PERTENGAHAN Juni nanti, dunia kesusastraan Indonesia akan kembali dibikin semarak dengan hadirnya antologi puisi bersama “Kavaleri Malam Hari”. Antologi tersebut memuat karya-karya 17 penyair muda Indonesia yang, menurut editor antologi tersebut, penuh vitalitas dan nilai-nilai spiritualitas. Tak hanya menghimpun karya-karya para penyair muda, antologi tersebut juga dilengkapi dengan karya grafis beberapa maestro seni rupa Indonesia.
Sambil menunggu rampungnya proses penerbitan antologi tersebut, redaksi tatkala.co berkesempatan melakukan wawancara dengan Faisal Kamandobat—penyair, peminat masalah sosial, budaya, dan seni rupa—yang berperan sebagai editor antologi puisi Kavaleri Malam Hari. Sebagai informasi, sehari-hari Faisal bergiat di Abdurahman Wahid Center Univeritas Indonesia (AWC-UI). Antologi ini juga terbit atas kerjasama lembaga tersebut dengan penerbit baru asal Yogyakarta, Quark.
Berikut petikan wawancara kami.
Antologi ini, dalam iklannya, mengusung tawaran besar berlabel “sajak-sajak spiritual dan sosial”. Bisa dijelaskan maknanya?
Tema spiritual dan sosial bukan hal besar dan baru di negeri ini, keduanya telah menjadi bagian sehari-hari masyarakat selama berabad-abad. Jika diperhatikan, serat-serat, tembang-tembang, ritual-ritual, dan materi-materi budaya masyarakat kita, hampir semuanya terkait dengan dimensi spiritual, yaitu pengalaman ruhani masyarakat dalam hubungannya dengan dimensi Ilahiah yang suci.
Pengalaman ruhani tersebut mengejawantah dalam relasi sosial di antara mereka, membentuk norma, etika, dan orientasi hidup bersama. Itulah yang kita dapatkan manakala menyimak pantun Melayu, kakawin dan suluk di Jawa, tembang manaholo di Rote, kawoking di Sumba, kabanti di Buton, dan sebagainya. Dimensi spiritual dan sosial tak terpisahkan dari bangsa ini. Keduanya merupakan kesatuan yang membentuk narasi dari realitas dan historisitas kita—sekaligus menjadi salah satu warisan humanis yang paling berharga.
Gus Dur pernah bilang, “guru spiritual saya adalah realitas dan guru realitas saya adalah spiritualitas”. Dengan mengatakan itu, beliau sedang menunjuk realitas sosial yang amat spiritual, di mana beliau lahir, tumbuh dan mengabdi.
Lantas, tujuan dan fungsi mengusung tema itu apa?
Berdasar pernyataan di atas, tujuan kami mengusung tema spiritual dan sosial dalam puisi modern Indonesia adalah usaha merawat dan mengembangkan warisan berharga itu ke dalam bentuk artistik, konteks, audiens, dan bahkan visi yang berbeda.
Di tengah maraknya fenomena politisasi agama yang membawa nilai-nilai spiritual tapi berada di luar pesan intinya, puisi-puisi spiritual dan sosial dapat mengingatkan kita tentang perlunya ketaatan pada pesan hakiki dari Ilahi, memperluas pemahaman, memperdalam penghayatan, dan mengekspresikannya secara kreatif dan imajinatif.
Puisi, dalam hal ini, bukan semata menegaskan nilai-nilai ideal yang sudah ada, tetapi sebuah usaha merekonstruksi realitas dan sejarah kita dengan cara yang baru, segar, dan penuh vitalitas. Puisi adalah kunci pembuka bagi kondisi kemanusiaan tertentu agar keluar dari realitas ruhani dan sosial yang tengah dibekukan oleh kekuasaan dan aparatus penegaknya: ideologi politik, institusi, program-program, dan gerakan-gerakannya.
Oke, sebagai editor, Anda siap mempertanggungjawabkan “label” dan isi antologi ini?
Pada dasarnya, kami—saya dan Ahmad Syafiq, Ketua AWC-UI sekaligus ahli kesehatan dan penyuka fotografi serta seni —tidak menentukan batasan tentang spiritualitas dan manifestasi sosialnya ke dalam doktrin religius, model interpretasi, atau bentuk ekspresi tertentu. Apa yang kami lakukan adalah memperhatikan fenomena tersebut di kalangan para penyair muda yang cukup kami kenal, melihat bagaimana mereka melakukan tafsir dan ekspresi dari pengalaman spiritual masing-masing—sesuai keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan ekspresi yang disukai.
Jujur saja, vitalitas, komitmen, juga kreativitas mereka terkait hal ini sangat mengagumkan.
Bisa sedikit dijelaskan ragam—atau boleh juga kecenderungan—puisi-puisi dalam antologi ini?
Dalam “Kavaleri Malam Hari”, ada penyair yang berangkat dari pemahaman konseptual dan struktural terkait persoalan sosial, lantas mengekspresikannya dalam puisi panjang yang intens dan bertenaga. Di sisi lain, ada juga penyair yang berangkat dari pemahaman partikular dan kritis terkait kondisi sosial, lalu mengemukakan gagasannya lewat puisi dengan ekspresi yang padat, sublim, dan kadang disertai humor mengenai keterbatasan manusiawi kita.
Berbagai macam pemahaman dan ekspresi itu kami tampung dalam buku ini, sebaik yang bisa kami lakukan—sebagaimana para penyair dalam antologi ini telah melakukannya juga dengan kualitas, budi, dedikasi, dan karya-karyanya.
Menarik bahwa antologi ini terbit atas kerjasama AWC-UI—lembaga yang notabene fokus pada riset-riset masalah demokrasi, perdamaian dunia, serta penyelesaian konflik sosial—dengan penerbit Quark. Apa yang membuat AWC-UI bersedia menerbitkan antologi ini?
Antologi puisi ini terbit bukan dari program yang telah terjadwal di AWC-UI, tapi lebih karena inisiatif sukarela dari sejumlah individu di lembaga tersebut, terutama mereka yang berminat terhadap seni.
Kegiatan sukarela semacam ini, jauh sebelum proyek antologi ini, pernah kami lakukan juga dalam bidang fotografi. Di situ, kami mengangkat tema yang kurang lebih serupa bersama sejumlah fotografer yang memiliki komitmen dan visi yang sejalan dengan kami.
Dan, bukan kebetulan jika puisi mendapat giliran. Kita tahu betapa Gus Dur adalah pribadi yang amat mencintai sastra dan bahkan pernah membahas beberapa karya sastra di dalam artikel-artikelnya. Beliau berpandangan, begitu juga dengan kami, bahwa sastra dapat meningkatkan potensi dan kualitas kemanusiaan kita.
Lepas dari persoalan inisiatif tadi, dalam sebuah penelitian kami, sastra—terutama sastra tradisi—rupanya menjadi salah satu faktor penting bagi masyarakat untuk bertahan hidup di tengah tekanan. Sastra mentransformasikan nilai-nilai dan formasi sosial di tengah perubahan yang teramat cepat dan penuh ketimpangan. Itulah yang kami temukan pada beberpa komunitas di Sumba, Lombok, Sumatra Utara, Kalimantan, dan beberapa daerah lain. Dalam sastra, manusia sebagai entitas yang dinamis dan kompleks dapat ditangkap lebih jelas, komplit, dan menarik dibanding dalam statistik dan eksposisi hasil penelitian akademis.
Jadi, sastra khususnya dan seni pada umumnya telah melengkapi ranah dan pendekatan yang kami butuhkan dalam pekerjaan kami: ia diplomat yang menghubungkan imajinasi dan ilmu, manusia dan jagad raya, serta kekayaan manusiawi dari berbagai wilayah dan zaman. Antologi puisi sederhana ini hanyalah partikel di tengah horison visioner yang teramat besar itu. Meski begitu, semoga ia dapat bermanfaat bagi banyak orang.
Dengan kata lain, AWC-UI masih percaya bahwa puisi masih punya makna di tengah riuhnya kata-kata dalam kehidupan kita saat ini?
Pendeknya, ya. Jika kita melihat khazanah Nusantara, di sana puisi merupakan hal yang penting dan kuat dalam kehidupan. Setiap hari mushola-mushola masih mengumandangkan syair pujian, sanggar-sanggar menyenandungkan mocopat dan pantun, dan ritual-ritual masyarakat juga masih menyertakan puisi tradisional mereka di dalamnya. Dalam konteks tersebut, puisi membentuk orientasi, memperdalam internalisasi nilai, dan mengikat kehidupan yang profan dan sementara dengan realitas sakral yang kekal. Di tengah banjir infomasi di media massa dan media sosial, masyarakat—terutama di perdesaan—akan berpulang pada puisi-puisi semacam tadi, menengankan dan memulihkan batinnya kembali, untuk selanjutnya melakoni kehidupan sebagai fitrah Ilahi.
Melihat kenyataan di atas, puisi dan sastra adalah hal yang amat penting bagi kehidupan kita.
Namun demikian, sastra modern Indonesia memiliki posisi, fungsi, dan lingkungan yang berbeda dengan sastra-sastra tradisional Nusantara. Sastra modern mungkin lebih popular dan inovatif, namun pengaruh sosio-kulturalnya belum sekuat sastra-sastra tradisional. Banyak sastra tradisional dianggap sebagai pusaka bagi masyarakat—sastra semacam itu dibaca, dipahami, dan diamalkan sedemikian rupa. Sedang sastra modern belum sampai pada posisi sekuat dan sedalam itu secara sosial, terlebih indeks literasi kita belum cukup baik.
Jika demikian, apa yang dikehendaki dari terbitnya antologi semacam ini?
Antologi puisi ini berusaha mengangkat tema yang dekat dengan sastra tradisional, dengan harapan sastra modern kita tidak berhenti di media massa dan di atas buku-buku, namun juga di atas sejarah dan realitas masyarakat itu sendiri.
Oke, sejauh mana puisi bisa dipercaya punya peran agar turut serta membangun kehidupan yang lebih baik?
Puisi bisa ikut membangun kehidupan yang lebih baik jika masih megandung kebajikan dan kebenaran. Terutama sekali bukan kebajikan dan kebenaran normatif yang disampaikan secara monoton dan konvensional, melainkan kebajikan dan kebenaran yang telah diolah menuju pemahaman yang lebih hakiki dan kontekstual, serta disampaikan secara inovatif dan komunikatif.
O iya, ada 17 penyair muda dalam kumpulan ini. Apa kriteria editor memilih ke-17 penyair tersebut?
Tidak ada kriteria khusus mengapa kami memilih 17 penyair ini. Kami melakukannya dengan meminta puisi sejumlah penyair muda yang kami kenal, kemudian mereka memberi tahu teman-temannya dan mengirimkan karya-karyanya kepada kami. Jadi, prosesnya bersifat kekeluargaan. Kami lantas memilih sejumlah karya dari karya-karya yang mereka kirimkan sesuai tema yang kami tawarkan, menimbang kekuatan puisi-puisi mereka berdasarkan gagasan dan pesan yang disampaiakan, serta melihat intensi, efektivitas, vitalitas dan kematangan bahasa mereka.
Banyak dari mereka menulis sajak-sajak panjang yang mengagumkan karena jarang kami temukan di media massa, juga sajak-sajak pendek yang kuat dan sublim. Namun, tidak semua sajak dapat dimuat dalam antologi ini karena keterbatasan halaman atau karena temanya kurang sesuai dengan konsep antologi ini.
Untuk karya-karya tersebut, semoga bisa segera disambut oleh buku-buku lain demi menyuarakan pesan, menyampaikan keindahan, kekuatan dan kedalamannya kepada publik pembaca yang luas.
Berapa lama proses penerbitan buku ini? Mulai dari perencanaan, kurasi, hingga cetak.
Berkat kebaikan semua pihak yang terlibat, proses berjalan cukup singkat, mungkin sekitar sebulan. Proses terbit jadi sedikit lebih lama karena ada masalah administrasi di pihak penerbit, juga dan antrean panjang di percetakan. Pertengahan ramadan, semoga buku ini sudah bisa dinikmati oleh para pembaca.
Dalam iklan—maksudnya dalam 3 poster yang sudah mulai marak beredar di media sosial—ada disebut bahwa kumpulan ini dilengkapi dengan karya-karya grafis sejumlah perupa Indonesia. Siapa saja mereka?
Para perupa yang kami ajak bekerjasama yakni Djoko Pekik, Heri Dono, Nasirun, Tisna Sanjaya, Hanafi, Bob Sick Yudhita Agung, serta Ahmad Syafiq. Nama terakhir kami sertakan karya fotografinya.
Apa pertimbangan memasukkan karya-karya para perupa yang notabene tidak tergolong muda itu, dalam antologi 17 penyair muda?
Pertimbangannya, karya-karya mereka disertakan karena pesan dalam karya-karya para perupa berpengalaman itu kurang lebih senada dengan puisi-puisi dalam antologi ini. Dengan begitu, antara puisi dan karya rupa bisa saling menjelaskan satu sama lain, dengan bahasa ungkap dari bidang seni dan generasi yang berbeda.
Selain itu, di tengah masyarakat yang semakin visual, kehadiran karya rupa juga akan membuat buku ini tampil lebih kaya dan komunikatif—strategi menghadapi para pembaca yang beragam minat dan seleranya.
Adakah penerbitan karya kreatif-kolaboratif semacam ini bakal terus dilakukan AWC ke depannya?
Jika penerbitan antologi ini mendapat sambutan baik dari masyarakat, baik publik sastra, seni rupa, dan pembaca yang lebih luas, sangat mungkin pihak AWC-UI akan menerbitkan karya semacam ini sebagai agenda tahunan dari program humanitarian. Terlebih jika muncul beragam gagasan yang menarik serta adanya pihak-pihak yang dapat diajak bekerjasama. Ini akan menjadi terobosan dalam diplomasi budaya di tengah masyarakat yang semakin terfragmentasi secara sosio-kultural sebagai dampak dari maraknya politisasi dan kontestasi budaya.
Terakhir, kepada siapakah pembaca bisa memesan buku ini?
Kepada Penerbit Quark, saudara Irwan A Segara dan Mario F. Lawi—keduanya bisa disapa di facebook, instagram, maupun twitter. Mereka juga akan mendistribusikan antologi ini ke toko-toko buku terdekat setelah bukunya lahir dari rahim percetakan. (T/ZS)