BANYAK kelompok seni tradisional, semacam sanggar dan komunitas tari dan karawitan, tak punya upaya serius menciptakan sekaligus mentradisikan garapan-garapan seni baru. Mereka sibuk mengulang-ulang garapan lama, bahkan mengulang-ulang pementasan seni klasik yang diciptakan seniman-seniman masa lalu – tak ubahnya seperti penyanyi terkenal yang tak punya lagu sendiri dan sibuk menyanyikan lagu-lagu yang sudah pernah hits di masa lalu.
Melestarikan seni klasik yang adiluhung memang tindakan luhur. Tapi menciptakan seni-seni baru adalah juga tanggungjawab seniman-seniman masa kini. Seniman harus punya upaya lebih serius untuk melakukan proses berkesenian dengan cara menciptakan karya-karya baru, apalagi event-event seni di Bali, seperti festival, kini makin menjamur saja.
Apakah di setiap event yang berbeda-beda, di setiap festival yang berbeda-beda, seorang seniman akan membawa garapan yang itu-itu saja? Ah, itu namanya seniman pemalas.
Sanggar Seni Gumi Art, Denpasar, tampaknya tak sudi disebut malas dalam berproses. Tanpa melupakan akar tradisi, sanggar itu secara terus-menerus mengolah daya kreatifnya untuk menciptakan garapan-garapan tari baru. Setidaknya itu tampak ketika Gumi Art pentas di ajang Bali Mandara Mahalango, di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Denpasar, Kamis malam 24 Agustus 2017.
Sanggar itu mementaskan lima garapan, yakni dua karya karawitan dan tiga karya tari. Semua karya itu mencerminkan adanya olahan tradisi dengan mengadon sejumlah unsur-unsur seni kekinian. Yang terjadi adalah tabuh dan tari dengan napas tradisi, namun kreasi memberi warna baru pada tradisi sehingga terkesan sebagai garapan yang segar, bukan menghangat-hangatkan tradisi lama yang terkesan sudah basi.
Seperti tampak dalam Tari Baris Teto Wilah. Tak seperti Tari Baris yang biasa ditarikan sendirian, Tari Baris Teto Wilah ditarikan 7 penari dengan gerakan yang lebih dinamis. Demikian juga dengan Tari Citta Nirbhana dan Tari Onte. Semua tari itu menawarkan rasa baru. Memang kesannya lebih banyak memainkan komposisi dan blocking, namun ekspresi setiap penari tetap punya karakter sebagai tari-tari klasik yang ditarikan sendirian.
Sebagaimana dikatakan Kordinator Sanggar Seni Gumi Art, I Gede Gusman Adi Gunawan. Lelaki yang biasa dipanggil dengan nama Wawan Gumi Art itu mengatakan garapan yang ditampilkan di ajang Bali Mandara Mahalango itu tidak lepas dari upaya-upaya serius untuk membentuk karakter dalam setiap garapan.
Wawan dan teman-temannya di Gumi Art mencoba mau mengakar, mau menggali ekplorasi seni tradisi dengan memberi sentuhan atau gaya kekinian yang disesuaikan dengan karakter dari anak-anak di Gumi Art.
“Kita di Gumi Art itu kan anak muda semua, jadi kita ingin pembaruan tetapi tidak meninggalkan tradisi. Kita tetap berpijak pada tradisi tetapi kita ingin ada pengembanganlah,” papar Wawan Gumi Art.
Pengamat seni, Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST,MA, juga mengakui hal itu. Sebagai sebuah kreasi, kata Dinia, penampilan Gumi Art bagus. Di mana anak muda punya warna sendiri. “Ciri khas warna itu garapannya ramai. Tidak ada bagian yang kosong,” kata Dibia.
Namun sedikit catatan, kata Dibia, dalam menggarap pertunjukkan perlu diperhatikan soal rasa. “Kalau bisa seperti ukiran itu (menunjuk ukiran di latar panggung Ksirarnawa, seperti itu kan masih ada ruang kosongnya. Jadi kalau bisa konsep garapannya perlu juga mempertimbangkan hal itu. Sehingga ada ruang untuk bernapas sejenak. Sekali lagi itu taste. Itu selera. Selera estetik seseorang itu kan beda-beda. Tetapi Gumi Art menemukan seleranya sendiri,” kata Dibia.
Saran dari Dibia mendapat tanggapan positif dari Wawan Gumi Art. Menurutnya, garapannya itu merupakan bagian dari dirinya dan teman-temannya di Gumi Art yang masih dalam proses pencaharian. Proses pencaharian dari jiwa muda yang masih ingin setiap tempo, setiap ada melodi harus diisi penuh.
“Nanti mungkin dengan seiring berjalannya waktu, kita juga tahu enaknya itu di mana sih menggarap itu,” katanya.
Yang perlu dicatat. Wawan punya tekad generasi di Gumi Arta memiliki misi bahwa kalau dulu ada jamannya maestro Gde Manik, Kaler, Dibia, Bandem, dan lain-lain. Nah, generasi di Gumi Art juga ingin punya jamannya sendiri seperti maestro-maestro seni tradisi Bali tersebut. (T/R/ole)