DARI dalam gelap, Cok Sawitri selaku sutradara memberi aba-aba, “Action!”. Lalu, sinar lampu yang ditata Pandet Brewok mulai merayap, membuka apa yang dikurung penonton di Studio Tari Warini milik maestro tari Bali B Arini di Jalan Kecubung Denpasar, Minggu malam, 5 November 2017.
Suasana terasa mencekam ketika terkuak secara artistik sesosok yang terkubur kelambu tipis dengan posisi antara tidur dan mati. Sesaat kemudian, barulah orang yang terkubur kelambu mengupas kuburannya.
Itulah kisah dari pentas monolog berjudul Bahaya karya Putu Wijaya, kisah tentang seorang yang mempunyai penyakit kejiwaan, pencuriga, mungkin sejenis skizofrenia, yang melihat semua adalah ancaman, semua adalah bahaya, bahaya ada di mana-mana, termasuk curiga terhadap dirinya adalah juga bahaya bagi dirinya.
Pementasan itu adalah pementasan ke-60 dan 61 serangkaian Festibal Monolog Bali 100 Putu Wijaya yang sudah berlangsung sejak awal 2017 dan akan ditutup Desember mendatang. Malam itu ditampilan 2 monolog, yakni Bahaya yang dibawakan Eka Putri dan Blok yang dimainkan Aryani Willems.
Bahaya
Monolog Bahaya dibawakan apik dan menarik oleh Eka Putri. Meski mengaku baru pertama kali manggung teater monolog, namun berkat kecanggihan sang sutradara Cok Sawitri, Eka Putri (yang sempat main dalam End Game karya Beckett yang juga disutradari Cok Sawitri), dapat melintasi keseluruhan laku yang harus disajikan dengan konidisi kejiawaan yang rumit dan mencekam.
Sesekali saya melihat penonton tergelitik, karena ketakutan berlebihan yang dibangun oleh teks monolog Putui Wijaya. Pembukaan adegan dan penutup adegan sangat saya sukai, karena saya merasa ikut terkubur dan dibunuh oleh penyakit kecemasan yang dialami tokoh itu.
Akhirnya Monolog Bahaya malam itu, tidak hanya menyajikan apa yang dipikirkan tokohnya, juga berhasil menggoda, mencubit kemapanan jiwa kita, dan dalam garis besar konidis kebangsaan, ketakutan dan rasa bahaya akan terjadi sesuatu kerap melanda kita, tak ubah ketakutan sang tokoh terhadap apa saja adalah berbahaya dan ancaman, bahkan sampai di persembunyian bahaya datang dari nyamuk dan virus.
Blok
Pada pementasan kedua, monolog Blok yang dibawakan Aryani Willems terasa kematangannya sebagai pelaku teater yang dilakoni sejak lama, mungkin sudah sekitar 20 tahunan. Saya mengenalnya ketika ia masih SMA dan bermain bagus dalam drama komedi. Kini ia tinggal di Jerman yang juga masih menekuni seni akting.
Adegan realis dengan suara tertakar wajar membuat adegan seperti kejadian sehari-hari, bukan di panggung. Sambil memainkan mesin jarit tua, si tokoh tua itu mengingat-ngingat seseorang dan kisah kelu dan kelucuannya yang naif. Tentang seseorang anak muda yang punya cita cita besar tapi keburu tewas.
Uniknya si tokoh yang mempunyai hubungan khusus, mungkin hubungan darah, mempunyai kebiasaan nakal yaitu menunjukkan kelaminnya jika sedang dinasehati.
Aryani yang sudah matang, ketika memvisualkan kelamin laki-laki menggunakan kembungan panjang sehingga terasa naif. Kisah Blok, tidak hanya menggugat juga puisi gelap. Permainan monolog ini dihiasi tarian improvisasi dari Bu Arini dan Carmen yang memkai topeng tua.
Kehadiran dua penari di awal memakai topeng tua, juga pada penutupan memberi kesan misteri orang tua yang menyimpan banyak kisah pahit menyakitkan di benaknya yang harus dijalani dengan tabah.
Blok dimainkan dan disutradari oleh Aryani Willems dengan seting ditata oleh perupa Wayan Upadana. Semua sakti.
Ada yang harus saya banggakan. Cok Sawitri di tengah kesibukannya yang padat tetap meluangkan kesabaran kepada anak-anak ISI jurusan tari, membujuknya mengenal seni teater.
Pertanyaan Carmencita dalam diskusi sangat penting bagi para penari terkait perlunya mereka juga menekuni teater: “Kenapa aktor dari negara luar senang belajar tari Bali?” (T)