Cerpen: Ferry Fansuri
PAGI ini seperti hari sebelumnya, aku selalu menikmati secangkir kopi hitam racikan dari biji Gayo pemberian dari seorang teman. Gula kubiarkan mengendap di dasar tanpa kuaduk agar rasa kopi terasa nikmat ditemani pisang goreng istimewa buatan istri tercinta.
Kubuka koran pagi yang tersaji di mejaku, kulihat berita korupsi di mana-mana. Pejabat negara tertangkap basah menerima gratifikasi, kasus suap triyulanan, aduh, di mana-mana berita korupsi. Kututup koran, kunyalakan televisi dan tiap channel tak habis-habis membahas berita korupsi. Miris rasanya mendengar jika ada seorang anggota partai atau menteri terkena suap seperti menteri negara sekelas Dulmatin.
Kadang dalam hati ini bertanya kenapa melakukan itu semua? Dulmatin bukan orang yang kelaparan atau kekurangan? Itu sebuah profesi atau hobi baginya?
“Pa, hari ini narik nggak?” Lamunanku buyar saat Kantil, istiku, menegurku.
“Iya, Ma, hari ini seperti biasa kerja,” sahutku
“Sekalian antar si Tarjo sekolah juga yah,” mintanya
Aku hanya mengangguk kepala tanda setuju, kuraih jaket dan helmku yang berwarna hijau. Langsung menuju ke motor matic dan kugandeng anak lanang-ku si Tarjo naik di depan.
“Pa, entar ngebut yah. Karena tahu sendiri kalau pagi daerah Kebayoran Lama itu macet di dekat pasar,” cerocos Tarjo, anakku sambil memakai helmnya.
Tapi aku tak menjawab karena itu sebuah pertanyaan rutinitas, aku hanya menyalakan kontak maticku dan siap membelah kemacetan ibukota.
Hampir setahun ini menggantungkan rejeki dari motor matic ini, wira-wiri antar penumpang, delivery makanan atau antar barang. Yah, benar, ojek online itu pekerjaan lagi happening di jagad raya ini. Semua sarjana dan penggangguran berbondong-bondong mendaftar jadi ojek online. Profesi yang dulu dianggap rendah dan kasar tapi mampu mengurangi angka penggangguran di negara ini. Tinggal pencet sana pencet sini, kemudahan didapat. Kontra-nya dimusuhi opang (ojek pangkalan), supir angkot dan taxi konvensional. Demo sana, ribut dikit terus bentrok, ah, semua ini masalah perut, jika lapar manusia pasti marah dan beringas.
“Pa, sudah sampai. Tarjo turun di gerbang saja, biar Papa langsung narik saja,” kata Tarjo sambil menunjuk pintu gerbang.
Kulihat gerbang itu mulai ditutup oleh satpam sekolah, berbarengan dengan Pak Umar Patek, wali kelas Tarjo, keluar. Sepertinya ia memang menunggu sesuatu atau seseorang, kupikir begitu. Setelah aku menurunkan Tarjo, aku langsung membelokkan maticku untuk menjauh.
“Pak Sarwo, tunggu bentar. Jangan pergi dulu!” Ada kata seru dari ucapan Umar Patek, wali kelas si Tarjo.
Aku hanya mengeryitkan alis, ada apa gerangan? Tumben seorang wali kelas melarang orang tua murid untuk berangkat kerja.
“Mohon waktunya sebentar Pak. Ini tentang Tarjo, ada yang perlu dibicarakan!” ungkapnya.
“Mari, Pak, ke ruangan saya!” Beliau menyilakan aku untuk masuk ruang para guru.
Aku hanya menuruti, mengikuti dan memparkir maticku sambil melirik smartphone-ku. Alert order sudah menyalak, rejeki melayang nih diambil ojek online lainnya. Tak apalah harus meladeni Umar Patek dan juga keinginantahuanku tentang Tarjo. Apa pula yang ia perbuat sampai wali kelasnya menghentikan aku di depan gerbang sekolah.
Kulepas jaket dan duduk di kursi depan meja Umar Patek, memang agak tidak sopan karena aku hanya mengenakan kaos oblong, celana jeans dan sepatu canvas. Biasanya menghadiri acara formal sekolah memakai batik dan sepatu pantofel, aku agak rikuh juga.
“Begini Pak Sarwo, ini tentang anak Bapak!” omongan pertama kali Pak Umar Patek.
“Ada apa, yah, Pak? Anak saya nakal? Berkelahi? Nilainya turun?” Aku langsung nyerocos untuk mencari jawaban tentang rasa penasaranku dari tadi.
“Bukan, Pak. Tarjo anak Bapak itu pintar dan nilai-nilainya di atas temannya,” jawab Umar Patek. “Tapi ada masalah sedikit, Pak. Anak bapak memberikan contekan pada temannya saat ujian karena dijanjikan akan diberikan coklat dan makanan setiap jawaban Tarjo.”
Pak Umar Patek berhenti sebentar.
“Apakah Tarjo tidak dikasih uang saku atau bekal makan, Pak?” Tanya Umar Patek kemudian.
Aku tak menjawab pertanyaan Umar Patek ini, cuma di otak kepalaku berputar-putar kenapa Tarjo berbuat seperti itu. Oleh Kantil, ibunya, selalu ia diberi bekal makan dari rumah dan aku selalu memberikan uang saku cukup buat Tarjo. Biarpun aku hanya tukang ojek online tapi pendapatan tiap hari atau bulannya lumayan hampir sama dengan pegawai kantoran. Tarjo cukup bekal untuk anak seumur 10 tahun seperti dia. Memberikan contekan saat ujian? Hanya cuman gara-gara sogokan coklat?
“Bapak paham kan, hal tersebut terlarang di sekolah dan tidak mendidik anak untuk jujur dalam ujian biarpun itu membantu temannya,” suara Umar Patek menggema di gendang telingaku.
Aku tak menimpali lagi, hanya berjabat tangan dan berpamit untuk pergi bekerja kembali. Pikiranku masih berkecamuk tentang Tarjo, mungkin nanti pas aku jemput sepulang sekolah akan kuajak bicara dari hati ke hati.
***
Hari ini lumayan penghasilan cukup untuk mentraktir Tarjo di warung es krim kesukaannya. Saat kujemput, Tarjo begitu senang, apalagi saat mau ke warung es krim, dia memesan es krim coklat krim bertopping strawberry. Begitu lahap sampai belepotan di mulut serta pipinya, setelah ia menyendok es krim terakhirnya. Aku mulai berkata.
“Nak, tadi aku ketemu wali kelasmu dan berbicara tentang kamu. Katanya kamu memberikan contekan ujian kepada teman-teman karena diiming-iming coklat atau permen?” kubertanya secara halus
“Oh itu, Pa, memang dikasih coklat sama teman-teman dan aku kasih jawabannya,” timpalnya sambil tertawa riang.
“Itu dilarang, Nak, saat ujian kamu tidak boleh mencontek dan memberikan contekan sekalipun itu temanmu. Karena itu harga sebuah kejujuran harus kita junjung tinggi,” cerocosku.
“Iya, Pa, aku tahu itu salah. Tapi Tarjo tetap akan menerima coklat atau permen itu karena Tarjo itu kucing yang suka makan… miaw.. meow… meong,” jawabnya sambil menirukan seorang kucing menjilat-jilat sisa-sisa es krimnya.
Ucapan Tarjo itu mengedor pikiran dan imajinasiku. Jika Tarjo kucing, bukan anak kecil atau manusia apakah dunia ini bisa menerimanya? Sebuah jawaban yang membuatku sepanjang perjalanan aku susah bernapas dan terasa pusing.
Karena selama melintas bundaran Thamrin sampai rumah, ada peristiwa ganjil yang sukar dipercaya. Semua orang yang berlalu lalang di trotoar ada yang berkepala kucing, pria berjas dan berdasi itu juga atau wanita memakai blouse-rok. Semua menjilat tangannya dan bercakap dengan bahasa binatang omnivora tersebut.
Aduh, kenapa mataku ini, aku kucek-kucek untuk memastikan mataku yang sebenarnya kabur karena semua pemandangan berubah. Semua berkepala kucing tapi memang ada yang tidak dan itu segilintir saja. Aneh tapi nyata, apakah aku yang bermimpi?
Saat aku berhenti di lampu merah, aku juga melihat seorang polisi berkepala kucing dan di mulut ada peluit untuk mengatur lalu lintas. Sebelahku ada sopir angkot, di dalamnya ada ibu-ibu setengah baya, cewek berseragam sekolah, pria bersorban dan berjanggut. Semua itu berkepala kucing… aih, kepala ini jadi pening dan hampir mata gelap pingsan.
Setibanya aku di rumah, kutelan dua butir aspirin dan beranjak ke peraduan untuk menghilangkan sakit kepalaku ini. Tak kuhiraukan istri dan anakku, kepala ini terasa berat sekali seperti dihantam berton-ton besi yang merajam otakku dan kuterlelap dalam tidur, berharap keesokkan harinya semua normal kembali.
Terik matahari menembus jendela rumahku dan menusuk ke sela-sela kelopak mataku. Terbangun dari tempat tidurku, semua badan terasa remuk redam bak beraktivitas berat dalam satu hari. Dengan langkah gontai aku menuju ruang tengah, di mana istriku Kantil menyediakan kopi, pisang goreng dan koran pagi untuk sarapan pagiku.
Hari ini terlihat normal kembali, pandangan tidak kabur kembali dan tidak ada penampakan kucing di sekitarku. Begitu santainya aku duduk di kursi malas dan membuka lembar koran pagiku sambil menyeruput gelas kopi.
“Puuff.. huekk.. hueek”
Aku tersedak dan langsung menyembur sisa kopi ke lembaran-lembaran koran yang kubaca. Sangat kaget apa yang kulihat, semua berita korupsi masih ada dan bikin aneh pejabat-pejabat negara itu yang terkena suap atau gratifikasi terpampang dengan kepala kucing.
Kubolak-balik koran itu, semua foto yang dijepret fotografer media massa ini berkepala kucing semua. Dalam sebuah foto ada kerumunan di gedung KPK, itu semua berkepala kucing mulai dari satpam, wartawan, tukang parkir atau juru sita pengadilan tak terkecuali. Dunia terbalik jika ini terjadi, kututup koran pagi dan kulempar ke sudut rumah.
“Gila, negara macam apa ini kenapa semua orang berkepala kucing?” gumamku dalam hati dan tak terasa rasa pening datang menjalar kembali.
Sedikit aku menarik napas dalam-dalam agar oksigen di rongga dadaku terisi penuh dan duduk dengan tenang. Kucoba menyalakan televisi di depan, kupencet tombol channel untuk melihat berita.
Bagitu terkejutnya aku, semua channel nasional menyiarkan berita korupsi besar-besaran. Semua kantor berita memuat headline tentang korupsi yang melanda negeri ini mulai dari lini terkecil sampai aristokrat.
Tampak salah satu channel TV pro pemerintahan ad interim menayangkan live pengadilan menteri negara Dulmatin yang terkena kasus e-KTP berjumlah triyulan rupiah. Pengadilan rakyat itu akan dipimpin oleh hakim yang terhormat, Sarbot, yang terkenal dengan ketegasan dan kejujurannya.
Kupelototi persidangan dan mencari jawaban semua keanehan ini. Dalam sebuah sesi tanya jawab antara hakim Sarbot dan menteri negara Dulmatin.
Hakim Sarbot : Menteri negara Dulmatin, apakah Anda tahu dan sadar dalam persidangan ini duduk di kursi pesakitan itu.
Dulmatin : Tentu yang mulia, saya sadar dan tidak gila. Anda bisa tanyakan psikater yang memeriksa kejiwaan saya.
Hakim Sarbot : Jika Anda memang normal dan tidak mengalami gangguan jiwa seperti yang Anda katakan. Tapi Anda melakukan korupsi dan menerima suap di kasus Anda ini. Anda tahu hukuman bagi para koruptor?
Dulmatin : Yang Mulia terhormat. Semua itu saya memahami dengan benar karena menteri negara mempunyai kewajiban untuk mengerti hukum dan undang-udang yang berlaku di negara ini. Tapi Yang Mulia, hukum itu memang dapat berjalan dengan sempurna jika diterapkan pada seorang manusia yang punya akal pikiran yang sehat. Seperti Anda ketahui Yang Mulia, saya bukanlah manusia tapi seorang kucing gendut yang malas suka makan dan semua orang mengetahui itu semua.
Hakim Sarbot : Hah? Apakah yang anda katakan benar-benar dan tidak mengada-ngada kan, menteri negara Dultamin? Perkataan Anda itu telah disumpah di pengadilan dan jika tidak artinya Anda menghina pengadilan ini. Apakah Anda benar-benar sadar apa yang dikatakan tadi?
Dulmatin : Saya menjawab dengan sesungguhnya Yang Mulia Terhormat… miaw.. meow.. .meong (Dulmatin menjilat lengan baju batiknya dan menggosok tangannya di kepalanya layaknya kucing).
Sekejap Dulmatin berubah menjadi kucing gendut dan digelandang keluar pengadilan.
Keesokan harinya kudengar semua penjara negara telah penuh oleh kucing, dari yang kurus hingga yang gendut.
Dan aku ingat Tarjo, anakku. Aku cemas sekali.
Takengon, Maret 2017