LINGKUNGAN sekolah sesungguhnya bisa dijadikan sumber belajar untuk membangun dunia literasi, termasuk di dalamnya seni dan budaya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, untuk memajukan kebudayaan Indonesia, berbagai macam aspek kebudayaan akan diintegrasikan dengan pendidikan. Gerakan seniman masuk sekolah merupakan kegiatan pembelajaran seni di sekolah di luar jam pelajaran dengan melibatkan para seniman daerah.
Agaknya hal inilah yang membuat GM Sukawidana — guru Bahasa Indonesia mengajak para seniman untuk datang ke SMPN 1 Denpasar serangkaian Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya di sekolah itu. Ia mengundang tiga dokter dokter sekaligus aktor untuk pentas di panggung sekolah menengah itu.
“Semua lingkungan di sekolah adalah ekosistem pendidikan. Bisa dijadikan sumber belajar apa saja dan bermanfaat bagi siswa, jadi siswa tidak sekadar belajar tetapi memahami bagaimana para maestro bekerja, ini bagus untuk mengelola pendidikan karakter siswa. Sekarang itu dunia pendidikan tidak hanya memerlukan wacana, harus ada eksekusi,” papar GM Sukawidana.
Membangun Literasi
Jika berbicara dunia pendidikan di Indonesia, selama fase 2017, kita hanya disuguhkan pada pemikiran-pemikiran yang lahir dari seminar satu ke seminar yang lain dengan hasil yang seragam. Bahwa siswa (baca: pelajar) harus memahami pentingnya arti dan nilai-nilai pancasila. Siswa juga harus memiliki karakter yang kuat menjadi manusia Indonesia yang berkarakter dan “paham” menjadi orang Indonesia.
Pertanyaannya, sudahkah ada panutan yang layak dicontoh para pelajar kita? Sosok manusia Indonesia yang layak “digugu” dan di tiru? Manusia Indonesia berkarakter Indonesia? Sementara TV dan beragam berita online yang masuk ke gadget para siswa berisi berita-berita para petinggi negeri yang “memuja” korupsi. Apa yang bisa disimak para pleajar kita? Apa yang bisa digugu dan ditiru? Apa yang bisa dipelajari.
Persoalan berikut, lemahnya minat siswa pada literasi? Ini pun menawarkan beragam “ide-ide” untuk membongkar dan menata dan mencari formula untuk “memaksa” siswa memahami dan minimal tertarik pada literasi. Bagaimana caranya tertarik, kalau suguhan memahami literasi begitu “monoton” dan tidak memiliki daya tarik dan pikat. Literasi di sekolah? Minat baca? Pendidikan karakter? Itulah tiga isu 2017 yang belum menemukan formula untuk ditawarkan sebagai resolusi.
Di tengah miskinnya formula dari pengampu kebijakan pendidikan untuk membangun siswa yang berkarakter dan cinta literasi, acara “monolog tiga dokter” ini adalah solusi paling “cerdas” untuk menawarkan sistem “pembelajaran “ gaya baru yang menarik sambil “bermain”.
Misalnya penyair Tan Lioe Ie menawarkan puisi-puisi yang “serius” jadi pementasan yang menghibur sekaligus mampu memancing kepekaan estetika siswa di sekolah menengah untuk mencintai puisi dengan cara yang dalam istilah anak sekarang: “asik-asik”.
Tan Lioe Ie mampu mnawarkan “kesederhanaan” sekaligus “kemewahan”. Dengan petikan gitar dan musik, juga indah secara visual, karena Tan Lioe Ie mampu menjaga dan membca irama panggung, tampak para siswa yang hadir juga ikut bergoyang.
Pentas Tiga dokter
Dokter-dokter itu adalah dokter yang rela “menyelipkan” waktu untuk membangun wacana pendidikan dengan teknik yang baru dan unik, pentas monolog. Di tengah hiruk-pikuknya para pasien yang menunggu.
Dr Eka Kusmawan, sehari-hari sebagai dokter bedah, jelas kesibukannya berjibun dimulai dengan jadwal padat di RS Surya Husada. Kecintaannya pada teater dimulai sejak kuliah di Fakultas Kedokteran, sekitar tahun1985-1989. Menjadi bagian dari komunitas seniman (Sanggar Minum Kopi) SMK.
Pernah menjadi pemeran utama terbaik Lomba Drama Modern se -Bali.Tiga tahun terakhir ini belajar fotografi dan sinematografi. Sekarang masih aktif di beberapa organisasi, terutama di bidang profesi, sebagai dokter bedah.
Setelah lebih dari 20 tahun tidak lagi pernah ber-seni teater, kini bersama teman2 terpanggil untuk ikut memainkan monolog karya Putu Wijaya dalam rangka “Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya”. dengan judul monolog “Ah” — menceritakan tentang seorang dokter yang bertugas di tempat terpencil, yang rindu ibunya. Dengan gaji kecil, dan lingkungan seputar desa tempatnya bertugas yang lebih percaya “dukun” dibanding seorang dokter.
Eka Kusmawan memainkannya “nasib” dokter yang selama ini selalu terkesan “borjuis” dan otaknya hanya isi “uang” dan identik dengan kemakmuran, bisa digambarkan Eka dengan baik. Sang tokoh dokter sesungguhnya sejak awal dilarang ibumunya memilih bertugas di daerah terpencil, karena dijamin hidup tidak makmur.
Faktanya selama bertugas di daerah terpencil sang dokter tidak digaji, juga ketika ada seorang gadis desa meninggal karena pengobatan sang dukun, yang disalahkan justru sang dokter karena masyarakat lebih percaya dukun dibanding dokter. Ketika pasien sang dukun mati, sang dokter disuruh menghidupkan dan memanggil roh gadis desa yang sudah meninggal.
Eka mengkemas tata panggung simple, dengan tata lampu apik. Dan yang mengejutkan, Eka pun mampu memainkan sang tokoh, dokter desa dengan apik. Di tengah bejibun tugas sebagai dokter bedah. Eka bisa menyisipkan diri untuk ikut membangun literasi lewat visual yang indah dan matang. Sederhana, murah, dan tentu langsung eksekusi tanpa perlu duduk berjam-jam di sebuah seminar.
Dr Dewa Putu Sahadewa SpOG K, alumnus SMP 1 Denpasar tahun 1984.Lahir besar dan menyelesaikan pendidikan dokternya di Denpasar Bali tapi sejak berpraktek Dokter Spesialis Kandungan tahun 2005 sampai sekarang berada di Kupang NTT.
Ia memulai kecintaan pada dunia sastra dan teater sejak diajak ikut bermain teater di Sanggar Sastra Cipta Budaya asuhan sang guru Bahasa Indonesia GM Sukawidana, setelah itu malang melintang sering memenangkan lomba penulisan dan pembacaan puisi, lomba drama modern.Pernah bergabung di Teater Angin, Sanggar Putih dan Sanggar Minum Kopi.
Dokter Saha, begitu dia biasa dipanggil saat ini kembalimenulis puisi sejak 2015.Menghasilkan dua antologi tunggal dan puluhan antologipuisi bersama. Saha saat ini tinggal di Kupang mengurus ratusan karyawan Rumah Sakit Ibu dan Anak di Kupang. Saha akan memainkan naskah Putu Wijaya berjudul, “Narkoba”.
Jika kita jeli memahami pementasan ini, ada baiknya Saha perlu diundang untuk memberi ceramah bahaya narkoba dengan cara “pementasan”, Saha bermain serius. Ketika disinggung di tengah kesibukannya sebagai dokter kandungan, bisa-bisanya Sahadewa “mencuri” waktunya untuk mengajak semua pihak mencintai sastra.
“Jika minat masyarakat dan siswa terhadap sastra tinggi, mestinya minat baca tinggi dan masyarakat akan lebih cerdas dan maju. Karena “pintu” ilmu pengetahuan ada pada apa yang dibaca,” papar Sahadewa serius.
Dokter satu lagi Dr Sthiraprana Duarsa, orang menyebutnya dokter Ary Duarsa, sekitar tahun 1990-an puisi-puisi Dokter Ary Duarsa menjadi puisi-puisi yang disukai para pecinta puisi di Bali. Tetapi Ary Duarsa lebih nikmat menyimpannya sendiri, atau dibagikan untuk para sahabat. Sebagai dokter dan “petinggi” di Rumah Sakit Sanglah, dokter Ary merasa pementasan monolog tiga dokter serangkaian hari “Ibu” adalah cara yang paling tepat untuk memberikan “pencerahan”, “Relaksasi”, dan “pembelajaran” dengan cara-cara yang tidak biasa.
Karena bagi Ary Duarsa, lingkungan sekolah adalah tempat paling tepat untuk membangun karakter siswa dengan cara “bermain”. Dokter Ary Duarsa akan memainkan monolog Putu Wijaya berjudul “Raksasa” . Dengan gaya sederhana, dan apa adanya. Ary pun memainkan panggung dengan jenaka.
Jadi, begitulah seharusnya literasi dimainkan. Tidak cukup dengan beragam ceramah dan siswa harus duduk manis berjam-jam. Harus diubah paradigma memperkenalkan karakter, literasi, dan beragam program dengan cara rileks. Karena cerdas saja tidak cukup, harus ada keseimbangan antara otak kanan-kiri untuk membangun manusia Indonesia yang memiliki karakter matang. Mari berhentilah membuat beragam program-program yang membuat siswa menjelma jadi “cyborg”.
Tahu Cyborg? Cyborg adalah salah satu hasil rekayasa manusia dengan menggunakan teknologi canggih. Cyborg dibuat untuk digerakkan seperti manusia secara real. Cyborg merupakan perpaduan antara manusia dan mesin.. (T)
Catatan: Dalam versi berbeda, tulisan ini pertama kali dimuat di Bali Post