RUANG Ir. Sukarno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana siang itu terasa senyap. Para peserta seminar menatap layar proyektor dengan seksama. Mereka sedang menonton cuplikan film tentang Bali di zaman dahulu. Bagai menempuh lorong waktu, membawa ingatan ke masa silam.
Seminar yang bertajuk “Repatriasi, Hegemoni dan Perspektif Politik Kebudayaan Bali” berlangsung 22 Agustus 2017 dan diikuti oleh sekitar seratus peserta dari berbagai kalangan baik akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum. Ruangan penuh sesak dan panitia terpaksa menyiapkan kursi tambahan.
Tampil sebagai pembicara seminar diantaranya Marlowe Bandem (Koordinator Arsip Bali 1928), Dr. Edward Herbs (Ketua dan Peneliti utama Bali 1928) dan I Wayan Juniartha (pengamat budaya dan wartawan The Jakarta Post)
Film-film yang diputar tak hanya berkisah tentang panorama alam Bali di masa tahun 1930-an, namun juga mengungkap tokoh-tokoh dan sekaa-sekaa legendaris Bali termasuk Ida Boda, I Marya, I Sampih, I Gede Manik, Gong Jineng Dalem, Ida Pedanda Made Sidemen, I Gusti Ketut Kandel, I Made Sarin, Ni Nyoman Polok dan Ni Luh Ciblun (Legong Kelandis), Gamelan Palegongan Kapal, Ni Gusti Made Rai dan Ni Gusti Putu Adi (Legong Bebaluan), dan I Wayan Lotring (Gamelan gender wayang Kuta).
Cuplikan-cuplikan lain termasuk pementasan Barong Kebon Kuri, Gambang di Pura Kawitan Kelaci, Legong Saba, Gamelan Gong Luang Singapadu, Baris Goak Jangkang Nusa Penida, Janger Kedaton, Gamelan Geguntangan Batuan, Barong Landung, Janger dan lain-lain.
Beberapa ritual penting seperti upacara Nangluk Merana, Pura Beda Tabanan dengan Joged Bumbung Dewa, Mendet di Pura Dalem Sayan Ubud, pelbagai upacara piodalan dan ngaben pun termasuk dalam pemutaran film ini.
Adalah Arsip Bali 1928, lembaga yang berusaha keras mengumpulkan dan memulangkan arsip seni budaya Bali yang tersebar dan tersimpan di berbagai tempat di luar negeri untuk kepentingan pendidikan dan pemajuan kebudayaan Bali.
Marlowe Bandem, Koordinator Arsip Bali 1928 menjelaskan, selama ini ia dan tim-nya telah berusaha keras memulangkan arsip seni budaya Bali seperti rekaman pirigan hitam berisi kakawin dan kidung, macapatan, gamelan Bali dan film-film yang diproduksi tahun 1920-an dan 1930-an. Usaha repatriasi kebudayaan dilakukan dengan prinsip lintas media. Selain rekaman suara dan film juga direpatriasi foto-foto, termasuk foto-foto dari penampilan kesenian di Paris Colonial Exposition tahun 1931.
Menurutnya, tujuan kegiatan pemulangan arsip seni budaya Bali ini adalah repatriasi, restorasi dan diseminasi. Dalam aktivitas diseminasi pihaknya sudah mementaskan film-film tersebut ke banjar-banjar dan komunitas-komunitas di Bali terutama yang ada kaitannya dengan film tersebut.
Pada satu cuplikan film tampak sebuah tari Bali zaman dahulu yang mirip dengan tarian Saman di Aceh. Tarian yang sudah tak ada lagi di masa sekarang. Ini membuktikan Bali di masa lampau sangat kaya dengan khazanah seni. Saya takjub melihat tak hanya perempuan yang lihai menari, namun juga laki-laki sesuatu yang jarang kita lihat di masa kini. Orang Bali zaman dahulu menari dengan semangat manyembah, seni selain sebagai ungkapan ekspresi juga sebagai sarana berhubungan dengan dewa-dewa dan Tuhan. Kebudayaan Bali bergerak begitu dinamis, tidak seperi sekarang yang cenderung statis.
I Wayan Juniarta menyebut kebudayaan Bali tidak pernah seragam. Jika sekarang muncul gerakan penyeragaman itu tak lain merupakan wajah dari fundamentalisme dan radikalisme budaya. Sebagai satu-satunya pewaris kebudayaan Nusantara yang masih eksis hingga saat ini Bali mestinya berkaca pada masa silam yang sangat terbuka terhadap pengaruh luar.
Orang Bali tidak merasa canggung saat fotografer asing mengambil foto atau video dan justru ingin tahu. Berbeda dengan sekarang dimana kaum fundamentalis budaya ingin mempertahankan Bali dengan semangat defensif dan meniadakan liyan (the others). Bahkan beberapa kalangan bernostalgia pada kejayaan masa silam dengan menyebut kejayaan kerajaan seperti Majapahit atau Gelgel sebagai peradaban emas. Hal yang dibantah oleh Juniartha yang mengatakan semua era di masa lalu sebagai peradaban emas.
Upaya Arsip Bali 1928 perlu diapresiasi dan didukung semua pihak. Sangat menyenangkan saat menemukan bahwa kakek, nenek atau buyut kita adalah seorang penari terkenal di masa lalu dan cuplikan filmnya bisa kita tonton. Atau menyaksikan gambaran kota Denpasar di masa lalu yang mana di Jalan Veteran dahulu terdapat gedung teater. Kita berkelana pada masa silam, seperti menempuh lorong waktu….. (T)