IBU adalah nama yang selalu kita sebut, setiap kali berada dalam kesulitan. Kata ibu kerapkali muncul dari panggilan tak sadar kita.
Tapi, begitu sadar, dan merasa sebagai manusia dewasa, kita menahan diri untuk memanggil ibu, menyapa ibu dan menjenguk ibu. Bahkan merasa harus menghindar, dari perhatian-perhatiannya yang memperlakukan kita sebagai anak. Pada 22 Desember di Hari Ibu kita latah berucap selamat hari ibu, dan baru tersentak ketika sadar bahwa kita tak punya ibu lagi. Lagi sibuk mencari ibu.
Itu hal-hal yang bisa dijadikan renungan ketika Pande Jati memainkan monolog Hari Ibu karya Putu Wijaya di Umah Bata, Bangli, Kamis 21 Desember 2017. Monolog itu dipentaskan serangkaian Hari Ibu sekaligus sambungan dari rantai Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya yang sudah memasuki bulan-bulan terakhir Desember 2017.
Di Umah Bata, Bangli, dipentaskan dua monolog. Selain Pande Jati, ada IGA Darma Putra yang memainkan naskah monolog Rakyat, juga karya Putu Wijaya. Pentas dua monolog itu juga diisi dengan pembacaan puisi dan musikalisasi puisi bersama seniman-seniman muda di Bumi Sejuk Bangli.
Kelatahan dan ketersentakan yang halus dari renungan soal Hari Ibu itu dibawakan dengan elegan, tanpa meledak-ledak, dan tetap mengejutkan, oleh Pande Jati. Pande Jati membuka monolog dengan bertembang Bali tentang kerinduan pada ibu.
Adegan selanjutnya adalah penyesalan dan keluh kesah seorang lelaki yang telah kehilangan ibunya. Akhirnya menuangkan kelatahan pengucapan selamat Hari ibu pada ibu mertuanya. Akting Pande Jati terlihat menonjol pada saat ia dengan liahai memainkan sosok menantu yang semangat mengucap selamat hari ibu, dan mertua yang menolak. Karena bagi mertua setiap hari adalah hari ibu.
Lalu. monolog Rakyat dimainkan dengan lantang oleh IGA Darma Putra. Vokalnya yang kuat dan tajam membuat penonton terhenyak, menahan nafas, dan fokus memperhatikan sang aktor yang berhasil menguasai panggung.
Mungkin IGA Darma Putra bukan pemain monolog berpengalaman. Namun ia punya cara sendiri menguasai panggung sekaligus penonton. Saat monolog dimulai, awalnya tak disadari oleh penonton. Darma memulai dengan bertanya secara wajar tentang segala hal kepada penonton, seperti ngobrol biasa, termasuk mempersilahkan penonton untuk masuk ke dalam ruangan.
Darma berhasil diterima sebagai rakyat yang bernama Dharma. Setelah Darma memerankan tokoh politikus dan masuk ke areal utama panggung, barulah penonton menyadari bahwa monolog ternyata sudah berlangsung. Dan celoteh, argumentasi, mimpi, harapan, keluh kesah, serta berbagai pertanyaan dan pernyataan berhasil dimainkan dengan konsentrasi penuh.
Kadang ia tampil garang, kadang ia tampil lemah dan mengundang keprihatinan. Membentak, tertawa, mengejek, merintih menangis pilu, menjerit, mengumpat, dan bebas. Tema rakyat yang luas dan terbuka, membuat Darma Putra sebagai pemain bebas mengeksplorasi diri.
Pementasan monolog di Umah Bata, Bangli, juga pementasan sebelumnya di SMKN 1 Kintamni yang diprakarsai Sandika Adi, bisa menyebarkan cuaca baik bagi perkembangan dunia teater dan sastra di Bangli. Seniman-seniman muda sudah lahir, mereka diharap bisa tumbuh dengan upaya penyiraman yang baik dan tentu saja rutin. Selamat, Bangli. (T)