SETIAP hari adalah masa lalu, hari ini pun begitu. Saya katakan demikian, sebab kenangan datang tanpa permisi lalu menghujam tepat di jantung puisi. Puisi bagi saya adalah lagu yang dengan sendirinya adalah nada. Nada hanya mengada jika ada getar. Getar lahir dari hembusan angin. Angin itu bayu [tenaga].
Ada banyak penjelasan tentang nada jika seseorang rajin mendengar. Mendengarkan segala sesuatu dengan memperluas jangkauan telinga. Caranya adalah dengan memperlebar daun telinga. Maksudnya, dengan daun telinga yang diperlebar, gelombang bunyi lebih mudah untuk diterima. Tentu saja, telinga adalah bagian dari tubuh. Konsekuensi dari hal itu, ada batas-batas tertentu yang tidak dapat dijangkau. Perihal ini bisa menjadi sangat panjang jika dibicarakan. Oleh sebab itu, saya tidak akan melanjutkannya.
Mari lanjutkan catatan ini dari masa lalu. Masa lalu yang saya sebut-sebut kali ini, datang dibawa hujan. Hujan luruh tanpa bertanya dan mengalir begitu saja. Dari mendung jatuh ke tanah, lalu mengalir ke selokan, parit, sawah dan seterusnya. Hujan selalu membawa kehidupan, setidaknya rumput-rumput mengerti tentang hal itu. Hujan konon juga membawa kematian, yang mengerti hal ini adalah mereka yang telah mendahului menuju tempat adanya kematian.
Mengapa? Sebab hujan membawa banjir? Belakangan ini, banjir selalu jadi kambing hitam jika ada tubuh yang ditinggalkan jiwanya. Di balik banjir, selalu ada hujan yang juga dikambinghitamkan. Di balik hujan selalu ada iklim dan cuaca buruk yang berubah menjadi kambing lainnya. Ternyata ada banyak hal yang bisa berubah jadi kambing. Tapi tentu tidak bagi manusia yang sengaja menyumbat aliran air.
Saya membayangkan, seandainya manusia mengubah dirinya dengan sadar menjadi kambing. Terutama kambing hitam. Apa jadinya? Barangkali bumi ini tidak disebut bumi manusia, tapi bumi kambing. Tidak buruk menjadi kambing, sebab ada kalanya kambing dihias oleh manusia, lalu digendong keliling tempat suci. Setelahnya, ia akan mempersembahkan tubuhnya sebagai upacara. Tapi manusia, belum siap jadi kambing!
Apa hubungan kambing, manusia, dan hujan? Saya tidak tahu apa hubungannya. Ketika saya ketik kata-kata ini, di luar sedang hujan, jari-jari dan pikiran bekerja sama dengan baik. Segala yang dipikirkan pikiran, diketik oleh jari-jari. Saat jari-jari kelelahan, saya pandangi hujan, dan pikiran mengarahkan dirinya kepada sosok kambing.
Saya berusaha menghentikan pikiran semacam itu, lalu saya ulangi lagi. Memandangi hujan lalu berpikir, mengapa hujan dingin? Mungkin karena di dalamnya tersimpan kenangan-kenangan yang membuat rindu. Rindu tentu ada hubungannya dengan dingin, sebab keduanya sama-sama membuat tubuh menggigil.
Maaf kata-kata itu terlalu melankolis. Saya akan mengubahnya. Hujan itu tidak dingin tetapi panas. Panas, sebab di dalam hujan ada api. Api yang turun bersama hujan disebut petir. Petir itu api. Jadi api tidak selalu ke atas, tapi juga ke bawah. Petir adalah lidah api yang menjulur ke bawah. Lidah api siapa yang menjulur ke bawah sampai ke bumi? Jangan bayangkan rangda sebagaimana diajarkan oleh tradisi di Bali!
Hujan di luar telah berhenti. Saya merasa tahu hal itu, sebab tidak ada lagi suara hujan yang terdengar. Saya lalu bertanya ‘benarkah itu suara hujan?’. Saya keluar ruangan, ternyata gerimis. Gerimis itu bersaudara dengan hujan. Saya merasa tertipu, tetap saja ada air yang turun dan membuat mata basah. Suara-suara tadi bukan suara hujan tapi suara benda-benda yang kehujanan.
Hujan di musim kemarau, seperti anugerah bagi yang merasa kering. Kering di musim hujan berlaku seperti kutukan. Tentu tidak mutlak demikian. Setiap orang boleh memandangi rinai hujan, kemudian bertanya tentangnya. Setiap orang juga berhak memandangi tanah-tanah tandus, lalu bertanya tentangnya. Alam adalah penulis, dan manusia sebagai pembaca.
Membaca bukan persoalan mudah. Sebagaimana membaca kemarau yang kehujanan. Ada seseorang yang berkata bahwa hujan adalah pertanda rindu langit kepada bumi. Lalu kepadanya, saya ingin bertanya “apa tanda rindu bumi kepada langit?”. Entahlah saya tidak tahu, biarkan saja semuanya tetap menjadi rahasia. Sebab bukankah segala sesuatu punya rahasianya sendiri? (T)
BACA JUGA: