SUASANA hening. Sejumlah orang menikmati malam di tepi sawah, di atas dangau kayu tanpa atap. Mata sejumlah orang tertuju pada sosok lelakut yang tertancap di tengah sawah nyarang, dengan air bening tanpa riak. Sosok patung orang-orangan sawah itu memantulkan pemandangan magis ditimpa lampu yang dihasilkan dari panel surya. Orang-orang pun mengambil HP, lalu selfie.
Malam itu, senja baru saja surup, Minggu 4 Juni 2017. Di sela Festival Tepi Sawah di areal sejuk Omah Apik, Pejeng, Gianyar, orang-orang sedang menunggu sekelompok seniman dari Banjar Delod Puri, Kediri, Tabanan. Seniman yang tergabung dalam Sekaa Okokan Brahma Diva Kencana sesuai jadwal acara hendak menampilkan atraksi okokan dan tari-tarian.
Dan seakan menyambung suasana di persawahan belakang stage, masuklah sejumlah penari ke arena. Seniman-seniman muda dari daerah agraris itu berkostum lelakut, lalu meliukkan tubuhnya di tengah arena. Sejumlah orang yang sebelumnya suntuk memandang lelakut yang tertancap di tengah sawah, langsung mengalihkan pandangannya ke arena: menonton lelakut yang menari.
Penari itu melangkah pelan ke arena, meliukkan sedikit tubuhnya, terkadang sambil tersenyum yang agak dipaksakan. Mereka kadang beku seperti lelakut yang sesungguhnya, kadang bergerak seperti petani yang tak bisa diam. Tarian itu seakan mengungkapkan rasa rindu yang besar terhadap sawah-sawah yang subur, lingkungan yang asri, air melimpah dan udara yang sejuk.
Kerinduan itu makin terasa ketika lelakut itu meniup seruling. Suara seruling yang dimainkan dengan apik, kadang terdengar seperti keriangan, kadang terdengar seperti rintih yang merdu. Suara-suara yang seakan member pesan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi terhadap alam dan lingkungan pertanian, di Bali, khususnya di Tabanan.
Usai penari lelakut beraksi, usai tepuk tangan yang kompak, suasana hening kembali. Lalu, orang-orang yang berada di Omah Apik dikejutkan dengan gema suara okokan. Suaranya menggelegar, ritmis dan hidup. Dari stand makanan yang agak jauh dari stage, sekitar 50 pemuda berbaris, Sebanyak 32 orang memanggul okokan besar, sisanya memainkan alat tabuh yang lain seperti kempul, kendang dan ceng-ceng kopyak.
Itulah yang disebut seni okokan. Okokan adalah benda yang mirip keroncongan sapi dengan ukuran jumbo. Para pemain okokan mengenakan celana panjang berwarna dasar putih yang dihiasi dengan warna merah dan hitam atau yang biasa disebut dengan warna tridatu lengkap dengan baju kaos tak berlengan dan udeng poleng.
Mula-mula para pemain okokan berbaris di dekat stand dagang. Lalu dengan hitungan beberapa detik setelah benda itu dimainkan para pengunjung sontak merapat memperhatikan pementasan tersebut. Sembari memainkan okokan dengan suara menggelegar, para pemain langsung menuju arena di depan Uma Stage. Mereka bermain di bawah karena stage tidak cukup menampung jumlah pemain dan gaya permainan seperti itu.
Suara okokan yang dipadukan dengan beberapa terompong, kendang, dan klening membuat suasana menjadi bersemangat. Bagaimana tidak, suara okokan yang menggetarkan dada itu diiringi dengan gerakan meliuk-liuk para pemain sehingga keperkasaan para pemain okokan mengundang para penonton untuk bersemangat menyaksikannya.
Awalnya, semua pemain memang hanya tetap pada barisan, kemudian mereka memberi kejutan dengan gerakan-gerakan meliuk-liuk sembari menggoyang-goyangkan okokan agar tetap bersuara dengan sempurna. Beberapa gerakan seperti inilah yang membuat penonton terlebih penonton dari mancanegara berdecak kagum dengan pementasan itu. Di samping kekuatan pemain dalam mengangkat benda itu, tempo permainan pun tetap terjaga hingga keindahan permainan okokan itu tak memberi kesempatan para penonton memalingkan pandangan.
Wayan Juni, pengurus Sekaa Okokan Brahma Diva Kencana, mengatakan permainan ini di desanya di Kediri, Tabanan, biasa digunakan dalam kegiatan mengarak ogoh-ogoh pada hari pangrupukan menjelang Hari Nyepi. Namun, okokan juga akan dimainkan apabila desa tempat mereka tinggal mengalami bencana bertubi atau biasa disebut dengan istilah grubug. Jika grubug terjadi, permainan okokan bisa dilakukan dari pagi hingga pagi kembali, bahkan bisa dilakukan berhari-hari.
Okokan yang biasa dimainkan dalam hari pangrupukan ini tentu memberi aroma semangat dengan tabuh yang dimainkan. Para pemain musik tradisional ini memperlihatkan keperkasaannya sebagai pemain dengan raut wajah yang tak berubah meski durasi yang dimainkan cukup lama. Raut wajah yang bertahan dan diikuti dengan tetesan keringat di dahi itu justru memperlihatkan betapa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepribadian kuat.
Okokan yang begitu besar itu digantung pada sebuah kayu yang kemudian digarap oleh dua orang. Patung naga yang tertempel di kayu tempat okokan itu pun seakan hidup dan ikut menari-nari dalam keasikan para pemain itu. Beberapa penonton lokal pun bergeming dalam pementasan, “amat je bayune to” atau dalam bahasa Indonesia “betapa besar tenaganya”. Mereka kagung dengan kekuatan para pemain dalam durasi waktu permainan pemain okokan itu.
Menurut pelatih kelompok ini lebih lanjut, permainan ini juga akan segera pentas di Garuda Wisnu Kencana (GWK) dan di Bajera Sandi di Renon, Denpasar. (T)