SEJARAH pendidikan nasional dimulai ketika tumbuhnya ide nasionalisme. Sebelumnya telah bertradisi berbagai model persekolahan Nusantara, seperti “sekolah” bela diri, kebatinan atau mistik, kedukunan, seni, kanuragan, dan agama. Pada masa penjajahan, Ki Hajar Dewantara, seorang bangsawan dari pusat kebudayaan Jawa di pedalaman, menyaksikan diskriminasi Belanda kepada anak-anak pribumi dalam bidang pengajaran modern. Diskriminasi ini juga dialami oleh Minke sebagaimana terkisah dalam Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer.
Sekolah Belanda hanya bagi anak-anak kaum penjajah. Diskriminasi ini untuk menunjukkan kehinaan anak pribumi dan penanaman mental inlander. Di tengah kondisi ini, Ki Hajar Dewantara mencetuskan ide pendidikan sebagai jalan mencapai kesetaraan dengan penjajah yang sama artinya dengan kemerdekaan pribumi. Pendidikan untuk meraih kemerdekaan bangsa. Jadi amat jelas, ideologi Perguruan Taman Siswa yang menjadi cikal-bakal pendidikan modern di tanah air.
Tercetus semboyan perguruan Taman Siswa, yang lebih menitikberatkan pada peranan luhur seorang guru dalam mendidik. Peran atau posisi guru sangat dinamis (di depan, di antara, dan di belakang siswa), baik ketika menjadi sosok teladan bagi siswa, membangun prakrsa, dan memberi dukungan. Peran dan posisi guru yang sangat mendasar ini, dihayati betul oleh para guru semasa pergerakan sehingga mengantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan.
Orde Baru
Di alam kemerdekaan, negara mengadopsi ideologi Taman Siswa, yang terlihat pada semboyan “Tut Wuri Handayani”. Namun dinamika sejarah mengubah cara pandang bangsa ini terhadap ideologi pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Tulisan ini membahas peranan guru dalam kaitan dengan ketiga posisi atau peran guru yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Topik ini juga dikaitkan dengan nasib para guru terbaik pasca Tragedi 1965. Mereka banyak yang terbunuh dalam prahara politik dan ideologi. Hal ini juga menyebabkan putusnya hubungan sejarah sehingga ideologi pendidikan Taman Siswa kelak semakin bergeser dalam praktik pengajaran di persekolahan.
Dalam sistem pemerintahan negara Orde Baru yang sentralistik dengan dukungan kuat aparat militer negara, praktik pendidikan berjalan penuh tekanan dan pemaksaan. Pendidikan bertujuan membentuk warga negara yang takut kepada pemerintah. Sehingga negara mudah mengatur warganya sesuai dengan kehendak penguasa.
Orde Baru memposisikan guru sebagai wakil negara hingga ke pelosok tanah air. Sebagaimana dalam baris-berbaris, guru adalah komandan, tukang perintah, juru teriak. Siswa adalah barisan robot yang tidak memiliki pilihan, kecuali mematuhi semua perintah atau teriakan. Praktik pendidikan ini dilakukan oleh guru-guru Orde Baru, yang dimaknai “disiplin”. Tidak ada yang sadar jika pendidikan militer Orde Baru merupakan penindasan anak-anak bangsa yang sedang tumbuh. Anak-anak bangsa itu sesungguhnya kehilangan kemerdekaan di alam kemerdekaan. Hal ini terjadi secara sistematis, berkelanjutan, terencana dalam pembangunan lima tahun (Pelita) atau pembangunan jangka panjang.
Jadi jangan tanya, peran guru sebagai teladan. guru hanya berteriak! Kelas semakin pengap oleh suara guru, suara yang membungkam siswa, sejak SD hingga SMA.
Orde Baru benar-benar menjungkirbalikkan ide humanisme Ki Hajar Dewantara. Tidak perlu heran jika peran guru sebagai teladan, pencetus karsa, dan pemberi dorongan, semuanya omong kosong atau nol besar. Hal ini memang masuk akal jika dipahami dari konsep pendidikan sebagai alat kekuasaan. Bukankah Paulo Freire memaparkan bahwa pendidikan adalah tindakan politik. Artinya, lewat pendidikan kaum politisi mencapai tujuan politik yang jauh dari humanisme.
Guru semasa Orde Baru menjadi manifestasi kekuasaan negara otoriter. Lewat kurikulum nasional dan seluruh praktik pengajaran, para guru memperoleh wibawa dan kuasa di mata siswa. Sekolah adalah bentuk lain dari negara dan siswa kaum rakyat yang dikuasai oleh para guru. Maka, hal ini membentuk mental penakut di kalangan siswa. Siswa pun menjadi sosok kaku, tidak berkutik, seperti barisan robot terakota.
Wibawa dan kuasa mengangkat guru pada posisi lebih tinggi dan siswa harus menghormati. Guru Orde Baru gila hormat di hadapan siswa. Guru harus disapa terlebih dahulu dengan salam komando. Para siswa harus menunggu guru dan jika guru terlambat, harus dijemput di ruang guru. Guru pantang jika datang lebih awal di kelas karena sama dengan merendahkan wibawa dan kuasa.
Guru Orde Baru tidak perlu melahirkan prakarsa. Hal ini sudah disediakan oleh negara. Guru cukup menjadi para beo negara. Apapun kata negara itulah yang harus diucapkan oleh guru di hadapan siswa. Soal siswa mengerti atau tidak, bukan urusan guru. Yang penting membeo dan mendidik siswa agar menjadi burung beo. Siswa pun tidak terlatih berpendapat atau memandang. Mereka sangat miskin ide.
Peran guru dalam memberi dorongan sama sekali tidak ada. Orde Baru tidak mengenal dorongan karena sistem militer dari atas ke bawah secara mutlak. Justru sebaliknya, guru harus mampu membentuk siswa yang memberi dorongan atau dukungan kepada semua kebijakan politik Negara.
Pendidikan sebagai Pasar
Dengan memahami sistem politik dan cara Orde Baru menyelenggarakan pemerintahan, dapat dipahami berbagai kemerosotan bangsa saat ini karena dampak pendidikan terasa dua hingga tiga dekade kemudian. Inilah bahanyanya pendidikan yang salah. Sampai saat ini pun dunia pendidikan belum pulih dan ideologi perguruan Taman Siswa semakin tidak dihayati.
Guru belum menjadi teladan. Guru belum mampu memberi prakarsa. Guru juga belum mampu memberi dorongan. Wibawa dan kuasa guru semakin pudar karena terjadi perubahan cara pandang terhadap hubungan guru dan siswa.
Pandangan ini bersumber pada semakin kuatnya pengaruh pemikiran “pendidikan sebagai pasar”. Di sini posisi siswa dan orang tua sebagai konsumen atau pembeli pendidikan yang harus dihormati lebih tinggi lagi ketimbang para guru. Sistem pasar dalam penyelenggaraan pendidikan menuntut guru tunduk kepada kehendak pasar.
Sekali lagi guru tidak berkutik, hanya sebagai tenaga penjual murahan karena dikendalikan oleh pemilik saham. Menjadi guru bukan untuk memberi teladan, membangun prakarsa, dan memberi dorongan kepada siswa tetapi untuk memperoleh penghasilan semata. Dalam sistem pendidikan apapun seharusnya guru memiliki wibawa dan kuasa sendiri, yang ditawarkan kepada dunia politik atau kepada pasar.
Dalam pendidikan sistem pasar, tidak hanya guru, sekolah pun menjadi hamba yang hanya mengikuti segala keinginan pasar. Tampaknya, ideologi perguruan Taman Siswa kian redup. Banyak sekolah mandiri dan bebas dari kuasa politik negara, sebagaimana pernah dialami di masa Orde Baru, namun kini pendidikan dikuasai oleh kekuatan uang. Sekolah merupakan salah satu lembaga bisnis atau perusahan yang menghasilkan untung bagi para penanam modal, seperti halnya rumah sakit, laboratorium klinik, dan berbagai program medis yang ditawarkan oleh para dokter. Keberhasilan sekolah diukur oleh larisnya sekolah tersebut. Sekolah dikembangkan untuk meraih untung besar. Tidak ada lagi sekolah untuk memanusiakan manusia. Yang ada justru sekolah untuk semakin tidak memanusiakan manusia.
Begitulah adanya, kini ideologi pendidikan Ki Hajar Dewantara tidak dipraktikkan.