SUDAH sering kali saya ke Desa Pegayaman di Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali, baik untuk urusan jalan-jalan maupun mengemban tugas jurnalistik. Dan, entah kenapa, saya selalu senang memasuki desa di kaki perbukitan hijau itu.
Masuk ke desa dengan jalan-jalan kecil yang dijepit persawahan dan kebun cengkeh itu, perasaan seperti dibawa ke negeri entah yang unik, tidak biasa, terkesan asing tapi sekaligus akrab. Warga desa itu penganut Muslim yang taat, tapi di sisi lain ditemukan sisi-sisi penting dari kebudayaan Bali. Kita tahu, Bali sebagian besar penganut Hindu, termasuk warga desa di sekeliling Pegayaman.
Desa Pegayaman adalah desa muslim tua yang ada di Buleleng. Desa Pegayaman dipercaya ada sejak tahun 1639. Leluhur mereka diajak ke Bali dari Blambangan oleh Raja Panji Sakti. Di Bali, mereka ditempatkan di sebuah desa di kaki bukit di sebelah selatan kerajaan Buleleng.
Yang membuat perasaan jadi nyaman, kerukunan antara umat Muslim dan Hindu, di desa itu dan di desa sekitarnya terjalin dengan baik. Orang Bali menyebut warga Muslim itu dengan sebutan Nyama Slam (Saudara Islam), begitu sebaliknya orang Bali disebut Nyama Bali.
Empat abad sudah keberadaan Desa Pegayaman di Buleleng. Namun kerukunan itu tetap terjalin. Dalam pergaulan sehari-hari, warga Pegayaman masih tetap menggunakan bahasa Bali alus. Jangan heran jika berkunjung ke Pegayaman, kita mendengar kata-kata tiang (saya), nike (itu) meriki (ke sini), ragane (Anda), ring dije (di mana) dan sebagainya. Nama-nama warga Pegayaman juga menggunakan nama Bali di depan nama Jawa atau Arab, seperti Wayan, Made, Nyoman dan Ketut.
Tentang hal itu, sepertinya sudah banyak diteliti dan ditulis orang di media umum. Namun saya selalu seperti menemukan hal baru di Pegayaman. Apalagi, pemuka-pemuka desa amat ramah dan bersedia diajak ngobrol panjang lebar tentang apa saja yang berkaitan dengan kondisi desa.
Terus terang, hal yang membuat saya paling betah berlama-lama di Pegayaman, terutama pada saat ada perayaan agama atau hajatan desa, adalah suara rancak-merdu dari kesenian budrah, atau biasa juga disebut burdah.
Perangkat musiknya memang tak jauh beda dengan alat musik dari komunitas Muslim lain. Namun warga Pegayaman meramu seni budrah dengan bumbu-bumbu akulturasi yang sedap, sehingga adonan kesenian itu begitu enak didengar, baik oleh Nyama Slam maupun Nyama Bali.
Kesenian Budrah di Pegayaman adalah satu bentuk kesenian yang menggabungkan suara pukulan rebana yang rancak dengan suara nyayian ayat suci Kitab Albarzanji yang dilantunkan seperti lantunan cengkok tembang kidung di Bali. Jika kita membayangkan mungkin akan terasa agak aneh, setelah kita mendengarkan semua rasa aneh yang kita bayangkan akan sirna. Alunan ayat-ayat suci yang ditembangkan dengan nada kidung terasa sangat menakjubkan. Reng (resonansi) kidung Bali sangat terasa di setiap alunan ayat suci yang berbahasa Arab.
Kesenian Budrah mengunakan rebana khusus budrah. Bentuknya bulat-bulan terbuat dari batang pohon kelapa dan kulit binatang seperti sapi atau kambing. Ukuran rebananya pun bervariasi dari berdiameter tiga puluh centimeter hingga lima puluh sentimeter. Rebana Budrah dibuat dengan cara manual.
Yang menarik, selain mampu memainkan rebana budrah, warga yang masuk dalam sekaa (kelompok) budrah juga mampu membuat rebana budrah. Dan hampir semua anggota sekaa mampu membuat rebana budrah.
Ketut Mohamad Suharto, Ketua Sekaa Budrah Pengayaman, menyatakan kata budrah berasal dari kata Arab yang berarti salju atau angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Kesenian ini telah diterima dan diwariskan secara turun-temurun, dan akan tetap dipertahankan. Budrah ini merupakan bukti alkuturasi dan toleransi yang diajarkan oleh para leluhur Desa Pegayaman.
Keunikan lain yang ada pada kesenian Budrah Pegayaman terdapat pada kostum saat tampil. Anggota sekaa budrah saat tampil mengunakan pakaian adat Bali. Bagaian kepala menggunakan udeng batik, baju kemeja yang utama putih, dan menggunakan kamen lelancingan. Kekhasan kostum ini pun merupakan warisan yang diteruskan dan tidak akan penah diganti. “Amen sube budrah, pasti pun care niki, meudeng, baju kemeja putih, kamen lenjingan, ten pun meubah-ubah,” kata Mohamad Suharto.
Terkait dengan kaderisasi, Sekaa Budrah tidak sulit lagi untuk mencari anggota. Anggota sekaa budrah Pegayaman silih berganti dari muda hingga tua. Kesenian budrah telah menjadi kesenian yang mengakar bagi Nyame Selam di Pegayaman. Saat latihan, anak-anak kecil Desa Pegayaman, selalu datang untuk sekedar melihat orang latihan, tak jarang mereka mencuri-curi kesempatan untuk ikut memainkan rebana budrah, para tetua pun membiarkan anak-anak mereka belajar.
Mohamad Masidi adalah anggota termuda yang bergabung di Sekaan Budrah Pegayaman. Masidi telah bergabung Sekaa Budrah Pegayaman dari satu tahun lalu. Alasannya bergabung di sekaa budrah karena suka budra sejak kecil. Terkait dengan kostum Masidi mengatakan, “Sudah dari leluhur seperti ini ya saya terima saja dan enak menggunakannya.”
Kesenian Budrah sering tampil di acara yang dilaksanakan di Desa Pegayaman maupun di luar Desa Pegayaman. Dalam penampilan kesenian budrah sering dipadukan dengan menampilkan Pencak Silat Blebet dari Desa Pegayaman. Blebet merupakan kata lain dari rotan. Blebet dalam pencak silat Pegayaman menjadi senjata utama dalam penampilan pencak silat. Jika mahir memainkan, blelet mampu digunakan untuk mematikan lawan.
Saya selalu suka menyaksikan pencak silat Blebet itu. Meski terkesan sebagai permainan fisik yang keras, namun warga Pegayaman sesekali memainkannya dengan atraksi lucu yang bisa mengundang tawa. Tak percaya? Mainlah ke Pegayaman. (T)