3 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Tangkil” ke Pura Besakih – Ketika Bersama, Ketika Berbeda…

Made Adnyana OlebyMade Adnyana Ole
February 2, 2018
inEsai

Foto: FB/Sujana Kenyem

94
SHARES

Sejak awal harus ditegaskan, tulisan ini bukan bicara soal agama dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Tulisan ini semata hanya renungan soal hubungan antar-manusia yang secara kebetulan hidup di Bali.

TANGKIL, maturan, mebakti, atau sembahyang ke Pura Besakih di wilayah Karangasem, Bali, pada saat pujawali, semisal Karya Ida Betara Turun Kabeh yang puncaknya berlangsung pada purnama kadasa, tak ubahnya seperti momentum penting untuk “bepergian bersama-sama”. Bersama keluarga kecil atau keluarga besar, bersama warga desa pakraman, bersama teman kantor, bersama teman kuliah, bahkan bersama sekeha tuak (kelompok peminum tuak).

Jarang kita temukan seseorang, naik motor atau naik mobil, berpakaian adat lengkap, serta membawa keben berisi canang, dupa dan bunga, jelang-jelong sendirian ke Pura Besakih. Kalau pun ada, mungkin mereka umat yang berasal dari sekitar Pura, umat yang sudah biasa keluar masuk Pura seperti keluar masuk rumah sendiri.

Umat biasanya datang bersama-sama, berombongan, dengan satu, atau dua, atau lebih banyak mobil. Atau naik bus besar. Atau banyak juga remaja bawa sepeda motor, konvoi bersama-sama dengan jumlah puluhan sepeda motor, sembari sesekali menggeber gas dengan suara knalpot yang agak sangar.

Keluarga kecil bawa mobil kecil. Keluarga besar bawa mobil agak besar. Warga desa, atau rombongan anggota koperasi, pengurus LPD plus keluarga plus pengurus adat, mungkin bawa bus. Itulah mungkin yang menyebabkan mobil-mobil agak besar, semacam Kijang, Avanza, Xenia, APV, dan sejenisnya laris-manis di Bali. Tujuannya agar ke Pura bisa bersama-sama dengan mengangkut anak-istri, orang tua, mertua, keponakan, bahkan tetangga dekat.

Bayangkan jika semua warga Bali hanya punya Lamborgini atau Ferrari, mungkin parkir di kawasan Pura Besakih akan penuh hingga ke tepi jalan desa-desa dekat perbatasan Klungkung-Karangasem atau perbatasan Bangli-Karangasem. Karena setiap satu atau dua orang bisa bawa mobil sendiri. Anak-anak bawa mobil sendiri, orang tua bawa mobil sendiri.

Bersama dalam Perjalanan

Momen bersama-sama dalam perjalanan bagi warga di Bali tak banyak terjadi dalam perjalanan plesir atau berwisata. Mereka lebih banyak melakukannya dalam upacara adat atau agama, semisal meajar-ajar, ngateh anten (mengantar pengantin), dan sembahyang bersama-sama ke sebuah Pura yang jauh dari rumah. Jika pun belakangan warga Bali memiliki kesadaran untuk berwisata bersama keluarga, mereka juga menggabungkannya dengan kegiatan tirtayatra (perjalanan sembahyang ke berbagai Pura). Apalagi Pura yang dituju juga berada di kawasan wisata, lumayan tak dimintai tiket masuk seperti turis.

Bersama dalam perjalanan, mungkin hanya sejam, mungkin dua jam, mungkin juga sampai 6 jam jika umat berasal dari Jembrana atau Buleleng, apalagi dapat bonus macet lalu-lintas, adalah hal yang menyenangkan.

Betapa asyiknya bepergian bersama-sama. Bersama dalam satu mobil dalam waktu yang cukup lama. Di rumah, sebuah keluarga kecil, mungkin saja bisa bersama-sama dalam 24 jam sehari. Tapi anggotanya kadang sibuk sendiri-sendiri. Tapi di dalam mobil dalam perjalanan, tak ada yang bisa dilakukan selain ngobrol kangin-kauh bersama, atau bahkan bisa menyelesaikan persoalan serius secara bersama. Mungkin ada yang main HP, tapi sinyal yang tak stabil akan membuat mereka bosan sehingga lebih suka mengobrol.

Bersama-sama dan Berbeda

Melihat foto-foto yang diunggah warga Bali di media sosial, kita bisa dengan cepat menyimpulkan betapa bahagianya para umat saat melakukan persembahyangan di Pura Besakih. Mereka berfoto bersama dengan sumringah dengan latar Pura yang megah. Mereka tampak bersama-sama, senyum bersama, capek bersama.

Namun ada saja hal-hal yang membuat kita merasa berbeda. Mungkin memang perbedaan harus diciptakan untuk memperkuat kebersamaan.

Ketika masuk ke lorong di sebelah timur atau sebelah kiri Pura Penataran Agung, ratusan warga numplek. Tanjakan itu macet dipenuhi umat. Kumpulan umat seperti tertumpuk di depan pintu masuk Pura Ratu Pasek. Rupanya, umat sedang mengantre masuk ke Pura yang kerap disebut Pura Padharman Warga Pasek itu.

Di situlah beda itu mulai terasa. Umat yang ngantre dan tertumpuk di depan pintu masuk Pura Ratu Pasek adalah umat Hindu yang selama ini lumrah disebut warga Pasek. Saking banyaknya, mereka terpaksa memenuhi lorong, sehingga umat yang hendak lewat ke tanjakan yang lebih tinggi jadi ikut tertahan.

Seorang berpakaian putih-putih, mungkin panitia karya, mungkin juga seorang pemangku, tampak ikut mengatur lalu-lintas umat. Ia naik ke tepi undakan yang lebih tinggi, lalu bersuara dengan bahasa Bali halus campur Bahasa Indonesia, tapi dengan nada yang cukup keras.

“Semeton Pasek geser akidik ke timur, niki semeton yang lain ten mresidayang lewat,” kata beliau yang berpakaian putih-putih itu berulang-ulang.

Yang merasa warga Pasek pun bergeser ke timur, untuk mengosongkan sedikit jalan bagi umat lain yang Pura Padharman mereka berada di bagian lebih atas. Pakaian mereka yang bergeser dengan pakaian mereka yang lewat ke atas tentu saja sama, canang mereka sama, keben mereka pun tak jauh beda dari segi bentuk maupun warna, tapi mereka berbeda.

Di areal jaba tengah Pura Penataran Agung, segerombolan anak muda seumuran mahasiswa sedang duduk-duduk di tepi bangunan agak panjang. Mereka tampak ngobrol bersama, saling tertawa, saling mengejek khas anak muda. Dua anak muda tiba-tiba datang dan seorang dari mereka langsung berujar, “Ayo, mepamit, kami sudah selesai,” katanya.

“Tunggu dulu, tiga orang belum datang. Tampaknya mereka masih belum bisa sembahyang. Ngantre di Pura mereka,” sahut seseorang.

Bisa ditebak, gerombolan anak muda itu datang bersama-sama ke Pura Besakih, mungkin naik mobil, mungkin konvoi motor. Setelah sembahyang bersama di Pura Penataran Agung, mereka kemudian sempyar, sembahyang di Pura Padharman masing-masing. Ada yang cepat, ada yang lambat, tergantung sedikit-banyaknya umat sembahyang di Pura Padharman mereka.

Anak-anak muda itu tampaknya sangat sabar untuk menunggu kembali saat-saat bersama, setelah sempat secara singkat harus dipisah oleh “sesuatu” yang membuat mereka harus rela berbeda. Perbedaan yang mungkin belum mereka pahami secara mendalam. Tapi mereka tahu bahwa ada sesuatu yang membuat mereka berbeda, setidaknya berbeda tempat sembahyang.

Saya jadi ingat sekitar tahun 1990-an, saya baru saja jadi mahasiswa. Pergi sembahyang bersama teman-teman sekampung dan sebaya ke Pura Besakih. Membawa 2 mobil hasil nge-rentcar di Kuta.

Usai sembahyang di Pura Penataran Agung, kami, kumpulan teman yang sesungguhnya masih punya hubungan keluarga misan-mindon, berpisah sebentar untuk sembahyang ke Pura Padharman masing-masing. Tapi ada seorang teman yang tak tahu ia harus sembahyang di Pura yang mana. Ia bahkan tak tahu kenapa kami harus sembahyang secara terpisah. Saat itu belum ada HP, sehingga ia tak bisa telepon orang tua untuk menanyakannya.

Akhirnya, teman kami itu ikut sembahyang di Pura Ratu Pasek, karena memang sebagian besar dari anggota rombongan kami sembahyang di tempat itu. Ia asyik saja, ikut ngantre dan menikmati kebersamaan dengan gembira.

Di rumah, ketika kami cerita kepada para orang tua tentang teman kami yang tak tahu harus sembahyang di mana sehingga ia ikut sembahyang di Pura Ratu Pasek, sebagian besar orang tua kami hanya tertawa, termasuk orang tua si teman itu.

“Ha ha ha, ia harusnya sembahyang di Pura Padharman untuk Bujangga Wisnawa,” kata orang tua si teman sambil tetap tertawa.

“Apakah itu salah?” kata teman kami kepada orang tuanya.

Orang tua teman kami itu menjawab dengan bijak, “Sembahyang tak ada yang salah, tapi nanti, jika ke Besakih lagi, sembahyanglah di Pura Padharman untuk Bujangga Wisnawa. Jika tak tahu tempatnya, tanyalah orang lain, pasti diberitahu.”

Kami, saat itu, tidak menanyakan alasan kenapa. Orang tua kami juga tak memberi alasan secara panjang lebar, karena mungkin mereka beranggapan bahwa kelak kami akan tahu sendiri. Kami hanya bisa menebak, untuk saat itu, para orang tua hanya ingin melihat kami (yang masih punya hubungan misan-mindon ini) selalu rukun bersama, tanpa harus hirau pada sesuatu yang membuat kami merasa berbeda. (T)

Tags: balibesakihKeluargakemanusiaan
Previous Post

Iwan Fals, Rosana, dan Jalan Sederhana Menuju Bahagia – Catatan Kecil dari Munas Oi di Lampung

Next Post

Pahlawan Bertopeng Beha

Made Adnyana Ole

Made Adnyana Ole

Suka menonton, suka menulis, suka ngobrol. Tinggal di Singaraja

Next Post

Pahlawan Bertopeng Beha

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Kita Selalu Bersama Pancasila, Benarkah Demikian?

by Suradi Al Karim
June 3, 2025
0
Ramadhan Sepanjang Masa

MENGENANG peristiwa merupakan hal yang terpuji, tentu diniati mengadakan perhitungan apa  yang  telah dicapai selama masa berlalu  atau tepatnya 80...

Read more

Seberapa Pantas Seseorang Disebut Cendekiawan?

by Ahmad Sihabudin
June 2, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

SIAPAKAH yang pantas kita sebut sebagai cendekiawan?. Kita tidak bisa mengaku-ngaku sebagai ilmuwan, cendekiawan, ilmuwan, apalagi mengatakan di depan publik...

Read more

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Terong Saus Kenari: Jejak Rasa Banda Neira di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Terong Saus Kenari: Jejak Rasa Banda Neira di Ubud Food Festival 2025

ASAP tipis mengepul dari wajan panas, menari di udara yang dipenuhi aroma tumisan bumbu. Di baliknya, sepasang tangan bekerja lincah—menumis,...

by Dede Putra Wiguna
June 3, 2025
Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025

UBUD Food Festival (UFF) 2025 kala itu tengah diselimuti mendung tipis saat aroma rempah perlahan menguar dari panggung Teater Kuliner,...

by Dede Putra Wiguna
June 2, 2025
GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori
Panggung

GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori

MALAM Itu, ombak kecil bergulir pelan, mengusap kaki Pantai Lovina dengan ritme yang tenang, seolah menyambut satu per satu langkah...

by Komang Puja Savitri
June 2, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co