DI sebuah seminar di sebuah pura di Kelan, Tuban, Kabupaten Badung, ada seorang peserta seminar bercerita dengan polos dan percaya diri bahwa: “Pura Gaduh dulunya tempat atau lokasi terjadinya kegaduhan (keributan), maka didirikanlah di tempat itu Pura Gaduh”.
Sungguh mengagetkan pernyataan yang disampaikan di muka umum itu.
Begitulah, dalam membahas sejarah Bali dan keberadaan bangunan suci peninggalan, juga pembahasan trah dan soroh, sangat berbahaya ‘tebak-tebakan’ dan ‘interpretasi tanpa dasar’ tersebut. Biasanya yang bersangkutan tidak membaca literatur yang cukup, kalaupun membaca, biasanya hanya kutipan atau tidak langsung ke naskah lontar atau prasasti, sehingga informasinya sangat minim.
Situasi ini banyak terjadi, dan ini telah mengaburkan keberadaan sejarah Bali, serta telah banyak ‘memakan korban’.
Pura Gaduh bukanlah tempat membuat kegaduhan atau terjadinya keributan.
Dalam lontar-lontar disebutkan ‘gagaduhan’, lama kelamaan menjadi Pura Gaduh. Etimologi kata ‘Gagaduhan’ adalah ‘Ga+gaduh+an’ artinya‘tempat pemujaan’.
Sebagai contoh, bisa kita lihat pemakaian kata ‘gaduh’dalam lontar berjudul“Aksara Gagaduhan Pande”.Lontar ini berisi tentang aksara yang menjadi pedoman mantra dan puja bagi para pande. “Iki aksarane kagaduh antuk sira pande..,” demikian pembuka lontar ini.
Kata ‘kagaduh’berarti ‘diuncarkan’, ‘dilafalkan’, ‘dibaca-dieja’ sebagaimana mengucapkan mantra’. Asal kata ‘kagaduh’ adalah ‘gaduh’ yang mendapat awalan ‘ka’.
‘Gaduh’ sendiri berasal dari ‘aduh’ yang berarti “berucap, merintih, mengayat-ayat, dan mengadu”. Dalam hal ini berarti ‘mengaduh’. Mengadu dan mengaduh dalam konteks spiritual Bali adalah mengadu kepada para leluhur dan para dewata.
Pura Gaduh bermakna “tempat suci untuk mengadu pada para leluhur dan dewata”.
Kembali ke lontar“Aksara Gagaduhan Pande”dalam hal ini bermakna “aksara yang menjadi pedoman pemujaan Pande”.
Demikian juga salah satu versi tua lontar“Kusuma Dewa”mengatakan bahwa lontar ini adalah“pangungrahan Kuturan kagaduh antuk Sang Amangku Kul Putih”.Dengan kata lain bahwa lontar tersebut adalah ajaran Mpu Kuturan untuk pedoman puja bagi pemangku Sang Kul Putih.
Sementara itu, lontar lain yang sangat relevan dengan keberadaan dan konteks Pura Gaduh adalah lontar“Usana Bali”.
Disebutkan:“Sang Mpu Kuturan makarya bandungan, mwang gagaduhan maring sadesa-desan Sang Ratu Bali, kang umungguh ring Raja-Purana, ring Prasasti aci-acin ing desa”.
Dalam lontar ini dikisahkan bahwa Sang Mpu Kuturan membangun bendungan dan ‘gagaduhan’ di setiap desa-desa yang dikuasai oleh Yang Dipertuan (Sang Ratu) di Bali.
Dari beberapa lontar contoh tersebut, pada masanya kata atau istilah ‘gagaduhan’sinonim atau persamaan dari ‘parahyangan’, yang bermakna tempat memuja atau kini lebih dikenal sebagai ‘pura’.
Sampai kini kita temui di beberapa desa di Bali masih berdiri Pura Gaduh, yang kemungkinan merupakan jejak-jejak ‘gagaduhan’yang dibangun oleh Mpu Kuturan.
Pura Gaduh yang terkenal seperti Pura Gaduh di Desa Blahbatu, Gianyar Bali; Pura Taman Beji Gaduh di Desa Adat Padang Luwih, Dalung, Badung; Pura Gaduh, Desa Sesetan, Denpasar; Pura Gaduh di Binoh, Ubung, Denpasar; Pura Gaduh di Desa Tenganan, Karangasem, dll. Desa-desa tua di Bali masih banyak mewarisi Pura Gaduh yang berdampingan (kadang berfungsi sama) dengan Pura Puseh Desa.
Pura Gaduh di Blahbatuh (Gianyar) dan Pura Gaduh di Sangsit (Buleleng) banyak meninggalkan peninggalan arkeologi yang memberikan banyak gambaran bahwa Pura Gaduh adalah peninggalan bangunan suci yang telah ada jauh sebelum Majapahit berdiri dan merentangkan sayapnya ke Bali. Pura Gaduh di Sangsit meninggalkan jejak arkeologi pemujaan Ganesa atau Bhatara Ganapati.
Sementara Pura Gaduh di Blahbatuh dikabarkan terkait dengan keberadaan Raja Sri Jaya Katong. Pura ini adalah ‘gagaduhan Sri Jaya Katong’. Kitab Pararatonmenyebut keberadaan beliau sebagai raja di Jawa, namun sekaligus muncul di Bali, entah tokoh yang sama atau tidak, perlu kajian terpisah. Yang jelas data ini tidak mengurangi makna kehadiran Pura Gaduh sebagai pura Bali Mula, atau Prebali, atau sebelum masuknya pengaruh Majapahit.
Pura Gaduh di beberapa tempat ini juga berkaitan keberadaannya dengan keberadaan keluarga Prebali Gaduh, sebagaimana disebutkan dalam lontarUsana Bali, yang kini dikenal sebagai keluarga Pasek Gaduh.
Sebagai penutup catatan singkat ini, sekali lagi perlu ditegaskan dan diluruskan pendapat peserta seminar yang saya kutip di awal tulisan ini, bahwa Pasek Gaduh dan Pura Gaduh tidak ada hubungannya dengan kegaduhan atau keributan.
Pura Gaduh adalah tempat suci pemujaan untuk‘angaduh’ atau‘mangaduh’(menguncarkan puja dan doa) dan secara tradisional umumnya keluarga Pasek Gaduh adalah keluarga yang bertanggungjawab mengampu kelangsungan puja dan doa untuk ‘ngastiti’(mendoakan) keselamatan krama desa dan kehidupan umumnya di Pura Gaduh yang ada. (T)
Catatan Harian, 12 April 2017