BEBERAPA bulan selepas Gunung Agung menyandang status awas untuk kedua kalinya, merebaklah berbagai diskursus tentang citra malas atau manja para pengungsi yang mendiami posko-posko pengungsian di sejumlah wilayah di Bali. Kabarnya ada oknum pengungsi yang asik bersolek atau bahkan berjudi ketika para relawan memberikan pelayanannya dengan sepenuh hati.
Isu semacam itu, sebagaimana diberitakan di media masaa, belakangan bahkan dilegitimasi oleh seorang pemimpin daerah di Bali dengan menyatakan pengungsi agak manja. Tentu saja pandangan-pandangan semacam itu sangat berbahaya, karena pandangan semacam itu telah ikut mengobstruksi citra pengungsi yang tidak berwatak pemalas.
Pemberian label haruslah didasarkan pada pengalaman holistic ‘sejauh yang diberikan’, tidak dapat mengandalkan segelintir gejala saja dalam memadatkan konklusi. Terlebih fenomena kemanusiaan yang substansinya berkaitan dengan eksistensi rasa yang bertengger pada masing-masing insan.
Generalisasi atas citra kemalasan yang terlanjur dilekatkan kepada para pengungsi akan tampak majir ketika melihat semangat Mangku Nengah Nuarsa, pengungsi asal Banjar Besakih Kawan, Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem. Keberadaan Mangku Nuarsa tampak janggal di antara para Relawan yang memberikan pelayanan di Posko Logistik UPT Pertanian Kecamatan Rendang.
Tubuhnya yang ringkih nampak jauh bebeda dengan para relawan yang usianya jauh lebih muda serta tampak kekar. Pakaiannyapun terlihat lebih lusuh dari orang-orang di sekitarnya. Nuarsa memang korban namun hal itu tidak membuatnya hanya bertepekur dalam kelembaman. Tanpa dimintapun Nuarsa ikut mengangkut logistik yang dicurahkan para donatur.
Di usianya yang menginjak 79 tahun tentu saja tidak begitu banyak barang yang diangkutnya. Nafasnya mulai terengah sehabis memindahkan beberapa barang, keadaan itu diperparah lagi dengan riwayat gangguan paru-paru yang telah lama diidapnya namun yang terpenting bukanlah seberapa banyak pekerjaan yang dapat diselesaikannya.
Suatu hal yang jauh lebih krusial adalah semangat Nuarsa mampu mengantarkan kita kepada pernanangan yang lebih luas dari sekadar melekatkan citra malas kepada para pengungsi tetapi miskin resolusi guna meranjingkan para pengungsi untuk tetap berinovasi di lokasi-lokasi pengungsian.
Nuarsa 1963
Nuarsa telah mengabdikan dirinya dalam diam ketika letusan Gunung Agung tahun 1963. Saat itu dia telah berusia 25 tahun dan bekerja tanpa pamrih sebagai petugas keamanan untuk mengamankan desanya yang telah kosong ditinggal mengungsi oleh penghuni-penghuninya.
Setelah gejolak Gunung Agung mereda, Nuarsa beserta keluarganya sempat bertransmigrasi ke Lampung, namun hanya 5 tahun saja ia bertahan di daerah transmigran. Bukan karena malas melainkan kedua orangtuanya yang telah lanjut usia berkeinginan meninggal di Bali, tidak mau dijemput ajal di daerah yang bukan tempat kelahirannya.
Benar saja setelah 40 hati tiba di Bali ibunya meninggal dunia yang kemudian disusul sang ayah. Nuarsa yang memiliki 5 orang anak bukanlah pengungsi dengan kondisi ekonomi yang berada sehingga bisa berleha-leha. Sebelum Gunung Agung memperlihatkan tanda-tanda kebangkitannya Nuarsa hanya menggantungkan hidupnya dari pekerjaan beternak sapi hasil ngadas.
Oleh karenanya tentu tidak banyak tabungan yang dimilikinya terlebih di lokasi pengungsian dia tidak mempunyai sumber pendapatan apapun. “Setiap orang dapat beras dua kilo. Sebutir telur untuk empat hari”, demikian ucapnya di tenda tidurnya.
Hebatnya, Nuarsa tetap bersemangat untuk melakukan pelayanan, padahal sebagian pengungsi yang kehilangan optimisme berpikir bahwa dirinyalah yang harus dilayani dalam kondisi seperti itu. Ketika beberapa relawan yang menaruh empati menanyakan bahan bakar semangatnya yang tiada pupus itu Nuarsa hanya menjawab, “Biar otot-otot saya tidak kaku. Ketika kerigat keluar saya jadi lebih sehat”.
Jawaban yang tampak sederhana itu bukanlah sesuatu yang biasa namun menampakkan esensi dari niskama karma (kerja tanpa pamrih). Nuarsa yang juga dipanggil Mangku karena telah diwinten benar-benar dapat menstimulus tegaknya pilar apodiktis. Tiap mata yang sempat menyaksikan semangatnya akan menjadi yakin bila pengungsi-pengungsi Gunung Agung dapat diberdayakan seara holistik bahkan lebih berdaya dari sebelum mengungsi.
Bila Nuarsa yang telah renta dan tidak mengenyam pendidikan tinggi masih menjaga tungku asanya. Lalu bagaimana mungkin insan-insan yang lebih muda, berbadan lebih kekar, berpendidikan lebih tinggi, lebih berada dan seabreg kelebihan lainnya dibiarkan menjadi malas karena khawatir kehilangan masa depannya?
Menelisik keseharian Nuarsa akan menjadikan kita lebih mawas untuk melihat mutiara-mutiara terselip dalam fenomena yang diasumsikan sebagai bencana. Kita juga dapat belajar bahwa rasa takut terhadap bencana dapat ditawar dengan saling melayani, bukan saling mengharapkan pelayanan.
Pengungsi, donator, relawan, pemerintah, dan pihak-pihak terkait lainnya dapat melakukan otokritik bukan saling menyalahkan dalam meretas solusi. Meniru laku Nuarsa yang lebih memilih terus bekerja daripada sibuk memamerihkan pekerjaannya. (T)