ADA yang memilih jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), siap-siap dihina dengan sorakan siswa satu lapangan upacara. Memilih jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), mendapatkan tepuk tangan karena masuk dalam kerumunan. Kejadian ketika sekolah SMA itu menarik dan masih saya ingat sampai sekarang. Itu kenangan, dulu.
Ada kenangan juga dari seorang teman yang sekolah di wilayah perkotaan dan masuk katagori favorit. Di sekolah itu malah siswa berkompetisi masuk IPA.
Hingga saat ini masyarakat memandang jurusan IPA bergengsi, karena dari IPA bisa melanjutkan studi ke jurusan apa saja yang tersedia di perguruan tinggi. Jurusan IPS terbatas. Ada juga anggapan anak masuk jurusan IPA pintar, anak IPS kurang pintar dan cenderung bengal.
Kenangan di atas muncul karena saya melihat proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2017. Ada aturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengenai rombongan belajar (rombel) atau kelas. Setiap sekolah negeri SMP dan SMA rata-rata menyediakan tujuh hingga 10 rombel. Satu rombel diisi maksimal 36 siswa untuk SMA dan SMP 32. Tentunya pembatasan ini menimbulkan persaingan ketat bagi siswa menuju sekolah favorit.
Bahkan, ada sekolah yang memberlakukan aturan pemeriksaan jasmani sebelum menerima siswa seperti tindik kuping, cat rambut dan tato. Hampir sama dengan pemeriksaan jasmani untuk menjadi polisi atau tentara. Bagi saya cukup menyeramkan.
Dalam penerapan aturan tersebut, sekolah itu tidak menerima siswa jika ditemukan bekas tindik, tato atau cat pada rambut. Inilah kompetisi.
Adanya kompetisi menjadikan sekolah ketat dan menimbulkan tekanan. Semuanya harus bersaing. Itu nyata dalam sistem peringkat atau rangking dengan unsur nilai pelajaran dan pendidik menerapkan pola pengajaran sama, siswa harus menghafal. Padahal tidak semua siswa senang menghafal.
Selain nilai, siswa juga bersaing secara sosial di sekolah. Misalkan harus jadi anak yang pintar, anak pejabat, berasal dari golongan keluarga kaya atau ukurannya seberapa keren penampilan kita di sekolah. Jika gagal dalam kompetisi itu, kita bisa tidak dianggap oleh lingkungan.
Saya sempat mendengar keluhan seorang Bapak karena anaknya belum diterima sekolah di SMP negeri yang berada di kota. Hal itu disebabkan nilai ujian akhir anaknya belum memadai bersaing masuk di sekolah favorit. Katanya, si anak jadi murung karena hal itu. Bapak itu sempat menyebut, sistem persaingan sejak dini harus ditumbuhkan kepada anak-anak.
Ngeri juga jika menjadi anak si Bapak itu. Syukurnya saat sekolah orangtua tidak pernah menuntut saya menjadi anak berprestasi dan harus diterima di sekolah favorit. Jika pun beberapa kali sempat juara kelas, itupun karena sedang beruntung saja.
Padahal sekolah bagi orang Yunani kuno adalah tempat untuk mengisi waktu luang anak-anak. Mengutip buku “Sekolah Itu Candu” karya Roem Topatimasang, kegiatan mengisi waktu luang itu disebut skhole, scola, scolae atau schola artinya waktu luang untuk belajar. Pola mereka dengan mendatangi orang yang dianggap pandai dan waktunya tidak mengikat dan ketat seperti sekarang. Pendidikan yang utama tetap di keluarga.
Seiring berjalanya waktu dan desakan kebutuhan hidup yang beragam, orang tua tidak lagi sempat untuk mengajari anaknya banyak hal. Maka, pengajaran sepenuhnya diserahkan kepada lembaga pengisi waktu luang. Fungsi scolaa matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu) berubah menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah pengganti ayah dan ibu). Lembaga pengasuhan ini biasanya juga disebut “ibu asuh” atau ibu yang memberikan ilmu pengetahuan (alma mater). Sejak saat itu model sekolah berubah menjadi seperti yang kita kenal sekarang.
Pakar pendidikan kelahiran Brasil, Paulo Freire menyebut, sistem pendidikan menjadikan guru pusat segalanya adalah otoriter atau diistilahkan banking education. Banking education adalah ilmu pengetahuan yang ditransfer dari pengajar kepada pelajar.
Transfer informasi ini menjadi lambang dan instrumen penindasan yang melarang dan menghalangi penyelidikan, kreativitas dan dialog. Simpelnya pelajar paling mudah diisi oleh guru adalah pelajar yang baik. Jika menolak untuk diisi, adalah pelajar bermasalah.
Jika begitu, betapa menakutkan sekolah kini. Apalagi bagi pelajar yang dianggap bermasalah.
Freire mengajukan pendidikan pembebasan atau yang diistilahkan problem-posting education yang didasarkan pada hubungan demokratis guru dan murid. Guru adalah murid, begitu juga sebaliknya. Adanya demokrasi akan memicu penelitian, kreativitas dan kekritisan serta mendorong munculnya kesadaran.
Tokoh yang lahir di Recife, sebuah kota pelabuhan di timur laut Brasil menjabarkan pendidikan pembebasan di antaranya harus mengacu dialog untuk bisa menyingkap realitas dan siswa diajar untuk berpikir kritis.
Siswa sekolah SMA yang memilih jurusan IPS tanpa harus bersaing masuk jurusan IPA, bagi saya adalah rebel. Mereka berani melawan sistem mapan yang menjadikan sekolah seperti kompetisi. Mungkin sebagian besar anak-anak di sekolah saya tidak memilih kelas unggulan karena kompetisi bukan jiwanya. Waktu itu mereka lebih memilih menikmati masa sekolah dengan riang gembira, bolos sekolah, lepas dari tekanan pelajaran, ribut ketika kelas kosong dan kenakalan lain ala anak sekolah.
Masuk jurusan IPS bisa dicap bengal dan warga kelas dua, itu adalah pilihan. Karena bagi kami belajar di sekolah lebih dari sekedar menghapal dan berkompetisi. (T)