KETIKA banyak orang tenggelam dalam pusaran arus modernisasi, salah satu desa yang terdapat di Klungkung masih tetap melestarikan sebuah tradisi unik sampai saat ini. Tradisi ini dilaksanakan oleh warga Banjar Panti Timrah Desa Paksebali, Klungkung.
Paksebali merupakan sebuah desa yang terletak di sebelah timur Tukad Unda atau sekitar 2 kilometer dari Kota Semarapura. Bagi warga di sana, tradisi ini disebut Dewa Masraman. Bagi wisatawan domestik tradisi ini dinamai Perang Jempana, dan bagi wisatawan Mancanegara tradisi ini disebut Battle of Palanquins. He he he lain pohon lain buahnya, setiap orang bebas memilih dari tiga nama tersebut, disesuaikan dengan susah atau gampang pengucapannya.
Di desa ini warganya masih melestarikan kebudayaan dan senantiasa menunjukkan sikap kebersamaan dan kekeluargaan. Ritual ini dilaksanakan untuk mengiringi upacara piodalan Pura Panti Timbrah yang dilaksanakan setiap 210 hari tepat pada hari Saniscara Kliwon Kuningan, tepatnya pada hari raya Kuningan.
Bermula dari Tugas Jaga Perbatasan
Diketahui keberadaan tradisi Perang Jempana sudah ada sekitar tahun 1500. Tradisi ini dimulai ketika ada sekitar 18 Kepala Keluarga dari Desa Adat Timbrah yang berasal dari Karangasem, melakukan perjalanan bersama dengan Bendesa Adat Bugbug yang pada saat itu diutus untuk menjaga perbatasan Karangasem dengan Klungkung.
Setelah 18 KK tersebut sampai di perbatasan, mereka kemudian menghadap Raja Klungkung. Karena saat itu hubungan Raja Klungkung dengan Raja Karangasem sangat baik, maka Raja Klungkung memberikan 18 KK tersebut tempat tinggal yang berlokasi di Desa Paksebali. Seiring dengan perkembangannya, warga yang awalnya berasal dari Desa Timbrah Karangasem membuat sebuah banjar yang diberi nama Banjar Panti Timbrah.
Setelah membuat banjar lalu warga Banjar Panti Timbrah mendirikan sebuah pura kawitan. Pura kawitan inilah cikal bakal berdirinya Pura Panti Timbrah saat ini, dimana keberadaannya masih dapat kita temui di Jaba (area luar) Pura Panti Timbrah.
Perang Jempana
Pada saat piodalan di Pura Panti Timbrah dilakukan sebuah tradisi ritual yang disebut dengan Tradisi Perang Jempana (Dewa Masraman).Saat penampahan kuningan atau sehari sebelum dilaksanakan tradisi perang jempana ini,warga setempat membuat sebuah penjor. Penjor ini tidak sama seperti penjor masyarakat Bali pada umumnya. Ada perbedaan dari gaya dan ukurannya.
Ukuran penjor ini lebih besar dan terdapat anyaman manuk (burung) pada penjor. Kalau tertiup angin biasanya akan berbunyi krincing krincing yang berasal dari gantungan uang kepeng.
Keesokan harinya, sebelum melaksanakan ritual ini, tahapan pertama yang dilakukan adalah nunas paica. Nunas paica (mohon berkah) adalah prosesi makan bersama yang dilakukan hanya untuk anak-anak TK dan Sekolah dasar sederajat. Anak-anak akan duduk dan makan bersama dirangkaian makanan yang terdiri dari lauk pauk dan nasi yang beralaskan daun pisang berbentuk memanjang.
Setelah nunas paica, barulah dilanjutkan dengan megibung yang dilakukan oleh orang-orang dewasa.Setelah megibung, para pemangku akan mempersiapkan joli dan sarana upacara untuk melanjutkan ritual ketahapan selanjutnya.
Pada Pukul 17.30 (kurang lebih) masyarakat akan berkumpul sambil diiringi oleh suara kul-kul. Dalam tradisi ini setiap orang yang tidak kotor (leteh, cuntaka, atau baru ada keluarga yang meninggal atau melahirkan) diperbolehkan untuk ikut serta dalam tradisi ini. Warga yang berminat untuk ikut diwajibkan menggunakan kamen, saput poleng dan bertelanjang dada khusus untuk pria.
Setelah semua siap, selanjutnya warga akan bersama-sama mengusung joli, anak-anak membawa kober(sejenis umbul-umbul) dan bersama melakukan mesucian di areal pura Taman yang terletak di pinggir sungai Segening. Pada tahapan ini warga mensucikan diri mereka dan mensucikan tiap joli/jempana dan serana upacara lainnya. Para warga masyarakat baik anak-anak, dewasa, pria maupun wanita bersama-sama melakukan persembahyangan di Pura Taman meminta pembersihan diri.
Setelah mesucian selesai, barulah warga bersama-sama mengusung kembali joli/jempana kembali ke Pura Panti Timrah. Pada tahap ini sarana upacara seperti tombak, keris, bendera, lontek poleng (semacam umbul-umbul) dan sarana lainnya terlebih dahulu memasuki area Madya Mandala. Semua sarana tersebut kemudian Ngidar Buwana (berkeliling memutar searah jarum jam) sebanyak tiga kali.
Luapan Terima Kasih
Pada saat yang bersamaan di area nista mandala/area luar pura juga berlangsung tahapan masolah untuk ketujuh joli. Dimana saat ini ketujuh joli tersebut di sambut tarian RejangDewa sebagai manifestasi bidadari. Tarian Rejang Dewa di Pura Panti Timbrah pada umumnya gerakannya sama seperti di tempat lain namun yang membedakan adalah hiasan dikepalanya saja yang diberi tambahan kembang plendo. Setelah tari penyambutan selesai, para dewa yang ditempatkan di atas jempana diberikan banten persembahan atau warga setempat menyebutnya banten pemendak.
Setelah proses masolah dan murwa daksina selesai maka akan dilanjutkan pada puncak ritual Dewa Masraman. Ketika ketujuh joli sudah melakukan murwa daksina sebanyak tiga kali dan para pengusung lontek poleng dan pengusung keris akan memberikan aba-aba untuk melakukan Ngambeng Jempana.
Dari semua tahapan tradisi ini, tahapan Ngambeng Jempana merupakan tahapan yang paling menyedot perhatian ribuan warga masyarakat dan wisatawan yang hadir. Saat itu, ratusan warga yang sudah berada dalam kondisi tidak sadar yang mengusung masing-masing joli/jempana terlibat aksi saling dorong diiringi gong baleganjur. Pertemuan itu secara niskala, sebagai bentuk penghormatan dan rasa luapan terimakasih dan rasa kegembiraan kebahagiaan atas karunia Tuhan yang sudah diberikan dan dinikmati oleh masyarakat.
Setelah upacara perang jempana dihentikan, pemangku memercikkan air suci dan para dewa yang dilambangkan dengan uang kepeng dan benang tridatu dikeluarkan dari jempana dan ditempatkan kembali di tempat khusus dalam pura.
Anak-anak Nunas Paica
Jika dilihat dalam proses persiapan sampai puncak tradisi ini, kita bisa melihat dan mengaitkannya dengan konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan konsep filosofis kebanyakan orang Bali pada umumnya, baik secara individu maupun di dalam kelompok masyarakat. Tri Hita Karana merupakan konsep bagaimana kita menghargai sesama manusia, alam, maupun dengan Tuhan.
Tradisi ini berkaitan erat dengan hal tersebut. Dalam tahapan nunas paica yang dilakukan oleh anak-anak misalnya, makna tahapan ini sebagai pembentukan karakter generasi muda bagaimana berlaku terhadap sesama, menghargai, bermusyawarah dan mengakrabkan diri karena pada saat prosesi ini tidak dibedakan antara anak orang kaya atau anak orang miskin ataupun anak perempuan atau laki-laki.
Semua anak duduk bersama untuk makan. Tidak akan ada perbedaan strata sosial atau ekonomi. Dalam prosesi ini tidak akan dijumpai anak kulit putih/anak kulit hitam yang akan makan sendiri membawa piring. Tidak akan.
Tahapan kedua, mesucian. Masuciansebagai simbol bentuk hubungan manusia dengan alam.Pada saat nunas tirta,tirta yang diambil atau yang ditunas akan dipercikan ke jempanayang berasal dari Pura Taman Segening. Dari sini tentu sangat terlihat betapa eratnya hubungan manusia dengan alam karena terdapat nilai penghormatan manusia kepada alam.
Tahapan ketiga yaitu masolah. Pada tahap ini tercermin nilai ketiga dari konsep Tri Hita Karana yakni hubungan manusia dengan tuhan, dapat dikatakan seperti itu karena pada saat jempana tersebut saling diadu dengan jempana yang lainnya ini memiliki makna suasana kebersamaan di mana di masing-masing jempana yang telah dipercayai sudah didiami oleh Dewa di dalamnya, kini mereka dipertemukan dalam ritual masraman/masolah ini. Masolah adalah sebagai bentuk puja dan puji rasa syukur terima kasih dan bentuk penghormatan manusia dengan Tuhan.
Selain suasana keagamaan yang kental, jika kita menonton atau menyaksikan tradisi ini kita akan melihat bagaimana kehidupan sosial masyrakat disana yang menjunjung konsep menyama braya. Ini terlihat dari kebersamaan dan kekeluargaan yang sangat terasa dari proses persiapan hingga puncak acara. (T)