue”.
Wacana yang dipersiapkan adalah wacana yang sudah disiapkan secara subjektif. Secara subjektif sebab persoalan dibidik dengan sudut pandang personal, dan hemat saya masih sering terasa “normal-normal” saja. Kalaupun dianggap tidak normal, ketidaknormalannya pun masih tahap tidak normal yang normal sebab masih digarap dari sisi pelaku teater, bukan penonton.
Garapan isu yang diberi sudut pandang subjektif dan personal ini perlu diberi takaran akurasi yang lebih misalnya pada riset wacana dari sudut pandang penonton, misalnya penonton atau calon penonton dilibatkan sebagai pemberi ide kreatif, atau pemberi wacana baru, bukan sekadar menonton. Ini kalau memang serius ingin melibatkan penonton. Bicara soal penonton, ini masuk ranah wacana setelah pementasan, yang bahkan seringkali lebih serius dibanding pementasan.
Tentang Penonton
Kalau benar-benar serius, maka wacana melibatkan penonton ini terpaksa harus melibatkan sedikit teori tentang penonton. Pertanyaan apakah teori ini relevan masih harus diperdebatkan lagi, tapi setidaknya bacalah dulu.
Pertama, pahamilah 3 teori tentang penonton yaitu Background, Expectation and Imagination of the Audience. Menurut Edwin Wilson, penulis buku The Theater Experience, penonton adalah elemen pertama dalam teater. Karena tidak mungkin ada teater tanpa penonton. Demikian pentingnya peran teater maka, penonton harus dipersiapkan. Siapa, darimana, usia berapa, mengapa mereka menonton, apa latar belakang mereka, apa harapan mereka dan apa imajinasi mereka. Sulit? Tentu saja. Rumit? Tentu saja.
Di sini kemudian perlu menggarap wacana dalam rangka menyiapkan background, expectation and imagination. Semua harus disiapkan? Ya, tentu saja. Orang yang pikirannya kosong melompong tidak bisa menonton teater. Mereka bisa sekadar menonton, tapi bukan menonton ‘isi’ nya. Yang saya maksud tentu penonton yang menonton ‘isi’, ‘mengupas’, ‘memakan’, ‘mencari’ inti sarinya. Disini background diperlukan, wacana dibutuhkan.
Wacana akan membantu membentuk teori kedua yaitu expectation of the audience. Ekspektasi penonton, harapan atau persiapan mutlak diperlukan bagi penonton sebab itu membantunya memahamai apa yang akan terjadi di pementasan.
Selanjutnya adalah perpaduan antara background and expectation akan membentuk teori ketiga yaitu the imagination of the audience yaitu imajinasi atau bayangan-bayangan imajiner tentang pementasan. Ketiga-tiganya sekali lagi berperan mengisi kepala penonton sehingga mereka siap. Pertanyaannya apakah itu cukup? Sekali lagi, tidak.
Wacana adalah fana, belajar adalah abadi, begitulah kira-kira. Saya pastikan lagi, ilmu menjadi penonton luas tak terbatas seperti langit. Setelah tiga teori itu, ada lagi yang mesti dipelajari. Untuk itulah mengapa saya kira Edwin Wilson menulis teori-teori penonton ini di bab-bab awal. Sebab begitu banyaknya yang perlu kita ketahui. Penonton tentu beragam jenisnya, setidaknya ada dua jenis penonton yang dibedakan penggolongannya yakni berdasarkan pengalaman dan berdasarkan kategori jenisnya.
Berdasarkan penggolongan pengalaman, penonton dibagi dua yakni mature audience dan immature audience. Mature audience adalah penonton yang matang baik secara teori, pengalaman maupun wawasan. Sedangkan immature audience adalah penonton yang awam, tidak punya pengalaman dan wawasan, apalagi teori. Bagaimana kita menyikapi penonton ini? Bagaimana menggarap wacananya? Tunggu, ini belum apa-apa.
Lanjut golongan kedua, berdasarkan penggolongan jenisnya, penonton dibagi dua lagi yakni, penonton yang bersifat homogen dan heterogen. Penonton yang bersifat homogen, adalah penonton yang dibagi lagi, berdasar usia, jenis kelamin, latar belakang, dan sebagainya. Misalnya penonton adalah siswa perempuan usia 15 tahun di sebuah sekolah A. Sangat jelas, sangat precise. Sedangkan golongan heterogen adalah golongan masyarakat umum yang campur aduk usianya, jenis kelaminnya, dan latar belakangnya. Tipe penonton inilah yang jamak hadir di perteateran kita. Bagaimana menggarap wacananya? Seperti apa bentuknya?
Nah tunggu dulu. Di antara penonton itu, maka terdapatlah jurnalis dan kritikus. Jurnalis biasanya hanya menulis permukaan dan deskripsi singkat tentang pementasan, sementara kritikus menulis dalam dan panjang. Bagaimanakah menggarap wacana bagi mereka? Berbeda urusan menggarap penonton biasa dengan jurnalis dan kritikus bukan?
Saya ingin mengembalikan konteks tulisan ini ke awal yaitu bagaimana menggarap wacana di tataran penonton. Saya menyadari bahwa tulisan ini bukanlah subjektivitas semata, namun ajakan berpikir bersama, sudahkah kita sebagai pelaku teater atau penikmat teater memikirkan menggarap penonton dengan hati-hati?
Teater Kalangan bagi saya sudah sangat menggarap penonton dari segi wacana, tapi apakah itu cukup? Saya menelusuri pemikiran para penggiat Teater Kalangan, karena mereka teman diskusi dan teman ‘bermain’ teater yang sudah tahu asam garam teater. Saya menaruh optimisme pada mereka karena keseriusan mereka berteater, tanpa kenal waktu dan tanpa lelah.
Namun saya juga mencoba kritis, apakah ini semua benar-benar sudah cukup? Ternyata belum. Saya termasuk beberapa kali mengamati, wacana mereka kedodoran atau kesempitan. Penonton tidak dipersiapkan. Penonton tidak dikontrol, persiapan tidak serius. Penonton tidak diberi aba-aba jelas, penonton hanya dikejutkan, penonton hanya diajak bingung bersama, meskipun banyak yang meyakini bingung itu adalah proses belajar.
Penonton dilibatkan hanya sebagai penonton, setidaknya saya masih merasa begitu. Memang ada upaya melibatkan, tapi sekali lagi masih sebagai penonton. Belum pula saya lihat ada upaya antisipatif preventif terhadap misalnya penonton yang sensitif terhadap perlakuan tiba-tiba. Misalnya lagi penonton tiba-tiba dikejutkan, didorong, bajunya dicoret cat, disenggol, diberi suara-suara hentakan, diajak keliling tempat gelap, sempit, dan (hii) angker, bagaimana jika ada penonton sesak nafas, jantungan atau (tiba-tiba) kesurupan?
Apakah semua sudah dipikirkan? Apakah semua sudah dihitung resikonya? Termasuk menggunakan tempat di lorong-lorong sempit dan sulit diakses penonton. Saya serius bertanya, apakah ini hanya mengejar sensasi berbeda? Juga termasuk melakukan 8 pementasan bersamaan di delapan tempat yang berbeda dalam waktu bersamaan dengan penonton yang dipecah dan tidak diberi pilihan alias ditentukan.
Premis wisata monolog harusnya tidak sesederhana mengantarkan penonton seolah menonton objek wisata. Beda loh, menonton objek wisata dengan monolog. Objeknya beda, subjeknya beda, tujuannya juga sudah berbeda, otomatis sudut pandang dan pendekatannya juga berbeda. Saya curiga jangan jangan wacana di awal dihancurkan sendiri oleh Teater Kalangan. Padahal wacananya bagus, menonton monolog seperti menikmati sajian wisata ide, wisata makna yang berbeda.
Hemat saya, dalam konteks Wisata Monolog serangkaian Festival Monolong 100 Putu Wijaya ini Teater Kalangan seharusnya menyajikan dan menyiapkan lebih dari sekadar wisata menggedor mata dan telinga, namun benar-benar wisata makna. Tentu saja, saya tidak bermaksud mengatakan wisata ini tak bermakna, namun saya ingin bahwa layanan wisata monolog ini perlu diperbaiki, ditingkatkan kualitasnya dengan menilik semua teori penonton yang saya uraikan.
Jika belum cukup teori, atau wacana ini, maka perlu kiranya kita belajar lagi. Semuanya, sekali lagi, semuanya, termasuk saya tentu saja, perlu belajar yang terus menerus. Seperti yang saya katakan di atas, wacana adalah fana, belajar adalah abadi. Kita adalah fana, cerita kita adalah abadi. Tabik.(T)
(PS. Catatan ini ditulis jam 00.00 hingga jam 2 pagi, Kamis 27 Desember 2017. Setelah nonton “Wisata Monolog” Teater Kalangan hingga pukul 23.00 Wita Selasa 26 Desember 2016, di Kampus Bawah Undiksha)