BILA teater berlari terlalu cepat, perlukah ekselarasi dikurangi? Atau teater mesti buang waktu jalan di tempat sementara, menunggu masyarakt mengejar, agar bisa jalan bareng? Atau wajib mundur menjemput warga yang terlambat?
Semuanya menawarkan kompromi. Bagaimana jika tidak peduli? Apa salahnya orang teater menolak kmpromi?
Apa kata pelukis Afandi ketika dihimbau Sanggar Bambu ’59, untuk berbagi ilmu pada para pelukis muda di Yogya? “Saya sedang mengejar kemajuan para perupa di mancanegara, jangan diminta membimbing, kalau mau belajar, kejar saya,” kata Maestro itu.
Jadi kalau seorang sekelas Afandi sukses walau menolak kompromi, apa salahnya teater meniti sikap yang sama? Sejak kapan tak sudi kompromi itu terlarang?
Tak ada yang melarang tak sudi kompromi. Tetapi harus diingat, pelukis itu adalah seniman perseorangan. Ia pejuang tunggal. Suksesnya, sukses individual. Sementara teater adalah sebuah kerja kolektif. Teater seperti kesebelasan sepak bola membutuhkan “tim”.
Anggota teater banyak. Untuk membuat monolog pun memerlukan awak pentas. Kesuksesan teater sangat tergantung pada kerja kelompok dan apresiasi penonton.
Pelukis hanya perlu kurator, kolektor atau kritikus, untuk mengantarnya sukses. Teater perlu dukungan ratusan bahkan ribuan penonton yang silih berganti untuk mengukir prestasi.
Peukis banyak yang justru sukses karena melawan arus. Teater yang melawan arus ada juga yang sukses tapi kebanyakan tak punya penonton. Tanpa penonton teater hanya menunggu waktu kapan akan lenyap.
Kompromi tak selalu harus diartikan mengalah atau mengendorkan sepak terjang. Kompromi bisa diberi interpretasi lain, sebagai tantangan.
Larangan SARA yang diberlakukan, agar dalam hal ini seni pertunjukan tidak mengakibatkan adanya gesekan lewat teater dalam masyarakat multi kultur, tidak membuat teater kikuk. Juga ketilka diberlakukannya keharusan naskah di-acc kepolisian sebelum pementasan, tak membuat produksi teater berkurang.
Justru kini, setelah reformasi, saat batasan sudah begitu kendor, produksi teater menipis. Kenapa? Karena banyak saingan. Betul. Karena banyak teater tak mau kompromi dengan desa-kala-patra.
Di Jakarta, misalnya, di tengah begitu banyak alternatif hiburan, teater harus mampu bersaing. Orang ibukota bukan tak tahu teater kontemporer atau teater eksperimental. Tapi hidup keras membuat mereka butuh hiburan. Mereka tak mau nonton yang bikin mereka pusing dan resah. Mereka ingin hiburan ringan. Teater yang lucu, ringan, banyak kritikan akan laku keras.
Kompromi pada hakekatnya memang batasan. Karena ada hal-hal yang semula bukan masalah, jadi masalah. Seakan mempersempit kesempatan. Tetapi orang teater bisa membalik kendala itu justru jadi “doping”. Bukankah pipa air untuk menyiram halaman, bila dicekek, agar tendangan airnya lebih beringas?
Kompromi dengan menukar sudut pandang, langsung bisa jadi pasokan energi. Mailing sakit encok yang kepepet ketanggor tembok ketika dikejar massa bisa meloncati tembok yang mengagetkan yang bersangkutan sendiri.
Teater mementaskan drama. Hidup teater sendiri juga bisa didramatisir dengan memasuki desa-kala-patra. (T)
Jakarta 1 April ’17.
BACA JUGA: Catatan Kecil Putu Wijaya: Kompromi (1), Bukan Kekalahan