HARI Selasa, sehari sebelum Hari Raya Galungan, 1 Oktober 2017, pukul setengan lima sore waktu setempat, saya dan Bang Zen, berangkat dari Singaraja ke Denpasar. Jelas, tujuannya adalah liburan.
Hari Raya Galungan memang meliburkan semua aktifitas di Bali—termasuk perkuliahan tentunya. Ketika banyak teman-teman menfaatkan liburan untuk pulang kampung, saya lebih berinisiatif untuk menjelajah Bali dulu. Toh, rumah saya juga jauh.
Bang Zen, seorang mahasiswa pasca yang juga sama-sama merantau ke Singaraja dengan mantap menerima tawaran saya untuk mengajaknya liburan. Gayung bersambut, Fahmi dan Frengky pun tak mau kalah. Akhirnya, kami berempat sepakat untuk mengeksplor Bali mumpung ada kesempatan.
Jam setengah lima sore saya dan Bang Zen berangkat dari Singaraja, sedangkan Fahmi dan Frengky sudah duluan berangkat. Kami janjian akan bertemu di Lapangan Renon. Dengan Absolut Revo berwarna merah, saya dan Bang Zen melaju dengan kecepatan rata-rata.
Bang Zen, sang kemudi, dengan lihainya meliuk-liuk mengikuti jalan antara Singaraja sampai Bedugul. Udara yang dingin—lebih kesejuk—hutan yang masih terjaga—pohon durian dan cengkeh—membuat perjalanan begitu mengasikkan.
Disisi lain, disepanjang jalan dari Singaraja sampai Bedugul, rute yang dilalui agak sedikit memacu adrenalin. Jalan yang banyak tikungan tajam, ditambah menanjak pula. Belum lagi tanah yang sewaktu-waktu bisa longsong, pohon tumbang, dan udara yang dingin. Namun bukan Bang Zen namanya kalau takluk akan keadaan yang demikian. Buktinya, Bang Zen mengendara santai seperti tidak ada ancaman apapun.
Sekitar jam setengah tujuh malam, saya dan Bang Zen sampai Lapangan Renon setelah muter-muter, disesatkan oleh google map. Disanalah, saya dan Bang Zen bertemu dengan Fahmi dan Frengky.
Kemudian, kami istirahat dan makan dekat Kampus Udayana—tepatnya dekat Fakultas Ekonomi—setelah itu langsung ke tempatnya Bang Mayadi untuk numpang istirahat.
Masalah istirahat, bukanlah masalah bagi kami, selain ada Bang Mayadi, disana juga ada teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Denpasar yang tidak sulit untuk menerima kami sebagai tamu mereka. Inilah enaknya punya relasi. Tidak pusing-pusing untuk memikirkan dimana tempat untuk bersinggah.
Pagi, sekitar jam setengah tujuh, kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan. Pantai Pandawa. Ya. Tujuan pertama yang akan kami eksplor. Bersiap-siaplah kami berempat. Perlengkapan seperti: kamera, air minum, buku bacaan, dan beberapa barang yang kami pandang perlu.
Dengan motor Vario Fahmi dan Frengky membelah masyarakat urban Denpasar. Fahmi, sebagai pengemudi dengan mantap menyalip, mendahului. Sedangkan saya dan Bang Zen, mengikuti dari belakang. Ada yang lucu dari perjalanan kami kemarin. Sepeda motor Bang Zen—si merah Absolut Revo—sepertinya sedang mengalami pilek ringan.
Sepanjang perjalanan, motor tua itu selalu berbunyi nyaring ketika rem belakang terinjak. “Kritttttttt” begitu kira-kira bunyinya. Sepanjang perjalanan pula, tak jarang pengendara lain tertawa mendengar jeritan si merah Absolut Revo itu. Tapi tak apalah, itung-itung itu sebagai pahal karena sudah membuat orang lain tertawa.
Kembali keperjalanan. Membutuhkan sekitar satu jam lebih dari Denpasar menuju Nusa Dua. Jadi sekitar jam sembilan lebih kami baru sampai Pantai Pandawa. Tentu tetap dengan bantuan Google Map.
Sepanjang perjalanan, kami dimanjakan dengan penjor-penjor galungan yang tertata rapi. Menyimpan sebuah makna filosofis yang diyakini kebenarannya oleh ummat Hindu. Hiasan-hiasan penjor yang berbeda satu sama lain, menjadikan perjalanan kami tidak terasa melelahkan.
Kami sampai. Di depan gerbang masuk Pantai Pandawa. Tebing hitam. Angkuh, elegan, indah. Kami masuk. Membayar tiket. Parkir motor dan beberapa jepret foto kami hasilkan.
Dulu, kawasan Pantai Pandawa dikenal dengan nama Pantai “Penyekjekan”. Perubahan nama menjadi Pantai Pandawa dilandasi pada spirit dari kisah pengasingan Panca Pandawa selama 12 tahun ke hutan dan goa gala-gala.
Kisah ini sejalan dengan perjuangan kehidupan masyarakat adat Kutuh yang selama kurun waktu 1997 sampai 2010 membelah tebing untuk melepaskan diri dari keterpinggiran dan keterasingan kehidupan. Mulai tahun 2012 kawasan ini dinyatakan sebagai kawasan wisata untuk dapat dikunjungi oleh masyarakat umum.
Hal di atas yang menarik untuk dibahas. Dikaji. Kata “spirit” harus digarisbawahi. Sebuah perjalanan kehidupan yang membelah tebing. Keyakinan untuk maju. Dan semangat pembangunan telah tersisipkan dari sudut-sudut gelap kehidupan. Masyarakat Adat Kutuh telah memberikan pembelajaran yang berharga dalam hal pembawa perubahan.
Ini membuktikan bahwa, siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkannya. Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak mencoba merubahnya sendiri. Dan masyarakat Kutuh telah membuktikannya.
Lewat tulisan ini, saya sangat mengapresiasi perjuangan itu dalam hal perubahan itu. Mengutip sebuah kata harapan yang tertulis di lembar tiket masuk Pantai Pandawa, “Semoga spirit cahaya perjuangan Panca Pandawa yang telah menyinari kehidupan masyarakat Adat Kutuh dapat bermanfaat untuk dunia. Cahaya Pantai Pandawa dari Kutuh untuk Dunia.”
Selamat Hari Raya Galungan. (T)