SAYA melihat melalui laman facebook, sejumlah teman saya dari Singaraja sedang berada di Lampung. Dari foto-foto yang saya lihat saya yakin mereka sedang berbahagia. Mereka tersenyum dan wajahnya menunjukkan mereka sedang bersiap memperjuangkan sesuatu yang penting, mungkin perjuangan untuk Nusa dan Bangsa, mungkin juga dibarengi dengan tujuan pengembangan diri mereka sendiri.
Penting? Tentu saja. Mereka sedang mengikuti Musyarawarah Nasional (Munas) Oi VI, 21-23 April 2017. Apa itu Oi? Jangan cerewet. Tak baik jadi orang cerewet saat melihat orang lain sedang bergembira, bersemangat dan tentu saja berbahagia.
Oi memang sebuah ormas nasional yang pengurus dan anggotanya sebagian besar (untuk tidak menyebut semuanya) adalah penggemar penyayi dan tokoh nasional Iwan Fals. Tapi saya tahu, para penggemar Iwan Fals yang kumpul di Lampung itu bukan sedang memuja-muja Iwan Fals, bukan juga sedang memperjuangkan Iwan Fals, misalnya untuk menjadi Presiden. Bukan.
Awalnya, memang, mereka disatukan oleh naluri fanatisme terhadap lagu-lagu Iwan Fals, lalu dikuatkan lagi oleh ketokohan Iwan Fals, namun kemudian mereka direkatkan oleh hal-hal yang jauh lebih panjang dan lebih lebar dari sekadar urusan musik dan senang-senang, yakni niat bersama memperbaiki Indonesia melalui aksi sosial, perbaikan lingkungan dan penyebaran nilai-nilai kemanusiaan.
Saya menyebutkan dengan istilah fanatisme panjang-lebar, tentu untuk membedakan dengan istilah fanatisme sempit. Fanatisme sempit, kita tahu, sering digunakan untuk memberi cap pada seseorang yang mengidolakan selebritis atau tokoh tertentu secara membabi-buta. Si selebritis pakai cukuran cepak, sang fans ikutan cepak. Si selebritis pakai lipstick ungu karena dia janda, eh, si penggemar ikut, padahal masih perawan ting-ting. Di sisi lain banyak juga selebritis yang menikmati “kesetiaan” para penggemarnya dengan menunjukkan fanatisme semacam itu.
Fans Iwan Fals jauh dari kesan seperti itu. Meski pun mereka memiliki fanatisme yang kuat terhadap Iwan, namun jangkauannya tidaklah sesempit urusan lipstick atau model cukuran rambut. Fanatisme mereka melebar ke urusan yang lebih besar. Bukan lagi urusan mode dan trend terhadap tubuh, melainkan jauh kepada urusan kemanusiaan.
Tentu saja karakter penggemar semacam itu tidak tercipta dengan sendirinya. Iwan Fals bersama istrinya, Rosana, turut serta membentuk karakter penggemar dengan fanatisme panjang-lebar seperti itu. Iwan dan sang istri membentuk Oi. Programnya, salah satu, memang menularkan semangat berkarya di bidang musik. Tapi program lain jauh lebih dianggap penting, yakni menularkan obsesi-obsesi luhur Iwan Fals terhadap perbaikan alam dan lingkungan, perjuangan sosial, dan peningkatan sumber daya manusia.
Band Kosong Satu
Oktober 2016, Iwan Fals menularkan secara nyata obsesi luhurnya kepada anggota Oi Bali di Kota Singaraja. Dalam rangkaian acara Tour Silaturahmi Oi, Iwan bersama pasukan BPP Oi menggelar berbagai kegiatan bertajuk Jaga Bumi, mulai dari bersih-bersih pantai, ngobrol bareng, hingga konser musik.
Iwan membagi pemikirannya secara alami dengan ngobrol di warung, duduk bersama penggemar di mana saja, sekaligus ikut melakukan apa yang dilakukan pengemarnya.
Di tengah guyub itulah Iwan mendengar ada Band Oi di Singaraja yang selama ini pentas dengan membawakan lagu-lagu Iwan Fals. Sebagai selebritis Iwan tentu senang, namun sebagai seorang tokoh yang bukan sekadar selebritis, ia kemudian memberi pengertian: bahwa Ormas Oi dibentuk untuk mengembangkan sedalam-dalamnya potensi diri dari masing-masing anggota Oi. Jadi, anggota Oi tidak harus meniru Iwan Fals. Tak harus membawakan lagu-lagu Iwan Fals. Jika itu dilakukan, maka kreativitas akan mandeg, dan potensi diri anggota Oi tak akan berkembang.
Sikap Iwan Fals itu sebagai satu bukti penting betapa ia adalah tokoh yang tak egois, tak suka memanfaatkan penggemarnya sendiri, dan sekaligus tak berjarak dengan penggemar. Ia punya visi jauh ke depan untuk mengembangkan potensi dan karakter masing-masing orang-orang. Tujuannya sudah pasti, Iwan ingin melihat anggota Oi berkembang melebihi dirinya sendiri.
Dengan begitu, Band Oi akhirnya berubah menjadi Band Kosong Satu atau Kosong Satu Band. Nama Kosong Satu tentu merupakan reinkarnasi dari Oi. Jika diangkakan, 01 tentu saja masih bisa dibaca seperti kata Oi.
Petuah Iwan Fals sungguh dicerna dengan baik. Band Kosong Satu, meski sesekali masih membawakan lagu Iwan Fals (misalnya karena diminta oleh penggemarnya), kini band yang mengusung tema Pop Rock itu menunjukkan karakter matang, mandiri, dan punya keinginan terus untuk berubah menjadi lebih baik.
Band ini digawangi lima personil yang terdiri dari Andik (vokal), Angga Pratangga (gitar), Agung Indrayana (gitar), Dedy Yastika(bass) dan Ojes (Drum). Dan mereka sepakat mengusung lagu berbahasa Bali dengan tetap mempertahankan cirri-ciri modern dan kontemporer dalam musiknya.
Band ini punya potensi besar untuk maju dan mengembangkan diri sebagaimana spirit yang ditular Iwan Fals. Apalagi personil band ini sudah cukup lama berkecimpung dalam dunia musik, seperti Angga yang merupakan gitaris blues yang pernah melanglang dalam hiruk-pikuk dan lalu-lintas permusikan di ibukota, bahkan pernah bergabung dalam manajemen dengan label nasional ternama di Jakarta.
Single perdana Kosong Satu berjudul “Jak Mekejang Menyama” yang menceritakan tentang pesan kekompakan sebagai mahkluk sosial untuk menciptakan hidup yang harmonis. Diharapkan dengan karya-karya yang mereka gagas dapat memberikan warna serta meramaikan belantika Musik di Bali.
Dengan pengalaman dan semangat yang terus hidup, Kosong Satu bisa jadi akan melanglang sebagai band dengan karakter yang kuat.
Jika suatu kali Iwan Fals sempat menonton Kosong Satu, ia pasti senang. Karena ia akan melihat betapa visi Oi sudah dijalankan dengan benar, yakni visi untuk mengembangkan kebudayaan daerah (bahasa Bali), sekaligus visi untuk mengembangkan musik nasional, sekaligus juga visi untuk mengembangkan potensi emas di masing-masing anggota Oi.
Selamat, Kosong Satu. Selamat bermunas teman-teman Oi di Lampung. (T)