BEGITU masuk Desa Banyuatis di Kecamatan Banjar, Buleleng, pada malam Sabtu, 22 April 2017, hati kami (saya, istri dan dua anak) merasa lega. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam dari Kota Singaraja, melewati Seririt, pada malam yang dingin sehabis hujan, kami tiba di dekat lokasi pementasan monolog serangkaian “Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya” di SMAN 1 Banjar, sebuah tempat di punggung perbukitan.
Kami masuk jalan agak kecil menuju sekolah. Di sebuah tikungan kami melihat sejumlah pecalang dan orang lalu lalang, amat ramai. Setengah jalan dipenuhi parkir mobil dan sepeda motor. Kami kesulitan untuk lewat.
“Wah, hebat. Segini banyak orang nonton monolog?” pikirku.
Kami berpikir, kami sudah tiba di lokasi pementasan. Ternyata belum. Keramaian yang kami temui itu ternyata turnamen bola voli antar kampung. Kepada pecalang kami bertanya, di mana SMAN 1 Banjar, dan pecalang memberi tahu: “Lurus, Pak. Terus saja ke bawah, nanti ada jalan kecil belok kanan menuju sekolah!”
Kami terus. Setelah melalui tikungan yang menurun kutemui plang nama sekolah. Kami belok kanan, masuk jalan lurus di kanan-kiri mungkin sawah, mungkin kebun, mungkin hanya tanah kosong. Tak jelas terlihat pada malam itu.
Kami parkir, dan langsung menuju halaman sekolah. Di situ ada sebuah stage terbuka dengan backdrop gambar mencolok lambang sekolah. Sungguh, kami disergap perasaan aneh: tiba di sebuah sekolah di sebuah desa, pada malam hari, sehabis hujan. Bukan untuk belajar, bukan untuk mengajar, tapi menonton pementasan monolog. Halaman masih terasa basah.
Di panggung terbuka seorang siswa perempuan, seorang guru perempuan, dan seorang guru laki-laki, secara bergiliran mementaskan monolog yang semuanya karya Putu Wijaya. Di halaman kursi berjajar. Abak-anak sekolah duduk di atasnya, memandang dengan setia, seperti memandang guru yang sedang mengajar di depan kelas. Mereka kadang tertawa, bisik-bisik, kadang di bagian belakang ada ribut kecil.
Intan Purnama Dewi, siswa perempuan itu, memainkan naskah monolog Kartini 1. Di sela udara dingin ia begitu percaya diri memainkan peran seorang ayah, ibu dan anak perempuan bernama Ana. Kisahnya tak jauh-jauh dari tradisi sekolahan, perayaan Hari Kartini.
Saat perayaan, Ayah melarang anaknya ikut-ikutan merayakan Hari Kartini. Dengan dibantu topeng untuk peran Ibu dan Ana, Intan Purnama Dewi terlihat menguasai cerita, permainan kata-kata, dan karakter tokoh dengan baik. Meski tata lampunya sederhana, kostum pun amat sederhana, siswa perempuan yang pentas pertama itu tampak berhasil membuat penonton (yang sebagian besar teman-temannya sendiri) kehilangan rasa dingin sehabis hujan.
Suasana terasa makin hangat ketika seorang guru Rima Febriana, S.Sn., naik panggung dengan naskah Kartini 2. Guru pengajar kesenian itu memakai pola akting gerak tari, karena ia memang seorang penari yang baik. Rima memainkan dengan apik tokoh anak, ayah dan ibu.
Setiap tokoh diberikan gerak berbeda oleh Rima. Sesekali ia membuat gerakan pose mimik beberapa detik sehingga kelucuan ekspresi tokohnya memberi hiburan komikal pada penonton. Penonton beberapa kali tertawa, sehingga hujan yang sempat mengguyur halaman asri sekolah itu pun sudah terlupakan.
Monolog ketiga naik panggunglah Gde Seen, seorang guru yang selama ini dikenals ebagai filmmasker. Ia memainkan naskah “Guru”. Dibantu figuran anak dan ibu, Gde Seen berhasil dengan baik memerankan tokoh ayah yang menghasut anaknya agar jangan bercita-cita jadi guru.
Gde Seen tanpaknya tak banyak mengolah akting. Ia seakan bermaian seperti dirinya sendiri dengan apa adanya. Justru karena itu, karakter ayah yang dimainkan menjadi sangat wajar, orisinal, dan alami.
Dengan gaya yang sungguh tak dibuat-buat ia dengan logat khas seorang ayah melontarkan ejekan-ejekan terhadap guru yang tak akan pernah kaya. Kata-kata yang meluncur secara natural itu cukup membuat penonton hanyut dalam pementasan, tergelitik dan kadang tertawa ngakak.
Putu Satria Kusuma, dramawan penggagas festival itu, mengatakan penampilan tiga monolog dari SMAN 1 Banjar ini patut dipuji habis. Kesungguhan penyelenggaraan, kehadiran penonton yang cukup banyak, dan dukungan guru-guru adalah awal yang bagus untuk kembali menghidupan seni teater dan apresiasi sastra sekolah yang belakangan mulai melempem. (T/bantuan data Putu Satria)