Sejak awal harus ditegaskan, tulisan ini bukan bicara soal agama dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Tulisan ini semata hanya renungan soal hubungan antar-manusia yang secara kebetulan hidup di Bali.
TANGKIL, maturan, mebakti, atau sembahyang ke Pura Besakih di wilayah Karangasem, Bali, pada saat pujawali, semisal Karya Ida Betara Turun Kabeh yang puncaknya berlangsung pada purnama kadasa, tak ubahnya seperti momentum penting untuk “bepergian bersama-sama”. Bersama keluarga kecil atau keluarga besar, bersama warga desa pakraman, bersama teman kantor, bersama teman kuliah, bahkan bersama sekeha tuak (kelompok peminum tuak).
Jarang kita temukan seseorang, naik motor atau naik mobil, berpakaian adat lengkap, serta membawa keben berisi canang, dupa dan bunga, jelang-jelong sendirian ke Pura Besakih. Kalau pun ada, mungkin mereka umat yang berasal dari sekitar Pura, umat yang sudah biasa keluar masuk Pura seperti keluar masuk rumah sendiri.
Umat biasanya datang bersama-sama, berombongan, dengan satu, atau dua, atau lebih banyak mobil. Atau naik bus besar. Atau banyak juga remaja bawa sepeda motor, konvoi bersama-sama dengan jumlah puluhan sepeda motor, sembari sesekali menggeber gas dengan suara knalpot yang agak sangar.
Keluarga kecil bawa mobil kecil. Keluarga besar bawa mobil agak besar. Warga desa, atau rombongan anggota koperasi, pengurus LPD plus keluarga plus pengurus adat, mungkin bawa bus. Itulah mungkin yang menyebabkan mobil-mobil agak besar, semacam Kijang, Avanza, Xenia, APV, dan sejenisnya laris-manis di Bali. Tujuannya agar ke Pura bisa bersama-sama dengan mengangkut anak-istri, orang tua, mertua, keponakan, bahkan tetangga dekat.
Bayangkan jika semua warga Bali hanya punya Lamborgini atau Ferrari, mungkin parkir di kawasan Pura Besakih akan penuh hingga ke tepi jalan desa-desa dekat perbatasan Klungkung-Karangasem atau perbatasan Bangli-Karangasem. Karena setiap satu atau dua orang bisa bawa mobil sendiri. Anak-anak bawa mobil sendiri, orang tua bawa mobil sendiri.
Bersama dalam Perjalanan
Momen bersama-sama dalam perjalanan bagi warga di Bali tak banyak terjadi dalam perjalanan plesir atau berwisata. Mereka lebih banyak melakukannya dalam upacara adat atau agama, semisal meajar-ajar, ngateh anten (mengantar pengantin), dan sembahyang bersama-sama ke sebuah Pura yang jauh dari rumah. Jika pun belakangan warga Bali memiliki kesadaran untuk berwisata bersama keluarga, mereka juga menggabungkannya dengan kegiatan tirtayatra (perjalanan sembahyang ke berbagai Pura). Apalagi Pura yang dituju juga berada di kawasan wisata, lumayan tak dimintai tiket masuk seperti turis.
Bersama dalam perjalanan, mungkin hanya sejam, mungkin dua jam, mungkin juga sampai 6 jam jika umat berasal dari Jembrana atau Buleleng, apalagi dapat bonus macet lalu-lintas, adalah hal yang menyenangkan.
Betapa asyiknya bepergian bersama-sama. Bersama dalam satu mobil dalam waktu yang cukup lama. Di rumah, sebuah keluarga kecil, mungkin saja bisa bersama-sama dalam 24 jam sehari. Tapi anggotanya kadang sibuk sendiri-sendiri. Tapi di dalam mobil dalam perjalanan, tak ada yang bisa dilakukan selain ngobrol kangin-kauh bersama, atau bahkan bisa menyelesaikan persoalan serius secara bersama. Mungkin ada yang main HP, tapi sinyal yang tak stabil akan membuat mereka bosan sehingga lebih suka mengobrol.
Bersama-sama dan Berbeda
Melihat foto-foto yang diunggah warga Bali di media sosial, kita bisa dengan cepat menyimpulkan betapa bahagianya para umat saat melakukan persembahyangan di Pura Besakih. Mereka berfoto bersama dengan sumringah dengan latar Pura yang megah. Mereka tampak bersama-sama, senyum bersama, capek bersama.
Namun ada saja hal-hal yang membuat kita merasa berbeda. Mungkin memang perbedaan harus diciptakan untuk memperkuat kebersamaan.
Ketika masuk ke lorong di sebelah timur atau sebelah kiri Pura Penataran Agung, ratusan warga numplek. Tanjakan itu macet dipenuhi umat. Kumpulan umat seperti tertumpuk di depan pintu masuk Pura Ratu Pasek. Rupanya, umat sedang mengantre masuk ke Pura yang kerap disebut Pura Padharman Warga Pasek itu.
Di situlah beda itu mulai terasa. Umat yang ngantre dan tertumpuk di depan pintu masuk Pura Ratu Pasek adalah umat Hindu yang selama ini lumrah disebut warga Pasek. Saking banyaknya, mereka terpaksa memenuhi lorong, sehingga umat yang hendak lewat ke tanjakan yang lebih tinggi jadi ikut tertahan.
Seorang berpakaian putih-putih, mungkin panitia karya, mungkin juga seorang pemangku, tampak ikut mengatur lalu-lintas umat. Ia naik ke tepi undakan yang lebih tinggi, lalu bersuara dengan bahasa Bali halus campur Bahasa Indonesia, tapi dengan nada yang cukup keras.
“Semeton Pasek geser akidik ke timur, niki semeton yang lain ten mresidayang lewat,” kata beliau yang berpakaian putih-putih itu berulang-ulang.
Yang merasa warga Pasek pun bergeser ke timur, untuk mengosongkan sedikit jalan bagi umat lain yang Pura Padharman mereka berada di bagian lebih atas. Pakaian mereka yang bergeser dengan pakaian mereka yang lewat ke atas tentu saja sama, canang mereka sama, keben mereka pun tak jauh beda dari segi bentuk maupun warna, tapi mereka berbeda.
Di areal jaba tengah Pura Penataran Agung, segerombolan anak muda seumuran mahasiswa sedang duduk-duduk di tepi bangunan agak panjang. Mereka tampak ngobrol bersama, saling tertawa, saling mengejek khas anak muda. Dua anak muda tiba-tiba datang dan seorang dari mereka langsung berujar, “Ayo, mepamit, kami sudah selesai,” katanya.
“Tunggu dulu, tiga orang belum datang. Tampaknya mereka masih belum bisa sembahyang. Ngantre di Pura mereka,” sahut seseorang.
Bisa ditebak, gerombolan anak muda itu datang bersama-sama ke Pura Besakih, mungkin naik mobil, mungkin konvoi motor. Setelah sembahyang bersama di Pura Penataran Agung, mereka kemudian sempyar, sembahyang di Pura Padharman masing-masing. Ada yang cepat, ada yang lambat, tergantung sedikit-banyaknya umat sembahyang di Pura Padharman mereka.
Anak-anak muda itu tampaknya sangat sabar untuk menunggu kembali saat-saat bersama, setelah sempat secara singkat harus dipisah oleh “sesuatu” yang membuat mereka harus rela berbeda. Perbedaan yang mungkin belum mereka pahami secara mendalam. Tapi mereka tahu bahwa ada sesuatu yang membuat mereka berbeda, setidaknya berbeda tempat sembahyang.
Saya jadi ingat sekitar tahun 1990-an, saya baru saja jadi mahasiswa. Pergi sembahyang bersama teman-teman sekampung dan sebaya ke Pura Besakih. Membawa 2 mobil hasil nge-rentcar di Kuta.
Usai sembahyang di Pura Penataran Agung, kami, kumpulan teman yang sesungguhnya masih punya hubungan keluarga misan-mindon, berpisah sebentar untuk sembahyang ke Pura Padharman masing-masing. Tapi ada seorang teman yang tak tahu ia harus sembahyang di Pura yang mana. Ia bahkan tak tahu kenapa kami harus sembahyang secara terpisah. Saat itu belum ada HP, sehingga ia tak bisa telepon orang tua untuk menanyakannya.
Akhirnya, teman kami itu ikut sembahyang di Pura Ratu Pasek, karena memang sebagian besar dari anggota rombongan kami sembahyang di tempat itu. Ia asyik saja, ikut ngantre dan menikmati kebersamaan dengan gembira.
Di rumah, ketika kami cerita kepada para orang tua tentang teman kami yang tak tahu harus sembahyang di mana sehingga ia ikut sembahyang di Pura Ratu Pasek, sebagian besar orang tua kami hanya tertawa, termasuk orang tua si teman itu.
“Ha ha ha, ia harusnya sembahyang di Pura Padharman untuk Bujangga Wisnawa,” kata orang tua si teman sambil tetap tertawa.
“Apakah itu salah?” kata teman kami kepada orang tuanya.
Orang tua teman kami itu menjawab dengan bijak, “Sembahyang tak ada yang salah, tapi nanti, jika ke Besakih lagi, sembahyanglah di Pura Padharman untuk Bujangga Wisnawa. Jika tak tahu tempatnya, tanyalah orang lain, pasti diberitahu.”
Kami, saat itu, tidak menanyakan alasan kenapa. Orang tua kami juga tak memberi alasan secara panjang lebar, karena mungkin mereka beranggapan bahwa kelak kami akan tahu sendiri. Kami hanya bisa menebak, untuk saat itu, para orang tua hanya ingin melihat kami (yang masih punya hubungan misan-mindon ini) selalu rukun bersama, tanpa harus hirau pada sesuatu yang membuat kami merasa berbeda. (T)