KONSOLIDASI, pertemuan, dan lobi-lobi sudah memang menjadi pekerjaan politikus. Spanduk isi foto calon kandidat, stiker, juga poster sudah biasa dijadikan metode “formalitas” sekaligus klasik dalam berpolitik. Selanjutnya kemudian kampanye-kampanye dilakukan dalam berbagai bentuk mulai dari orkes, konser, sampai yang islami-islami semacam pengajian dan istighatsah akbar sudah banyak dilakukan dan dilestarikan.
Sampai secara kebetulan dan secara tidak sengaja saya temukan sebuah kemasan kopi shaset-an bermerek salah seorang yang bisa kita bilang politikus di daerah Jawa Timur (namanya sudah tercantum di Judul). Toh, memang tidak selamanya politik itu kotor, tetapi sejumlah orang bahkan kebanyakan berparadigma dan mempersepsikan hal-hal yang berbau politik sebagai isu-isu yang jika dikatakan hampir mendekati kata “jelek”.
Tak jarang saya temui setiap ada sebuah perkumpulan seperti pengajian, harlah, halal bi halal yang dihadiri oleh beberapa dewan dan para politikus maka di pojok-pojok dan di balik keremangan kampung, orang-orang seperti terdengar berbisik-bisik dan menerka bahwa acara yang dihadiri para politikus itu sudah tercemar aroma politik. Seakan politik seperti menjadi sebuah hama dan virus yang bisa merebak ke mana saja.
Hal-hal semacam korupsi, ingkar janji, dan sikap PHP (Pemberi Harapan Palsu) para politikus yang banyak ditemui menjadi faktor terbesar dalam membentuk paradigma masyarakat tentang politik. Padahal secara sederhana politik adalah dialektika perebutan kekuasaan yang tidak harus diwarnai hal-hal negatif. Maka ketika sudah terjadi dan ditemukan kenegatifan politik, masyarakat mulai mempersepsikan bahwa politik itu kotor. Bahkan seorang tokoh besar pada abad pertengahan menyatakan bahwa seorang ulama’ adalah orang jauh dari intrik-intrik politik.
Kemudian saya bolak-balik kemasan kopi instan tersebut, bagian depannya terdapat nama sekaligus foto yang pastinya sedang tersenyum. Setelah memandang agak lama pada bagian belakang kemasan, saya sedikit mengelus dada lega. Ada catatan di pojok kanan kemasan bertuliskan “tidak untuk diperjual-belikan”. Orang yang tertera pada kemasan yang sekaligus namanya dijadikan merek itu dikenal dengan embel-embel “gus” sebagai panggilan orang jawa bagi para keturunan kiyai yang masih muda.
Melihat dewasa ini, hubungan ulama’ dan politik sudah bukan hal yang tabu. Beberapa tokoh ikut kampanye, ikut teriak-teriak di depan rakyat. Agak risih sebenarnya, tapi saya yakin mereka pasti mempunyai alasan. Paling tidak mereka akan bilang begini: “Kalau politik dibiarkan terus memburuk, diisi oleh orang-orang yang tidak beres, maka siapa lagi kalau bukan kita sebagai pembersih citra buruk kepemimpinan politik”.
Paradigma baru kemudian muncul dan perkataan Imam Ghazali tadi seperti tidak berlaku di Indonesia. Secara akal, ulama’ dan semacamnya seperti kiyai pula tokoh masyarakat bagi masing-masing individu memang ditugaskan untuk menyebarkan Islam baik secara kuantitas ataupun nilai-nilai formalnya. Maka politik sebagai salah satu budaya yang ada sudah menjadi kemestian untuk juga dikawal dan dibina dari ketercemaran dan harus diluruskan sebagai salah satu tanggung jawab dan misi dakwah.
Dalam salah satu guyonan teman saya ketika tahu ada merek kopi yang seperti itu dia bertutur begini: “Wah, jadi kopi ini enaknya disuguhkan bukan dalam bentuk seduhan, tapi tinggal diletakkan di ruang tamu buat pajangan. Nanti kalau ada tamu tinggal dibagi-bagi, kita nyeduh kopi merek lain aja.”
Kopi yang sejak dulu menjadi budaya kuliner turun-temurun dan banyak disuguhkan dalam berbagai hajatan, kini menjadi “kendaraan” baru perpolitikan Indonesia. Terlepas dari rasanya yang entah enak atau tidak ataupun niat di balik pemproduksiannya, tetapi pergunjingan merek yang diambil dari nama salah satu politikus itu pastilah ada.
Daripada mempersoalkan orang yang sedang tersenyum pada kemasan kopi itu, mending kita seduh sembari memperbincangkan harapan-harapan bagi politik di masa mendatang. Hitung-hitung minum kopi dan ngobrol politik agar berkesan layaknya acara talk show di televisi.
Sampai kemudian saya menulis artikel ini, entah dalam bayangan saya kelak akan muncul banyak makanan-makanan yang bermerk nama-nama politikus, entah rujak Jokowi, soto Amin Rais, atau bahkan garam Prabowo. Yah, semoga saya tidak diciduk akibat ketergelitikan saya dalam melihat merek kopi ini. Tapi pada intinya, harapan rakyat kepada perpolitikan pastilah baik-baik dan tidak menginginkan hal-hal buruk. (T)