KAMIS, 27 April malam, dua buah lakon telah dimainkan oleh Teater Kampus Seribu Jendela, Undiksha, serangkaian Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya. Mereka memainkan naskah “Sepi” dan “Pidato Gila”. Jika Maret lalu, kita disuguhi pentas dari bapak ibu peteater kawakan seperti Putu Satriya Koesuma,Hardiman Adiwinata,Kadek Sonia Piscayanti, dan Luh Arik Sariadi, pada Kamis malam itu, kawan-kawan muda kita, menunjukan kebolehannya.
Pentas “Sepi” dimainkan oleh Ririn Purnama Sari dan disutradarai oleh Gede Dharma Wijaya. Menceritakan tentang seorang anak yang ditinggal mati oleh ayahnya. Sang anak yang frustasi ini, kemudian meminta bantuan dokter untuk mentranspalasi kemaluan ayahnya untuk dipasang di kepalanya sendiri.
Sedangkan pentas “Pidato Gila” dimainkan oleh Ida Ayu Fortuna Ningrum dan disutradarai oleh Yusna Safitri, menceritakan tentang seorang gila yang berpidato tentang hal-hal gila di dunia ini. Isi pidato dengan segala logika terbalik yang disampaikannya, membuat kita merenungi perihal norma dan nilai yang melekat pada masing-masing makhluk hidup di dunia ini.
Di tengah panggung yang minimalis, dengan kursi, properti seadanya, dan sayup-sayup riuh mahasiswa yang keluar kelas tanda jam kuliah malam berakhir, suguhan pentas malam itu nampak sederhana. Namun, begitu terasa, ada bara yang diam-diam memercik di setiap laku yang ditunjukkan.
Adik-adik ini, yang seharinya saya tahu hanya menjadi pendengar, peserta, pengisi ruang kosong belakang panggung setiap pentas kakak mereka, membuat saya tercengang. Mereka berhasil menunjukan laku akting yang begitu “manusiawi”. Laku akting, yang oleh kawan seumuran mereka kebanyakan, ditinggalkan demi mengejar estika baru, tawaran baru, bentuk baru, wacana baru, yang kadang-kadang, sejatinya membuat sebagian dari mereka, tak lagi mengenal naskah, bahkan tubuh dan pikiran mereka sendiri.
Adik-adik ini, Fortuna dan Ririn, tampak sangat mengenal dirinya masing-masing. Bermain sangat rileks, santai, tanpa tedeng aling-aling. Tak ada upaya “pemperbesar” tubuh, sebagaimana yang tampak pada aktor-aktor yang baru berteater.
Saya tak menyaksikan sosok panggung dalam setiap laku yang mereka bawakan. Saya juga tak menyaksikan “diri mereka sendiri”. Tokoh yang mereka bawakan, hadir begitu saja di hadapan saya. Sebagaimana biasanya kita bertemu dengan orang baru dalam kehidupan sehari-hari. Berjumpa, berkenalan, berteman, dan tahu-tahu saja menjadi akrab, dekat,dan menjadi bagian penting dalam hidup kita.
Saya benar-benar dibuat penasaran, bagaimana mereka akan berkembang setelah ini. Tentu, hal ini tak bisa dilepaskan dari konsistensi Teater Kampus Seribu Jendela untuk menggelar pertunjukan selanjutnya.
Luar daripada itu, adalah sebuah optimisme yang juga tak kalah menarik untuk didiskusikan, terutama dalam konteks Kongres Teater yang rencananya akan diselenggarakan oleh kawan-kawan peserta Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya. Sejauh mana kehadiran teater kampus dan teater sekolah memegang peranan dalam kehidupan teater di Bali?
Acara Festival Monolog perdana di wilayah Denpasar, Jumat 28 April malam, pula akan dibuka oleh teater kampus dan sekolah. Adalah Teater Orok Universitas Udayana yang memainkan naskah “Ibu Sejati” dan Teater Angin SMA N 1 Denpasar memainkan naskah “Mulut”. Acara digelar di Phalam Batik, Jalan W R Supratman No.333, Kesiman Kertalangu, Denpasar Timur, Denpasar, pukul 19.00 Wita.
Kedua teater ini, juga bukan teater kemarin sore. Paling tidak, teater ini pernah urun peran dalam percaturan teater Bali. Teater Orok dengan Pekan Performing Art (PPA) di tahun 2000-an dan pentas-pentas yang yang digelar secara militant telah menyumbangkan (jika tak bisa dibilang gagasan baru), paling tidak menumbuhkan api teater pada generasi yang lahir setelahnya, seperti Teater 108 dan Teater Topeng SMA 2 Denpasar.
Sampai kini, mereka masih (diam-diam) membawa semangat teater Bali pada setiap event teater mahasiswa nasional yang kerapkali digelar di luar Bali. Pun Teater Angin yang sempat menjadi garda depan teater sekolah Bali lewat ajang PSR, MAS, dan event teater lainnya. Yang juga (diam-diam) tetap berproses dengan caranya sendiri.
Tentu, saya bukannya bermaksud menggali kenangan lalu. Sebab dulu, tentu beda dengan sekarang. Zaman akan senantiasa berubah. Sadar atau tidak, kita juga (diam-diam) terus bergerak. Saya sendiri, juga (diam-diam) menuju ke depan. Melupakan kenangan tentang teater sekolah dan teater kampus yang pernah saya alami. Namun apa yang (diam-diam) saya lupakan ini, oleh adik2, serasa diingatkan kembali tentang kehadiran teater kampus dan teater sekolah di Bali. Inilah teater kampus! Inilah teater sekolah! (T)
Singaraja, 2017