BEBERAPA tahun terakhir, perjalanan teater di Bali seperti mengalami jalan buntu. Memang masih ada beberapa pementasan namun catatan pementasan itu luput. Bahkan tujuan pementasan belum jelas, apakah dalam rangka mencari penonton, atau sebuah eksperimen untuk menemukan daya ucap baru, atau hanya mengukuhkan kehadiran kelompok teater itu, atau sebuah upaya pembacaan baru terhadap teater, atau sebuah karya apresiasi bersama terhadap teks-teks yang dilahirkan oleh para maestro teater tanah air dan dunia, atau untuk membangun jaringan bersama teater Bali.
Di sisi lain, teater juga nyaris “mati” di sekolah-sekolah akibat pembinaan yang tidak berkelanjutan, serta kebijakan sekolah yang tidak memberi angin pada teater. Kalau pun teater ada di sekolah, aktifitasnya baru menggeliat ketika ada lomba teater.
Kondisi ini tentu mengkhianati sejarah masuknya teater di sekolah yang terjadi pada masa penjajahan, di mana saat itu teater digunakan oleh para pelajar untuk menyelundupkan gagasan kemerdekaan. Boleh dikata, teater saat itu digunakan para pelajar untuk sebuah perjuangan memekarkan api kesadaran bersama terhadap situasi saat itu yang harus disikapi bersama.
Ketidakpahaman teater sebagai pertunjukan yang didukung oleh elemen-elemen yang terlatih dan tertata, serta teater sebagai bagian dari perjuangan gagasan, menyebabkan teater mati.
Untuk mengatasi kondisi teater Bali yang demikian, semua pelaku teater di Bali sudah berpartisipasi.
Di Buleleng, misalnya, di Universitas Pendidikan Ganesha, setiap tahun, diadakan workshop teater bagi mahasiswa baru dari segala jurusan yang digabungkan dalam satu wadah Teater Kampus Seribu Jendela. Kemudian, sejumlah teater sekolah membentuk wadah bernama Forum Teater Muda Bali Utara.
Sedangkan di Denpasar, Teater Sadewa membuat workshop teater bagi para peminat. Dan banyak teater lain dan pelaku teater yang juga telah berbuat, sehingga teater di Bali masih beraktifitas letusannya, diantaranya Teater Bumi (Denpasar), Teater Kalangan (Singaraja), Komunitas Mahima (Singaraja), Teater Selem Putih (Singaraja), Teater Orok (Denpasar), Komunitas Kertas Budaya (Negara), Cok Sawitri (Denpasar) dan Mas Ruscitadwi (Denpasar) . Selain itu perupa Nyoman Erawan ikut mewarnai jagat teater Bali.
Disamping itu, jalinan semangat bersama para pelaku teater di Bali masih rekat, ditunjukan melalui pertunjukan bersama selama setahun melalui Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya yang berangsung dari Maret sampai Desember 2017 dengan target pementasan sebanyak 100 monolog karya Putu Wijaya.
Sampai bulan Oktober festival monolog untuk merayakan Putu Wijaya selama setahun yang diikuti oleh hampir semua kreator teater di Bali, juga kelompok teater sekolah. Hingga awal Oktober sudah menggelar 58 pementasan di Singaraja, Denpasar, Bangli dan Negara.
Dan di tengah denyut teater yang demikian, Dinas Kebudayaan Bali bersama Listibya Bali menggelar Workshop Teater Bali 2017 dengan tema Menggali Karakter Teater Modern Bali, berlangsung tiga hari 6-8 Oktober di BPSDM Provinsi Bali. Peserta workshop selain diikuti oleh guru, siswa juga pegiat teater.
Dari diskusi tidak formal, terkuaklah sejumlah keluhan kenapa teater mati suri. Solusinya adalah membangun kembali jaringan teater di Bali, baik teater non lembaga pemerintah sampai teater kampus dan sekolah di seluruh Bali. Jaringan dikomunikasikan melalui FB. Masyarakat Teater Bali dan grup WA, dan di setiap kabupaten dan kota ada punggawa atau koordinatornya, serta hasil-hasil latihan di grupnya akan difasilitasi pementasan di event kesenian seperti Bali Mandara Mahalango dan Bali Mandara Nawanatya.
Lampu hijau dalam bentuk kebjikan telah mendapat dukungan penuh dari Kadis Kebudayaan Bali. Bagi saya semua ini menggembirakan, bagi saya ini adalah upaya menggali jalan baru agar keluar dari kebuntuan berteater di Bali. Terimakasih kepada Bapak Kadis Kebudayaan Dewa Berata, Bapak Prof.Bandem, Dr.Komang Astita yang memberi angin adanya penggalian jalan baru ini. (T)