Cerpen: Raudal Tanjung Banua
SELEPAS sholat tahajud di sepertiga malam, Nenek Syaodah mendengar keok ayam ribut di kandang. Meski sudah tua, telinganya tetap awas dan waspada. Hanya saja ia belum bisa memastikan apakah bunyi krosok di tanah, lalu suara keok ayam, itu disebabkan pencuri atau musang.
Kalau mendengar bunyi di tanah lantaran gesekkan kaki diseret, sepertinya ini langkah orang, si pencuri; namun menyimak halusnya gerakan di kandang mungkin ini musang. Tapi di tempat ia tinggal sudah lama musang punah, sejak pohon bambu dan pohonan di pinggir sungai habis ditebangi. Atau ular?
Dulu, waktu suaminya masih hidup, pernah mereka mendapati seekor ular kembang bergelung dalam kandang, dan segera dapat ditangkap seorang pawang. Tapi, sebagaimana musang, juga buaya, di Sungai Ijogading, ular berukuran besar juga sudah tak pernah ada lagi. Jadi dapat dipastikan pencuri sedang beraksi.
Apakah Nenek Syaodah akan berteriak membangunkan tetangga? Dia memang sendirian tinggal di rumah panggung-nya yang berusia tak kurang seratus tahun tapi masih kukuh berdiri itu. Anak-cucunya tinggal di kampung sebelah dalam rumah beton yang baru.
Jadi, apakah ia akan minta bantuan pada tetangga? Tak. Menyalakan senter saja ia tak akan. Padahal ia bisa saja menyorotkan senter dari atas melalui jendela dapur, maka yang beraksi di kandang akan terlihat terang-benderang. Itu cara gampang mengetahui wajah si pencuri.
Setiap malam Nenek Syaodah sholat tahajud dalam waktu yang terbaik, sepertiga malam. Dan ia akan melanjutkan dengan mendaras zikir serta doa-doa munajat yang hikmat hingga masuk waktu subuh. Apakah dengan keteguhan iman seperti itu ia akan membuat seorang pencuri merasa malu dengan menyenteri wajahnya? Atau membuat si pencuri digebuki orang sekampung karena teriakannya? Tak. Tidak akan.
Kasihan dia yang mencuri karena harus mencuri. Sebab mungkin tak ada lagi akal yang bisa digunakan untuk mengatasi keadaan. Barangkali ia dan keluarganya sedang lapar, tak punya uang untuk membeli apa-apa yang sekarang mahal. Cara terbaik adalah membiarkan si pencuri mengambil ayam-ayam di kandang. Jika ia pencuri yang kelaparan, pastilah ia akan mengambil sebatas yang bisa membuatnya kenyang. Jika ia pencuri yang membutuhkan uang untuk membeli kebutuhan anak-anaknya, ia pasti juga bisa memperkirakan seberapa yang perlu dibawanya pulang.
Nenek Syaodah yakin sudah.
Tapi tiba-tiba ia ingat induk ayam kesayangannya, si Pelor, yang sedang mengeram di sudut kandang. Terbit keraguan Nenek Syaodah untuk tidak bertindak, menyelamatkannya. Ya, induk ayam berwarna kelabu terang itu ia sebut si Pelor karena telurnya banyak, seolah ditembakkan begitu saja dari perutnya, dan setiap telur dalam eramannya menetas dengan baik menurunkan berpasang-pasang anak ayam hingga tumbuh berkembang-biak. Bagaimana jika ayam kesayangan itu digasak juga oleh si pencuri?
Maka muncullah keinginan Nenek Syaodah untuk mengingatkan si pencuri di kandang, di bawah kolong rumah.
“Jangan kau ambil induk ayam yang mengeram, Mat,” kata Nenek Syaodah membuka percakapan, sekaligus memberi peringatan. “Mat” yang ia maksud adalah “Amat”, panggilan setiap anak lelaki, tua-muda, di Kampung Loloan, Bali Barat.
Hening. Tak ada jawaban. Bahkan suara krosok-krosok pun hilang.
“Mat, o, Mat! Kau masih di kandang? Induk di sudut tu sedang mengeram. Kasihan nanti telur-telurnya jadi busuk tak menetas,” katanya lagi, dengan logat Melayu-nya yang kental. Kampung Loloan memang memiliki warisan bahasa Melayu leluhur dari Trengganu.
Di luar dugaan, ada jawaban terdengar. Suara laki-laki yang sengaja diubah dengan cara membuat dengung lewat hidung—semacam idgham bighunnah. Sebagai guru mengaji, Nenek Syaodah paham cara itu mengubah penekanan suara dan cocok untuk penyamaran. Toh Nenek Syaodah tetap bisa menangkap maksudnya.
“Ndak, Mak, yang mengeram ndak awak sentoh.”
“Yang terlalu kecil sebaiknya juga jangan dibawa, Mat.”
“Ndak, Mak, biarlah ia besar…”
“Jangan banyak-banyak beri bawang, Mat, kasihan ayamnya bisa pusing,” Nenek Syaodah tahu bahwa dengan menyebar aroma bawang, ayam-ayam tak akan bersuara ketika seorang pencuri menangkapnya.
“Sedikit saja ni, Mak, supaya tak ribut saja.”
“Kau bawa sarung?”
“Iya, Mak. Bawa karung juga. ”
“Nah, bungkus baik-baik dalam sarung, jangan sampai bergerak-gerak ntar orang-orang tahu. Jangan sampai sarungmu kena kotorannya, tak bisa buat sembahyang ntar. Najis.”
“Ada karung pupuk, Mak, sudah disiapkan.”
“Jangan pakai itu. Nanti kau jumpa dengan orang ke masjid, orang akan bertanya bawa apa. Lagian ayamnya bisa mati sesak nafas.”
“Oiya, Mak, Amat masukkan sarung saja kalau begitu.”
“Cepatlah. Sudah subuh.”
Lalu hening. Suara ayam di kandang diam. Suara krosok diam. Tak lama, bergemalah suara azan dari Masjid Baitul Qodim, masjid tertua di Loloan. Lalu disambut masjid dan mushala lain sepenuh kampung.
(Itulah yang diceritakan Pak Malanca—tetangga Nenek Syaodah—ketika kami duduk-duduk di warung kopi dan melihat di televisi seorang koruptor kakap digiring turun dari pesawat. Seperti melewati karpet merah, si korputor yang sudah lari ke luar negeri selama tiga belas tahun itu, disambut Jaksa Agung serta dikawal langsung Kepala BIN. Apakah setelah berfoto dan tersenyum-senyum, mereka juga bercakap-cakap? Apakah yang mereka percakapkan? Tidak ada yang tahu. Juga kami yang terheran takjub malam itu!). (T)
Catatan: – Cerpen ini pernah dimuat Lombok Post tahun 2016, tanggal dan bulan lupa. – Paragraf terakhir boleh dibaca, boleh juga tidak.