Kesadaran adalah matahari.
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakrawala.
Dan perjuangan
adalah pelaksanaan kata-kata.
(WS Rendra, 1984)
ADA anekdot yang mengatakan di antara semua lapisan masyarakat, seniman adalah manusia yang paling jujur. Karena saking jujurnya, maka banyak seniman menjadi miskin. Anekdot itu ada benarnya. Seniman memang mengandalkan kejujuran dalam mengolah dan menuangkan inspirasi untuk mewujudkan sebuah karya seni. Bila berurusan dengan uang, misalnya menjual karya, seniman biasanya juga bingung menentukan harga.
Karena kejujuran seniman masih bisa diandalkan, seniman pun sulit korupsi. Terlalu disibukkan oleh urusan menciptakan karya, pikiran seniman jauh dari materi, apalagi niat menilep uang yang bukan haknya. Mungkin karena itu pula Rendra pernah berkata: seniman gagah dalam kemiskinan.
Namun seniman yang dimaksud di atas tentulah seniman idealis yang masih punya hati nurani. Sebab di zaman kekinian ini banyak juga seniman gadungan bergentayangan memburu proyek-proyek kesenian dan buntut-buntutnya adalah untuk memperkaya diri sendiri. Dari sana kemudian muncul istilah seniman proyek. Menjadi seniman proyek pun sebenarnya tidak masalah selama sang seniman benar-benar mengerjakan proyek seninya hingga tuntas dan melakukan pertanggungjawaban moral atas apa yang dikerjakannya.
Ketika wacana korupsi makin merebak belakangan ini, seniman pun turut ambil bagian dalam gerakan perlawanan terhadap korupsi. Misalnya, kita dengan mudah menemukan lukisan-lukisan atau mural yang berisikan gambar “tikus berdasi” sebagai simbol koruptor. Atau pentas-pentas teater yang mengusung tema korupsi.
Dalam konteks sastra, persoalan korupsi juga sejak lama telah menjadi bagian kegelisahan sastrawan. Maka muncul puisi-puisi bertema korupsi, misalnya yang ditulis oleh Rendra, Wiji Thukul, Sosiawan Leak, dan masih banyak lagi. Selain itu, di banyak tempat digelar acara pembacaan puisi protes sosial, termasuk di dalamnya menyuarakan perlawanan terhadap korupsi.
Lewat karya-karyanya yang mengandung nilai kejujuran, seniman memang dipandang sebagai salah satu pembentuk dan penjaga karakter bangsa. Lewat karya seni, berbagai kritik sosial maupun nilai-nilai pendidikan budi pekerti bisa dikumandangkan. Karena keyakinan pada hal tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggandeng sejumlah komunitas kesenian di Bali untuk terlibat dalam Festival Antikorupsi 2017. Salah satu tujuan festival ini adalah kampanye penyadaran dan pencegahan korupsi.
Komunitas seni yang terlibat dalam festival ini adalah Jatijagat Kampung Puisi, Komunitas Pojok, Komunitas Jamur, Lingkara, Luden House, Sanggar Purbacaraka, Plasticology, Tukad Abu, Akar Rumpur & RDS, Hutan Film, Rumah Sanur, Samas Comunity. Selain itu, festival ini juga didukung oleh Yayasan Manikaya Kauci, AJI Denpasar, Bintang Gana, Aliansi Rakyat Anti Korupsi-Bali.
Kegiatan festival ini meliputi lomba karikatur, poster, film, iklan radio, komik strip, video art, apresiasi sastra, penerbitan buku puisi, pementasan teater, lomba esai & jurnalistik, musik, info grafis, mural, diskusi, workshop, dan masih banyak lagi. Puncak festival digelar tanggal 9 Desember 2017 dengan pameran bersama dan pementasan kesenian.
Begitulah. Seniman dari berbagai disiplin seni, aktivis antikorupsi, wartawan, cendekiawan, dan masyarakat bersatu padu bergerak melawan korupsi dengan mengusung semangat puputan. Sebab puputan mempunyai nilai historis yang sangat kuat dan mengakar dalam konteks perjuangan rakyat Bali melawan kolonialisme.
Secara harfiah, puputan berarti perang, perlawanan, atau bertempur habis-habisan. Filosofi puputan diharapkan menjadi spirit bagi setiap orang untuk bertempur habis-habisan melawan korupsi. Tentu saja pertempuran itu dimulai dari diri sendiri dengan semangat jengah, berani, dedikasi, dan integritas yang kuat.
Semangat puputan ini kembali berkobar karena sejak lama korupsi telah menjadi persoalan yang sangat serius di Indonesia. Nyaris setiap hari kita disuguhi berita tentang kasus-kasus korupsi. Yang bikin muak, korupsi dilakukan oleh banyak pejabat pemerintah, bahkan pejabat yang mengaku dirinya sebagai wakil rakyat. Tidak tanggung-tanggung, dari pengadaan E-KTP hingga kitab suci telah menjadi sasaran empuk para koruptor.
Bahkan, ironisnya, Tugu Integritas sebagai simbol perlawanan terhadap korupsi pun dikorupsi. Korupsi memang memuakkan dan bikin geram. Kasus-kasus korupsi telah banyak merugikan negara dan bangsa ini. Kehadiran lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun belum mampu membuat jera para koruptor.
Bahkan, KPK berusaha digembosi dengan berbagai cara oleh para koruptor. Namun, KPK tidak kenal lelah mengajak seluruh lapisan masyarakat bersatu padu memberantas korupsi. Salah satu upaya KPK adalah menggandeng komunitas-komunitas kesenian untuk terlibat dalam gerakan pencegahan dan penyadaran agar benih-benih korupsi tidak tumbuh menjamur di masyarakat.
Semoga gerakan ini membuahkan hasil. Setidaknya berhasil memberantas benih-benih korupsi di dalam diri sendiri. (T)