AWAL abad kedua puluh, dunia kesenian Bali dikejutkan dengan munculnya “burung phoenix” dalam bentuk kebyar, yang membawa kesenian Bali ke tingkat vitalitas yang baru. Kebyar memindahkan gamelan ke konteks baru sehingga semakin tidak dibatasi oleh fungsi pura dan puri, berlawanan dengan estetika dan fungsi dalam pertunjukan keraton, dan terbuka untuk menyambut abad baru.
Hampir tak terbayangkan efek radikal dan menyegarkan yang timbul pada awal munculnya musik ini. Terutama menyangkut dorongan menuju teknik dan kelengkapannya yang khas dan revolusioner. Kebyar telah membuka pintu dengan cara seperti ini, kita sudah menuju ke suatu ruang yang tak berdinding.
Itulah yang berkali-kali dikatakan Wayan Gde Yudane, tentu saja dengan penuh semangat, saat bicara soal gong kebyar yang diyakini lahir di Buleleng, lalu menyebar bukan hanya di Bali dan wilayah lain di Indoensia, melainkan juga di kota-kota besar dan kota kecil di dunia. Yudane menyamakan ciptaan gong dengan berbagai keindahannya itu sebagai burung phoenix. Burung yang lahir buruk rupa, lalu karena kebijaksanaannya ia kemudian berubah menjadi burung paling indah di dunia.
Phoenix adalah burung keramat yang berasal dari mitologi Mesir. Burung itu digambarkan memiliki bulu yang sangat indah dan panjang berwarna merah dan emas. Sebelumnya, Phoenix itu buruk rupa, lalu karena ia telah menyelamatkan burung-burung lain dari kelaparan saat matahari membakar pohon dan buah-buahan di bumi, Phoenix dihadiahi berbagai keindahan. Ada menghadiahi bentuk dan warna keindahan pada jambul, bulu leher, bulu dada, sayap, ekor, dan lain-lain.
Phoenix menjelma menjadi burung yang paling indah. Namun berabad-berabad kemudian banyak orang tak mengetahui dengan jelas, seperti apa sesungguhnya keindahan burung Phoenix itu dan bagaimana warna bulu sesungguhnya. Banyak yang bilang bahwa warna merah dan emas menghias kepala, dada, dan punggung. Sayap berwarna-warni dan kaki berona ungu, serta mata biru laut.
Ada juga yang mengatakan tubuhnya berwarna plum, punggungnya merah dan sayap serta kepala berwarna emas dengan ekor panjang berwarna mawar dan biru. Lalu yang lain mengatakan Phoenix sebagian besar berwarna ungu. Leher dan kepala berwarna emas.
Kemungkinan deskripsi-deskripsi yang muncul itu semuanya benar. Mungkin saja Phoenix memang mengalami perubahan-perubahan keindahan dalam berbagai tahap kehidupannya. Bukankah burung itu hidup lima abad, lalu setelah hidup lima abad ia membakar dirinya lalu dari dari abunya muncul Phoenix muda yang akan hidup lima abad lagi?
Phoenix dengan keindahan yang setara juga dikenal di berbagai kebudayaan dunia. Di Mesir Phoenix dikenal dengan nama Benu yang melambangkan perjalanan waktu dan masih merupakan simbol kehidupan abadi hingga kini. Dalam kebudayaan Cina, Phoenix dikenal dengan nama Fenghuang. Di Jepang, Phoenix disebut ho-o atau fushico. Di Persia, Phoenix merupakan Simurgh atau Simorgh. Di Rusia, Phoenix muncul sebagai Zhar-Ptitsa. Lalu di Indonesia ada burung Cendrawasih yang bisa juga disebut sebagai Phoenix.
Apa kaitannya dengan gong kebyar?
Semua sepakat gong kebyar itu indah. Tapi bagaimana bentuk keindahan itu, hingga sekarang rumusannya tak pernah sama. Ini karena tak ada yang mencatat secara jelas bagaimana repertoar awal dari gong kebyar itu. Artinya, gong kebyar seperti apa yang lahir untuk pertama-tama, benar-benar yang pertama-tama, di Buleleng atau di wilayah lain di Bali?
Pertanyaan lain kemudian, bentuk-bentuk keindahan seperti apa yang dihadiahkan repertoar gong lain kepada burung Phoenix gong kebyar? Mungkin saja pada saat yang sama muncul juga bentuk-bentuk ciptaan baru, burung Poenix yang lain dengan nama yang berbeda di daerah lain, dengan keindahan yang setara. Lalu hal itu bisa saling mempengaruhi, hingga muncul lagi ciptaan-ciptaan baru, seperti burung Poenix yang membakar diri lalu dari abunya muncul Phoenix baru yang lebih indah.
Wayan Gde Yudane adalah orang bercermin dari mitos burung Phoenix itu dengan segala penafsirannya. Salah satunya, di grup gamelan Wrdhi Sawaram, keindahan seperti burung Phoenix selalu “membakar diri” untuk memunculkan ciptaan-ciptaan baru.
BACA JUGA:
- Ngobrol dengan Yudane: Bisa-bisa Gong Kebyar Dipengaruhi Banyuwangi
Yudane Ajak Penonton Berpikir Sains dalam Gamelan Kontemporer rOrAs Ensemble
______
Dalam sejumlah garapan, Gamelan Wrdhi Swaram senantiasa mempersembahkan musik gamelan baru, yang merambah medan baru dan menentang segala bentuk pengelompokan, terkecuali untuk sebutan “maverick”, pemberani. Alur karya musikal yang tidak bisa dilacak, dengan bentuk orisinil dan pribadi, bersama kekuatan tekad berkreasi, menggali terowongan-terowongan yang terkadang sepi, pada dunia komposisi musik abad ke dua puluh satu ini.
Wayan Gde Yudane, komposer di Wrdhi Swaram, memang menempuh jalan cipta yang terbilang unik dan otentik sebelum tersohor sebagai komposer dengan reputasi internasional. Ia menempuh pengalaman penciptaan di Bali dan Selandia Baru serta terdepankan sebagai seniman dalam jajaran komposisi musik baru.
Ia dipandang sebagai komposer yang mumpuni, di mana kreasi dan dedikasinya terpujikan dengan capaian teknik yang piawai sekaligus mengejutkan. Buah karya-karyanya menjangkau ansamble gamelan, musik orkestra, paduan suara, elektro-akustik musik, termasuk komposisi musik untuk tari, teater, film dan instalasi.
Dia menerima banyak penghargaan untuk komposisinya. Karya- karyanya memperkenalkan konsep-konsep baru tentang orkestrasi gamelan, serta pemanfaatan keheningan dan irama pernapasan secara luar biasa. Dengan kehadiran komponis-komponis seperti Yudane, keberadaan dan masa depan gamelan Bali penuh dengan optimisme, di mana komposisi-komposisi yang diciptakan terasa hidup, penuh kesegaran serta mengekspresikan kekinian, sekaligus tampil percaya diri untuk pendengar abad ke duapuluh satu.
Jadi, untuk melihat dan mendengar semua itu, bisa datang pada acara Gong Mebarung Buleleng-Denpasar, Menyurat yang Silam Menggurat yang Datang di Sasana Budaya Singaraja, Sabtu 14 Oktober 2017. Di situ Wrdhi Swaram akan menampilkan dua garapan, Spring dan Journey. Garapan itu akan berdialog dengan garapan maestro Gde Manik dan Pan Wadres, Baratayuda dan Sari Anom, yang ditampilkan kembali seniman dari Padepokan Dwi Mekar Singaraja. (T)
BACA JUGA: