HAMPIR satu bulan sudah Gunung Agung di Karangasem Bali, menarik perhatian seluruh masyarakat dunia. Bagaimana tidak menarik perhatian, tertidur selama lima puluh empat tahun, dan kini aktif kembali.
Tanggal 22 september 2017, status Gunung Agung ditingkatkan menjadi awas, seluruh masyarakat yang ada dalam radius sembilan hingga dua belas kilometer harus diungsikan ke tempat yang lebih aman. Ratusan ribu orang pun kini berada di pengungsian yang tersebar di seluruh Bali bahkan hingga ke Lombok.
Perhatian pun meningkat termasuk para awak media, yang terus memantau perkembangan Gunung Agung. Sejak ditetapkan status awas puluhan awak media harus bermalam di pos pemantauan Gunung Agung di Desa Rendang Karangasem. Wartawan media cetak, elektronik dan online, dalam dan luar negeri, itu berkumpul di pos pantau. Dengan peningkatan status awas potensi Gunung Agung erupsi semakin tinggi. Mereka bertahan di Pos Pemantauan berharap, saat terjadi erupsi, mereka menjadi awak media pertama yang mengabarkan, dan mendapat gambar yang eksklusif.
Tapi faktanya berbeda, hingga masuk pekan ketiga setelah ditetapkan status awas, Gunung Agung belum menunjukkan tanda-tanda yang signifikan untuk terjadinya erupsi.
Bingung Mencari Sudut Berita
Lamanya status awas Gunung Agung, ternyata membuat banyak orang galau. Pengungsi galau, Pemerintah galau, Relawan galau, Tim PVMBG galau, wisatawan galau, pemilik galian C galau, termasuk para jurnalis pun galau.
Satu persatu perusahaan media telah menarik wartawan mereka untuk kembali ke pos masing-masing, yang bermalam di pos pemantauan Gunung Agung di Desa Rendang pun semakin sedikit. Para wartawan pun mulai bingung mencari sudut pemberitaan di pos pantau.
Ketika bertanya kepada Tim PVMBG yang melakukan pengamatan di Pos Pantau “Bagaimana pak perkembangan gunung agung saat ini?” Jawab yang diterima biasanya, “ Belum ada perkembangan yang baru, kegempaan masih tetap tinggi” Dan ketika dijawab seperti ini, kami para wartawan harus mulai memutar otak, untuk mencari sudut pandang yang berbeda, agar tetap dapat menyajikan informasi terbaru dari masyarakat.
Jika akhir pekan, sudut pemberitaan pasti akan berbeda, kami biasanya menghitung total kegempaan yang terjadi selama sepekan. Dalam satu pekan terakhir kegempaan yang terjadi mencapai lima ribu lima ratus sepuluh kali kegempaan. Selain total kegempaan, saat Sabtu dan Minggu, biasanya pos pantau banyak dikunjungi oleh masyarakat. Tak hanya warga sekitar pos pantau, yang datang dari berbagai daerah di Bali.
Bak tempat wisata baru, pos pantau menjadi sangat ramai. Nah ketika ketemu yang seperti ini, para wartawan mulai memanfaatkan keadaan, seluruh aktifitas masyarakat yang mengunjungi pos pantau pun dapat dijadikan berita di antaranya, persembahayang kelompok masyarakat, relawan membawa makanan untuk petugas PVMBG sebagai ucapan terimakasih, berswaphoto, layanan pijat gratis hingga pembuatan video klip nyanyian darma yang bertemakan Ida Betara Toh Langkir.
Selain mencari berita, kami para wartawan yang ada di pos pemantauan Gunung Agung, bak mahasiswa baru di jurusan geologi dan vulkanologi. Beberapa kali petugas PVMBG mengumpulkan para wartawan untuk diberikan wawasan tentang vukanologi, geologi dan gunung agung. Serasa menjadi mahasiswa baru yang diberikan kuliah pengantar ilmu vukanologi dan geologi dengan dosennya adalah tim pengamat PVMBG.
Kegiatan itu cukup menbantu kami dalam menulis berita dan penambahan ilmu tetang erupsi Gunung Agung. Ini merupakan hal yang sangat menyenangkan, karena tak semua wartawan di Bali akan merasakan pengalaman liputan erupsi Gunung Agung.
Gunung Agung benar-benar menggalaukan. Banyak kejadian atau fakta yang sudah pasti, dan ada hal yang tak begitu pasti. Yang sudah pasti adalah kegempaan yang pernah terjadi, di antaranya gempa vulkanik dangkal, gempa vulkanik dalam, gempa tektonik lokal, gempa tektonik jauh dan gempa tremor non harmonic. Yang pasti juga adalah telah terjadinya semburan asap dengan intensitas tipis dengan ketinggian lima puluh hingga tiga ratus meter. Bahkan sempat menyemburkan asap setinggi satu setangah kilometer pada tanggal 7 oktober 2017.
Semburan asap yang pernah terjadi diakibatkan oleh hujan yang sempat terjadi selama tiga hari berturut-turut di sekitar Gunung Agung. Oh ya, yang harus diingat “kecil kemungkinan hujan dapat memicu terjadinya erupsi pada gunung agung”. Hal itu disampaikan oleh Gede Suantika – Kabid Mitigasi Gunung Api PVMBG. Semua kegempaan dan semburan asap merupakan manifest dari keaktifan Gunung Agung.
Yang belum pasti adalah kapan gunung yang dicintai warga Bali itu akan erupsi. Belum ada tanda-tanda yang signifikan akan segera terjadi erupsi. Hanya terjadi gempa dan semburan asap putih.
Tapi, Jangan Ragukan PVMBG
Dua puluh lima hari berstatus awas, pemerintah Provinsi Bali pun, memperpanjang masa siaga darurat erupsi Gunung Agung hinga tanggal 26 oktober 2017. Para pengungsi pun mulai jenuh berada di pengungsian, banyak pengungsi yang kembali ke desanya pada pagi hari dan pada malam hari mereka kembali kepengungsian. Portal-portal pun telah dipasang di setiap jalan desa yang masuk dalam kawasan rawan bencana.
Banyak yang mulai mempertanyakan kepustusan PVMBG menaikkan status Gunung Agung menjadi awas. Perlu di ketahui bahwa tim PVMBG telah memasang sembilan seismometer, empat gps, dua tiltmeter, dua CCTV, dan satu EDM. Bahkan tim PVMBG telah menyiapkan alat cadangan untuk mengantisipasi kerusakan alat jika terjadi erupsi.
Selain itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mendapat bantuan alat baru berupa tujuh seismograf dari Amerika Serikat untuk memantau aktivitas Gunung Agung. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigas Bencana Geologi Kementerian ESDM Kasbani memaparkan tujuh alat seismik dari Amerika Serikat itu merupakan tanda kerjasama atau balas jasa lantaran anggota dari USGS telah diberikan peluang untuk dapat ikut memantau Gunung Agung.
Itulah hal yang telah disiapkan oleh tim PVMBG, jadi janganlah meragukan kinerja tim PVMBG yang setiap hari melakukan pengamantan Gunung Agung.
Meme Rauh, Ibu Semua Wartawan
Kegalauan selanjutnya, yang dialami oleh para wartawan yang bertugas di pos pemantauan Gunung Agung di Desa Rendang Karangasem, adalah masalah isi perut kami. Pos pantau jauh dari warung penjual makanan. Tak jarang para wartawan membawa makan sendiri saat bertugas di pos pantau.
Permasalahan makanan akan teratasi jika Meme Rauh datang dan membuka dagangannya. Meme Rauh atau CK (begitu beberapa wartawan mengistilahkannya), merupakan penyelamat kami di saat lapar dan dahaga. Meme Rauh, adalah dagang satu-satunya yang ada di pos pantau Gunung Agung. Meme Rauh dibantu suami dan anak perempuannya mulai membuka dagangannya dari pukul delapan pagi sampai jam sepuluh malam. Meme Rauh-lah yang menjadi sumber permakanan yang kami butuhkan, dari nasi, mie, camilan, minuman, kopi hingga rokok. Meme Rauh, di pos itu, seperti ibu semua wartawan.
Meme Rauh dan keluarganya bahkan hapal dengan semua wajah (terkadang tahu nama) wartawan yang bertugas di pos pantau Gunung Agung. Suatu hari, ada wartawan online yang baru kali pertama datang ke Pos Pantau, Meme Rauh langsung bertanya “Wartawan baru ya? Baru pertama kesini? Dari wartawan mana? “
Pokoknya lengkap pertanyaannya. Kami berasa diintrogasi oleh pak RT yang melihat ada warga baru di wilayahnya. Hehehe.
Oh ya, hampir lupa, ada dua hal untuk menyampaikan bahaya erupsi gunung api, yakni bahaya primer dan bahaya sekunder. Bayaha Primer di antaranya lelehan lava, awan panas, hujan abu, lahar panas dan gas beracun. Bahaya sekunder yaitu banjir lahar dingin, banjir bandang dan longsoran vulkanik.
Jadi, pesan yang tetap harus diingat adalah: GUNUNG AGUNG DALAM KONDISI KRITIS, SEBAIKNYA BERHATI-HATILAH. (T)