SEBAL. Ketawa. Dan bahkan miris melihat beranda Facebook saya yang penuh dengan status-status fatwa yang tak memiliki sanad keilmuannya, tak peduli paham atau tidak apa itu ilmu Nahwu, Sharaf, Mantiq, dan Balaghah yang notabene menjadi ilmu dasar dalam menafsirkan Al-Qur’an dan membuat sebuah fatwa.
Di masa Mark Zuckerberg ini, semua orang asal memiliki akun Facebook sangat bisa, bebas dan leluasa mengangkat dirinya jadi mujtahid. Siapa pun! Mendirikan “mazhab sendiri” melalui fatwa-fatwanya. Sungguh subahannallah (Iyubenu, 2017).
Yang membuat saya lebih miris dan harus menelan ludah pahit adalah, begitu mudahnya warga Facebook ini dengan bangganya menshare atau membagikan propaganda-probanda atau fatwa-fatwa yang tidak jelas tersebut, tanpa menganalisis atau sekedar melihat kebenaranya dari segi teologis, sosiologis, atau dasar hukumnya.
Fatwa di era Mark ini, sangat meresahkan umat. Khususnya saya sendiri. Perseteruan terbuka antara sesama umat di kolom-kolom komentar sebuah status, konflik frontal, ujaran kebencian, pemaksaan kehendak, termasuk klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim) mutlak sebagai milik diri sendiri dan kelompoknya (Iyubenu, 2017).
Di abad yang multi-dimensi seperti ini atau dunia yang global ini, ibaratnya ada jarum yang jatuh di Jakarta sana, sekian detik kabarnya sudah sampai di Singaraja sini. Sayangnya, dalam kehidupan keseharian kita, utamanya di lalu lintas media sosial, rupanya masih banyak unsur-unsur negatifnya. Atau bahkan tidak ada manfaatnya sama sekali.
Di luar permasalahan korupsi, tumpulnya hukum ketika berhadapan dengan kelompok “elit”, masalah terbesar umat ini adalah sempitnya dalam berpikir dan lunturnya aqidah. Taklid buta makin menjadi-jadi. Kaca mata kuda rupanya juga laris manis.
Facebook sebagai media sosial yang masih eksis sampai saat ini, telah mewarnai hidup kita dengan corak yang begitu beragam. Facebook memang bisa dikatakan sebagai dua bilah pedang. Tinggal siapa yang memegang pedang itu.
Tamsil-tamsil fatwa kekinian yang menyeruak dan meresahkan bagi umat yang awam pada Islamic Studies dan menggelikan bagi umat yang karib. Tidak ada yang bisa membendung trend umbar-umbaran fatwa di akhir zaman ini kecuali sikap kritis kita belaka.
Maka sangatlah penting bagi setiap kita untuk tidak gampang terbius pada diksi-diksi permukaan semacam akhi, ukhti, ahlan wa sahlan, huwa, huma, hum, hiya, huma, hunna, anta, antuma, antum, anti, antuma, antunna, ana, nahnu, dll., tetapi lihatlah pada esensinya, intinya, dan metodologinya (Iyubenu, 2017).
Zukerberg telah memberikan panggung bebas kepada siapa pun kini. Di atas panggung bebas itu, Anda, saya, dan mereka dipersilahkan, untuk merayakan apa saja. Tetapi, ingat pula, di atas panggung itu jugalah jati diri kita terpamerkan sepenuhnya tanpa tedeng aling-aling (Iyubenu, 2017).
Kawan-kawan yang budiman. Marilah kita tingkatkan jiwa kritis, analitis dalam diri kita. Agar kita dapat memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang hanya berkedok kebenaran. Walaupun sesungguhnya manusi itu tidak bisa mencapai kebenaran yang objektif, setidaknya kita tidak gampang mengklaim diri sebagai yang paling benar dan yang lain salah. Ini kafir. Ini bid’ah dan sebagainya.
Melihat dari berbagai sudut pandang adalah salah satu cara untuk mendapatkan jawaban dan kesimpulan yang lebih bijaksana dalam sebuah penilaiaan. Dengan melihat dari berbagai sudut pandang, tentu kita tidak akan gambang menilai seseorang, umpamanya.
Indonesia adalah negara yang multikultur. Sangat rentan sekali terjadi perpecahan.
Tentunya, kita semua yang harus menjaga dan menjahui percikan api yang sewaktu-waktu bisa menjadi kobaran api yang besar. Dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran agama dan mendewasakan diri dalam perbedaan.
Jangan sampai fenomena pilu ini merangsak luas masuk dalam pemikiran kita. Menyandera keimanan kita dalam bingkai ukhuwah Islamiah.
Kawan-kawan yang budiman. Marilah bijak dalam bermedia sosial. Jangan biarkan fatwa-fatwa Mazhab Mark Zuckerberg ini meracuni pemikiran kita. (T)