APALAH saya hanya seorang pengajar, dan penulis lepas kendali yang kalau beruntung bisa dapat lima puluh ribu dan sisanya bayar seiklasnya. Uang tak banyak punya, apalagi tanah. Tapi untuk masalah cinta, wah soal itu jangan ditanya lagi, banyak punya, he he he. Saya yakin membantu tak melulu soal uang, ada banyak cara untuk membantu. Begitulah kalimat yang terlintas ketika saya berkeinginan untuk datang ke posko pengungsian.
Waktu itu, Sabtu, 23 September 2017, saya berkeinginan untuk datang ke sebuah posko pengungsian erupsi Gunung Agung. Posko pengungsian letaknya tidak jauh dari rumah saya, kurang lebih 500 meter. Posko tersebut terletak di Lapangan Tembak, Desa Paksebali Klungkung.
Saya melakukan perjalanan dari Buleleng jam setengah dua siang dan tiba di Klungkung sekitar jam empat sore. Sebelum itu saya sudah kabari kawan di Klungkung agar lapak baca yang biasa dilakukan di hari minggu dipindahkan ke Sabtu dan dilakukan di posko pengungsian. Entah kenapa anggapan di posko pengungsian tidak ada buku bacaan terus saja terbayang. Kayaknya tidak mungkin akan ada buku-buku bacaan di posko, paling banyak sudah pasti mie instant dan air kemasan gelas, pikir saya waktu itu.
Setiap minggu pagi saya dan kawan-kawan biasanya membuka lapak baca di sekitaran lapangan Klungkung. Kami menyebutnya perpus jalanan, literasi anak bangsa. Ya karena perpustakaannya terletak di jalan dan segala aktivitasnya memang di jalanan.
Tiba di Klungkung saya langsung memasukkan beberapa buku anak-anak, kira-kira 60-an buku. Kalaupun nanti bukunya kurang, anak-anak bisa baca buku bersama, entah satu buku berdua ataupun bertiga. Interaksi dan perkenalan pasti terjadi, apalagi kalau pengungsi lain desa, mereka akan menemukan teman baru karena buku.
Sampai di lokasi beberapa relawan sudah sibuk mengumpulkan donasi yang diterima, sedangkan pengungsi ada beberapa yang merapikan karpet, bercerita soal ternak mereka, dan menyusui bayi. Saya terharu melihat usaha para relawan. Mereka membantu sesuai porsinya mereka. Yang bisa masak akan memasak, yang bisa bernyanyi mereka akan menghibur, dan yang tidak bisa kedua hal tersebut mereka akan membantu untuk membungkus nasi.
Banyak cara untuk membantu. Sebuah pemandangan yang cukup langka bagi saya melihat banyak orang melakukan sesuatu sebisa mungkin untuk membantu. Semua bekerja bersama-sama. Bahkan beberapa warga menjadikan rumah mereka tempat untuk ditinggali oleh pengungsi.
Di sisi lain anak-anak juga sibuk dengan urusannya sendiri. Ada yang makan krupuk, ada yang bercerita dan ada yang duduk dengan orang tuanya.
“Main bola yuk, nyen bareng?” Saya bertanya ke arah mereka. Mereka langsung menoleh ke arah saya dan menjawab, “Ayooo”.
Mereka beramai-ramai menghampiri saya, memegang baju saya dan berkata “mai nake, mai nake”. Saya yakin satu pun dari mereka tidak ada yang mengenal saya. Tentu mereka akan menganggap saya orang baik hanya karena mengajaknya bermain bola, walaupun aslinya memang baik, (uhuk!).
Anak-anak membututi saya. Beberapa saya arahkan ke lapak baca. Di lapak baca buku sudah dikeluarkan dan ditata dengan rapi. Ada beberapa yang ikut main bola, membaca, dan bermain catur. Anak-anak perempuan lebih tertarik dengan buku dan ikut bermain tebak-tebakkan, ketimbang bermain bola.
Anak-anak sangat antusias dalam bermain dan membaca. Disana kadang saya merasa begitu senang bisa membantu, paling tidak mereka tidak terlalu kepikiran soal bencana dan gempa yang akhir-akhir ini membuat mereka takut.
Hari mulai sore, beberapa anak datang menghampiri, “Kak kenyel, istirahat malu, nah (Kak, capek, istirahat dulu, ya)” katanya sambil mengipas bajunya.
Sambil mereka duduk, ternyata salah satu orang tua dari pengungsi itu meminjam gitar yang kami bawa, suasana lelah berubah menjadi semangat kembali ketika anak-anak ikut bernyanyi.
Buku-buku kami rapikan karena penerangan kami rasa tidak begitu bagus. Sebelum pulang, kami berjanji untuk datang keesokan harinya dan akan mengajak mereka menonton film bersama.
“Bin mani ngabe TV mai ae? (Besok bawa TV ke sini ya?)” Seorang anak bertanya.
“Sing, mani lebih gede ken TV, nah mani tolih nah (Nggak, besok lebih gede dari TV, lihat besok ya)” Seorang teman saya menjawab.
Tiba waktu makanan dibagikan, kami pulang, dan anak-anak satu persatu mencari orang tuanya sambil berpamitan.
Besoknya, Minggu, 24 September 2017, kami main ke posko pengungsian lagi. Lengkap dengan bola, buku-buku bacaan anak, dan kain putih besar untuk kami gunakan sebagai layar menonton film.
“Ee seken kakae to mai (Ee, benar kakak itu ke sini)” Seorang anak bilang begitu sambil mendekat ke arah kami.
“Jani mbalih film ae? (Sekarang nonton film ya?” tanyanya.
“Sing benjepan dik nah, pang peteng (Nggak, lagi sebentar, saat malam),” jawab saya.
Anak-anak kembali ikut beberapa teman saya. Ada yang baca buku, bermain tangkap-tangkapan dan bermain sepak bola. Selagi anak-anak bermain dan membaca, saya berkeliling sekitaran posko pengungsian. Seseorang sedang sesak nafas, dan sudah ditangani langsung oleh dua orang petugas. Tak ada ambulance saat itu di posko, jadi penanganan di lakukan di posko, setelah mobil datang, orang tersebut ditandu di bawa ke rumah sakit. Semua orang sigap melakukan apa yang mereka bisa.
Hari mulai gelap, dan saya bingung menentukan dimana tempat yang memungkinkan untuk menonton. Di dalam ruangan ada banyak orang dan pasti sumpek, colokan juga tidak ada di posisi yang memungkinkan, pikir saya waktu itu.
Akhirnya saya dan teman-teman memutuskan untuk memasang kain putih di luar ruangan. Ketika LCD Proyektor dinyalakan, anak-anak sudah mulai mendekat, mereka meletakkan tangannya tepat di depan sinaran LCD Proyektor. Mereka senang melihat bayangan tangannya lebih besar, sambil tertawa mereka terus menggerakkan tangan membentuk kupu-kupu, anjing, burung, dan lain-lain.
“Yuk duduk yuk, kita akan mulai sekarang nonton filmya,” kata saya kepada anak-anak.
Beberapa anak bertambah banyak datang untuk ikut menonton, ada yang mengajak orang tuanya dan beberapa anak ditemani neneknya. Mereka senang menonton, apalagi layarnya besar. Waktu kami putarkan animasi pendek Larva mereka tertawa terbahak-bahak, dan mengundang perhatian orang-orang di dalam ruangan.
Anak-anak sepertinya sangat bahagia. Sebelum mereka tidur, kami sempat memutarkan wayang cemblong untuk orang tua mereka. Waktu menunjukkan jam delapan, dan kami pikir segitu cukup agar tidak mengganggu waktu malam mereka untuk beristirahat. Kami mengucapkan terima kasih kepada anak-anak karena sudah ikut membaca dan bermain bersama serta orang tua yang sudah menemani anak-anak saat menonton. Kami pun merapikan beberapa peralatan seperti speaker, LCD Proyektor, kain dan beberapa hal lainnya sebelum pulang.
Senang rasanya bisa mengajak anak-anak membaca dan bermain bersama. Paling tidak mereka melupakan sejenak kejadian yang sedang terjadi. Untuk para relawan yang membantu saat ini, entah donasi mau pun hal-hal yang kawan-kawan lakukan, teruslah bergerak dan membantu.
Sesekali kita perlu berkaca pada saat Gunung Agung mengalami erupsi di tahun 1963 yang menghabiskan waktu panjang hampir setahun dari Februari 1963 sampai Januari 1964. Jaga selalu ritme agar tidak kencang di awal dan kehabisan energi di tengah jalan. Saling berkabar dan membagi diri. (T)