LOKOMOTIF sastra Bali modern kini tengah melaju kencang, energi lajunya tengah memuncak. Nilai takar pada pandangan ini adalah jumlah karya yang muncul ke ruang baca publik semakin banyak. Masinis lokomotif sastra Bali modern kini adalah generasi penulis muda yang kesadaran bersastranya cukup baik, khususnya pada sastra berbahasa daerah (Bali). Tentu saja segala yang dikerjakan (digeluti) oleh generasi muda memiliki energi yang besar, identik dengan kemudaan, menggebu, kencang, bahkan cenderung membabi buta.
Penulis muda sastra Bali modern adalah mereka yang jatuh cinta pada dunia berkarya sastra berbahasa Bali dengan genre puisi, cerpen, prosa liris, juga novel. Untuk jenis drama, nampaknya belum tersentuh oleh kaum penulis muda sastra Bali modern. Generasi penulis muda ini adalah generasi milenia, generasi Bali yang lahir, tumbuh, dan berkembang di era serba instan serba digital, serba mudah. Mereka seperti melawan arus lingkungan sosial sebaya mereka, ketika sebaya mereka gandrung pada segala kehidupan beraroma kekinian, mereka justru asik menyelami kedaerahan mereka melalui jalan sastra.
Maka, mereka tergolong spesies unik diantara kalangan sosial mereka, perlu dilestarikan, perlu dikembangbiakkan semangat dan ketidakbiasaannya ini. Karya-karya penulis muda sastra Bali modern kini tengah merajai berbagai ruang media masa yang menyediakan halaman berbahasa Bali. Bahkan mereka membangun kalangan sendiri, agar tak melulu antri karya di media masa, sebab karya mereka melimpah, karya mereka nyaris tak terbentung jumlahnya.
Dua media berbahasa Bali dengan basis online, Isin Gumi (Made Sugianto) dan Suara Saking Bali (Putu Supartika) adalah arena yang mereka bangun sendiri untuk memenuhi kebutuhan publikasi karya mereka. Ada pula yang menebar karya pada laman blog pribadi, ruang komunitas online atau media sosial pribadi mereka. Sebagai generasi milenia, sangat wajar mereka fasih menjelajahi dunia digital, mengeksplorasi dan membangun ruang di dunia mereka sendiri. Keadaan ini menjadikan sastra Bali modern mudah jangkau, beredar sama luasnya dengan karya-karya se-genre yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing. Sampai titik ini, sastra Bali modern jadi punya nilai tawar dan nilai tarik.
Pasca menjadi semarak dalam skala jumlah, lantas apakah serentak pula semarak dari segi kualitas? Perihal ini, barangkali mesti ditinjau lebih cermat lagi. Penulis muda sastra Bali modern yang memiliki semangat tinggi dalam berkarya, semestinya membangun kembali semangat mereka untuk membaca, mengeksplorasi, dan bermain lebih berani. Memperluas ruang jangkau bacaan adalah syarat mutlak bagi penulis yang hendak kualitas karyanya meningkat.
Selepas memperluas jangkauan baca, penulis yang ingin kualitas karyanya meningkat wajib mengeksplorasi bahan bacaan dan lingkungan sosialnya. Melakukan eksplorasi pada dunia literer dan dunia sosial adalah modal kuat bagi penulis yang berniat kualitas karyanya menjadi lebih baik. Kemudian, sebagai penulis dengan semangat muda, penulis sastra Bali modern seharusnya lebih berani bermain, lebih berani bereksperimen. Jadi tidak sekadar mengikuti pola-pola yang sudah ada, tetapi berani bermain pola baru, berani mengkreasikan teknik baru, berani melepaskan ide-ide baru yang liar namun tetap bertanggung jawab.
Belati Bermata Dua
Penulis muda sastra Bali modern mesti berbekal “belati bermata dua” ketika telah memutuskan diri berkarya dalam dunia sastra Bali modern. Belati bermata dua digunakan penulis untuk bekal menghasilkan karya ber-genre modern dengan identitas lokal Bali. Pada bagian ini, tidak dalam hal mempertentangkan kelahiran modern dan eksistensi tradisi, namun mengawinkan keduanya dalam sebuah karya yang berkualitas.
Sebagai penulis dengan genre modern (cerpen, puisi, novel, prosa liris, drama), penulis sastra Bali modern tentu saja wajib mengeksplorasi kekuatan-kekuatan yang dimungkinkan oleh kendaraan mereka. Sebab sastra ber-genre modern adalah adaptasi sastra Barat, dan perkembangannya di dunia asalnya begitu pesat, ada baiknya penulis muda sastra Bali modern melebarkan khasanah bacaannya pada karya-karya Barat yang memiliki kualitas baik. Jika kesulitan memahami bahasa asing, dapat dibaca karya terjemahannya, tentu rasanya akan berbeda namun tidak akan mengurangi kualitas kekuatan instrinsik karya tersebut. Sebut saja salah satu karya Leo Tolstoy, penulis humanisme Rusia ini melejit pesat dengan kemampuannya membangun narasi pada kisah roman dan cerpen. Ia membangun romantisme percintaan yang sama sekali tak cengeng dalam novelnya Anna Karenina.
Sementara penulis muda sastra Bali modern (meski tak semua) yang mencoba membangun kisah percintaan, selalu nampak cengeng, dengan alur yang mudah terbaca, dan eksekusi akhir yang lemah. Konflik yang terbangun pun sering kali tidak memiliki kekuatan menggugah pembaca, sehingga tampak datar tanpa riak. Permainan membangun konflik dan penempatannya dalam karya adalah hal yang tidak bisa dipandang remeh. Konflik mampu membangun tegangan pada kesuntukan pembaca, yang akhirnya menjadi kekuatan tersendiri untuk menempatkan pembaca pada sudut keterpakuan, sudut gregetan, bahkan titik grimutan pembaca pada tokoh yang membangun konflik.
Konflik tak melulu perkara perkelahian fisik antar tokoh, konflik yang melibatkan psikologis antar tokoh bahkan internal tokoh pun sejatinya adalah sumber konflik yang mumpuni. Bahkan konflik secara batiniah, jika sukses dibangun oleh pengarang, akan dengan mudah membawa pembaca berada dalam situasi konflik tersebut. Turut merasakan konflik batin tokoh, hingga hanyut pula pembaca di dalamnya.
Selain bacaan sastra Asing, penulis muda sastra Bali modern pun wajib baca karya-karya sastra Indonesia. Sastra indonesia memiliki banyak penulis yang dari segi kekuatan intrinsiknya membangun karya sangat baik. Sebut saja salah satunya adalah Gde Aryantha Soethama. Kelebihan penulis satu ini adalah kekuatan cerita yang sederhana dan permainan konflik batin.
Pemilihan ide-ide dengan tema kritik sosial khususnya pada kultur manusia Bali juga menjadi ciri khas dari Aryantha Soetama. Bahkan dalam beberapa buku esainya, kritik atas manusia Bali ditulis dengan bahasa yang sangat mudah di cerna namun cukup membuat batin bergejolak. Hari ini, penulis muda sastra Bali modern juga sedang gandrungnya mengangkat tema kritik sosial pada masyarakat Bali. Sebaiknya bergurulah pada Aryantha Soethama perkara melesapkan kritik atas “diri sendiri”.
Selepas melakukan perburuan ke luar khasanah sastra Bali, selanjutnya sahabat penulis muda sastra Bali modern wajib menyelami khasanah sastra tradisional Bali. Sejauh ini, penulis muda sastra Bali modern tidak banyak yang membaca sastra Bali tradisional. Padahal, dunia sastra Bali tradisional adalah pustaka yang menyiapkan banyak sekali pilihan-pilihan bahasa dan istilah kesastraan yang seharusnya diketahui penulis sastra Bali modern.
Keberjarakan antara penulis muda sastra Bali modern dengan sastra tradisional inilah yang menjadikan sebagian besar penulis sastra Bali modern lemah dalam perbendaharaan kata dan istilah-istilah kesastraan. Kerapian tata bahasa Bali para penulis muda ini perlu diasah lagi, perbendaharaan kosa kata bahasa Bali perlu ditingkatkan lagi. Menyelami sastra tradisi adalah mutlak, guna menyerap komponen kebahasaan paling mendasar dalam bersastra, kata.
Sastra tardisional menawarkan banyak metafora khas Bali, menyajikan limpahan idiom khas Bali, yang jika dieksplorasi dengan baik akan melahirkan diksi memukau dalam karya sastra Bali modern. Sebut saja salah satu karya tradisional, Geguritan Kasmaran, geguritan ini berisi limpahan metafor yang digunakan untuk menunjukkan keindahan pujaan hati (perempuan). Penggambaran pujaan hati begitu indah dibuatnya dengan pilihan bahasa yang sangat rapi, terbungkus, namun tersirat jelas. Barangkali geguritan ini dapat jadi refrensi bagi penulis muda sastra Bali modern yang gemar menulis kisah romansa. Romantis tanpa terlihat gombal.
Sastra Bali tradisional menyuguhkan banyak kata arkais yang kini sudah tak lagi fasih dipakai manusia Bali. Jika ini mampu dihadirkan dalam ruang baca yang ber-genre modern, maka sastra Bali modern telah melaksanakan tugas utama sastra, mengedukasi pembaca. Sastra Bali modern akan pula menjadi media penyelamatan bahasa-bahasa arkais, media dokumentasi bahasa yang perannya sama penting dengan kamus.
Selain limpahan kata-kata dan unsur ketatabahasaan, sastra tradisional juga menyiapkan ribuan gagasan atau ide yang siap untuk dieksplorasi lebih dalam. Menyelami lebih dalam sastra tradisional kemudian melakukan reinterpretasi, atau mereproduksi, bahkan mendekonstruksi kandungan-kandungan sastra tradisional adalah kekuatan tersembunyi yang belum banyak dilirik penulis muda sastra Bali modern. Jika kini bertebaran karya sastra aliran surealis, sufisme, absurd, dan kontemporer, sejatinya sastra Bali tradisi sudah jauh lebih dulu melakoninya. Hanya saja sudut pandang kita membaca harus digeser untuk dapat menemukan titik-titik ini, dan proses kreatif penulis diuji disini.
Perkara mereinterpretasi teks tradisional, penulis muda sastra Bali modern bisa berguru pada Oka Rusmini. Ia sukses besar melakukan reinterpretasi teks Kakawin Sumanasantaka hingga membuahkan Kumpulan Puisi Saiban. Hebatnya, Oka Rusmini penuh percaya diri dan total tampil dengan nilai tradisi, bahkan judul buku pun digunakan kata yang dekat dan hanya ada di Bali, Saiban. Kumpulan puisi yang meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2014 ini menghadirkan rasa tradisi yang dalam pada sastra modern. Ini membuktikan bahwa sastra tradisional menyiapkan mutiara indah pada kedalamannya.
Belati bermata dua sebagai bekal utama penulis muda sastra Bali modern harus tetap terasah. Satu sisi mata diasah dan dipergunakan membedah karya-karya modern, pada sisi lain mata belati diasah serta dimanfaatkan menguliti sastra tradisional Bali. Ketika keduanya telah terasah baik, maka bukan tidak mungkin sastra Bali modern ke depannya menghasilkan karya-karya fenomenal. Waktu untuk belajar masih terlalu panjang untuk disia-siakan, mumpung masih muda, selagi kencang-kencangnya nafas untuk berlari, manfaatkan dengan bijak. Menulis dengan langgam modern, namun bercita rasa tradisi, itu baru asik… (T)