“Menjadi guru adalah panggilan jiwa.”
YA, kalimat tersebut memang benar adanya. Bagaimana tidak? Dengan menjadi guru, kita harus membentuk generasi muda yang nantinya akan mengambil alih kendali di negeri ini suatu saat nanti. Salah satu dosenku dulu pernah berkata: “Menjadi guru tidaklah mudah. Kalau seorang guru mengajarkan sesuatu yang salah, maka guru tersebut akan berdosa selama 1 generasi”.
Tentu tugas tersebut tidaklah mudah. Tapi kenyataannya, tugas guru tidak hanya mengajar. Tugas pokok dan fungsi guru (tupoksi) guru sendiri meliputi perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, mengadakan evaluasi, menganalisis soal ulangan, serta mengadakan remidial/pengayaan.
Itu belum termasuk tugas tambahan sebagai wali kelas, administrasi dan tetek bengek lainnya. Jasi, bisa dibayangkan bagaimana tuntutan kerja seorang guru untuk mewujudkan cita-cita nasional “mencerdaskan kehidupan bangsa” tersebut.
Tentu saja, bagi guru yang sudah terikat kontrak sampai dengan pensiun (baca: PNS) hal ini merupakan tuntutan wajib sesuai dengan Undang-undang Profesi guru yang berlaku. Apalagi ditambah dengan sertifikasi itu, yang sempat membuat nyinyir PNS lainnya.
Lalu, bagaimana dengan guru honorer atau guru abdi? Guru abdi memiliki beban kerja yang hampir sama dengan guru PNS, bahkan dalam beberapa kesempatan guru abdi dituntut bekerja lebih. Yah, apa boleh buat. Mau tidak mau itu harus dikerjakan.
“Baang ne truna-truna malu, bapak/ibuk nak be tua sube kenyel“. Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai berikut: “Biarkan yang muda-muda ini yang berkerja, Kami sudah tua sudah letih”.
Begitu kata-kata yang kerap didengar oleh guru abdi, seperti aku ini. Mendengar itu, aku hanya bisa menganggukkan kepala, sembari teringat kata-kata salah seorang petinggi di tempatku bekerja: “Pengabdian tidak akan pernah sia-sia. Semua akan indah pada waktunya.”
Cieeeeh. Kalimat itu sungguh indahnya. Mendengar kata-kata itu, harapan akan masa depan yang lebih baik kembali bersemi.
Bagiku, seorang guru abdi dengan gaji 350 ribu rupiah per bulan, tentu saja motivasinya untuk bekerja laksana gelombang di laut. Kadang pasang kadang surut, kadang muncul kadang hilang.
Aku bertahan hidup dengan ngehkeh (baca: mengais rejeki) di tempat lain. Bekerja dari jam 7 sampai 13 WITA di sekolah, jam 3 sampai jam 8 WITA di bimbingan belajar (bimbel), belum lagi mengajar privat di sela-sela jam padat itu.
Beratkah? Memang cukup berat, tetapi tidak ada alasan untuk berhenti melakukan itu. Kalau hanya mengandalkan gaji di sekolah tentu tidak akan mencukupi kebutuhan hidup ku dan keluarga ku selama sebulan.
Apalagi dengan diterapkannya fullday school alias masuk awai, maka kesempatanku untuk ngehkeh di tempat lain akan berkurang. Kalau misalnya gaji guru abdi tetap 350 ribu rupiah sebulan, maka imbasnya jatah bulanan untuk istri dan anakku berkurang juga. Mudah-mudahan Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat dapat mempertimbangkan kebijakan fullday school tersebut. Atau paling tidak gaji guru abdi dapat disesuaikan dengan tuntutan kerjanya.
“Nah kanggoa be jah, nyen nunden dadi guru honor”. (T)