JANGER kuno dari Desa Menyali, Buleleng, sesungguhnya bisa membuat sejumlah seniman di Bali, sedikit agak malu. Janger itu kuno, diyakini sudah ada sekitar tahun 1938, namun kesenian itu seeolah memberi pelajaran bahwa kebebasan berkreasi dalam kesenian Bali sudah dilakukan sejak zaman dulu – zaman ketika istilah-istilah seni semacam seni inovatif, seni kontemporer, seni kolaborasi, dan seni postmodern, belum dikenal apalagi diucapkan sefasih seniman masa kini.
Belakangan sejumlah seniman di Bali memang sedang mengidap latah yang akut. Sedikit saja menciptakan gerakan yang berbeda dari tari tradisional (padahal meniru gerak tari tradisional di luar Bali) sudah merasa menciptakan tari kontemporer. Sedikit saja mengadopsi unsur modern semisal tata lampu, kostum, dan musik, sudah bilang seni inovatif. Hanya menggabungkan sejumlah unsur seni sudah mengaku melakukan kreasi.
Tontonlah janger dari Desa Menyali. Setelah “terkubur” puluhan tahun, janger itu direkonstruksi dan dipentaskan kembali di desa setempat pada malam Hari Raya Galungan, Rabu 5 April 2017. Penontonnya melimpah. Selain dipentaskan di desa setempat, rencananya Janger Menyali akan ditampilkan pada Pesta Kesenian Bali 2017, Juni mendatang.
Dari hasil rekonstruksi diketahui Janger Menyali memang berbeda dengan seni janger yang berkembang di Bali saat ini. Meski berbeda, bukan berarti Janger Menyali “lebih kuno” dari janger zaman sekarang. Meski secara usia bisa dibilang kuno, Janger Menyali justru menunjukkan sisi-sisi modern bahkan kontemporer, terutama pada bagian kostum dan sejumlah lagu-lagunya.
Jipak & Parik
Jika pada janger masa kini penari pria biasa disebut dag, dan penari wanita disebut janger, maka penari pria pada Janger Menyali biasa di sebut jipak, dan penari perempuannya disebut parik. Masing-masing jipak dan parik berjumlah 12 orang.
Gerakannya masih mirip dengan janger yang dikenal belakangan ini. Namun hal yang cukup mengejutkan adalah kostumnya. Para jipak mengenakan kostum pejabat dan serdadu Belanda (yang zaman kini jadi kostum nasional). Pakai baret, baju kemeja, dasi, ikat pinggang, sepatu, dan kacamata. Tampak unik, namun dari situ bisa dilihat betapa dulu (saat kita masih berstatus terjajah) sebuah kesenian bisa tercipta dari perasaan yang amat bebas tanpa terkungkung aturan-aturan yang kemudian disebut pakem.
Seorang jipak, I Gede Suriaka, menuturkan bahwa sejak dulu kala busana penari Janger Menyali memang seperti serdadu Belanda. Baret warna merah di kepala, kemudian baju putih lengkap dengan dasi panjang berwarna hitam. Lalu, memakai sabuk, mengenakan lencana atau pangkat serta sepatu lengkap dengan kaos kaki panjang. “Tak lupa, kacamata hitam sebagai kejutan, dipakai ketika sedang pentas,” katanya.
Lagu-lagu yang dibawakan dalam pentas Janger Menali itu adalah gending kuno yang tercipta saat-saat pejuang Indonesia sedang berjuang meraih kemerdekaan. Seperti gending pembuka berjudul Ida Dane, kemudian diikuti dengan lagu Dewa Ayu Janger, Krempyang-krempyang, Saudara-Saudari, Mekacamata, Adi Cangcang dan Ratu Gusti.
Lagu-lagu itu memang biasa-biasa saja, seperti lagu jejangeran pada umumnya. Tapi pada zaman itu, lagu-lagu itu didesain dengan sadar sebagai lagu populer, yang jenaka, mudah diingat dan tak begitu banyak dibebani pesan moral, kecuali pesan tentang bagaimana bergaul dengan sesama manusia. Nadanya tetaplah pelog atau selendro, tapi liriknya boleh dibilang bebas dan lepas, bahkan bisa dianggap sudah menggunakan lirik dengan perspektif modern.
Simaklah lirik lagu Saudara-saudari yang berbahasa Indonesia:
Saudara dan saudari/ Saudara dan saudari/ Terimaafkan saya menjadilah janger/ Ini janger dari Menyali kampung kanginan/ Akan tetapi masih bodoh/ Bapak-bapak, ibu-ibu supaya bapak tau/ Ibu, bapak/ saudara dan saudari/ Terimaafkan saya menjadilah janger Saya terlalu bingung/ Saya terlalu bingung tidak pikir diri bodoh/ Senang menari janger/ Boleh bilang saya sombong/ Dan lagi tidak malu kepada orang panonton//
Lagu Saudara-saudari hanya satu dari sejumlah lagu-lagu Janger Menyali yang liriknya menggunakan bahasa Indonesia. Ada sejumlah lagu lain dengan lirik bahasa Indonesia, namun kini masih dalam proses “aransemen ulang” untuk dipertunjukkan dalam pementasan berikutnya, termasuk dalam PKB nanti.
Yang menarik, selain kostum berbau Belanda, terdapat sebuah lagu dengan tema rayuan antara jipak dan parik yang juga menyinggung-nyinggung gaya hidup orang Belanda. Saat si jipak melancarkan rayuan gombal, si parik memberi syarat bahwa mereka akan menerima rayuan jipak jika jipak membelikan pakaian bergaya Belanda.
Dari situ tampak, betapa kuat pengaruh gaya hidup kolonial dalam seni Janger Menyali. Di sisi lain, seniman-seniman Menyali di masa lalu ternyata sudah membuka diri dan memiliki kesadaran untuk terbebaskan dari pakem seni Bali sekaligus melakukan kreasi dengan menyerap pengaruh dari luar Bali.
Kenapa mereka dipengaruhi gaya Belanda, tentu karena hanya gaya Belanda yang mereka tahu dan mereka kenal saat itu. Jika saat itu mereka mengenal gaya Italia, Perancis, atau Amerika, bisa dibayangkan gaya janger seperti apa yang akan mereka ciptakan di Desa Menyali — sebuah desa yang sesungguhnya sangat jauh dari pusat Kota Singaraja yang menjadi pusat pemerintahan kolonial saat itu.
Kostum Belanda memang sesuatu yang bikin heran. Kostum laki-laki atau dag dalam janger yang berkembang di Bali, juga di Buleleng belakangan ini, lebih banyak menggunakan pakaian seperti penari muani pada umumnya, antara lain menggunakan kamben-kancut, udeng atau gelungan, badong, tentu saja tanpa alas kaki dan kacamata hitam. Bahkan suatu kali pernah ada penari dag menggunakan kostum seperti tari Kebyar Duduk, atau kostum laki-laki seperti dalam tari Oleg Tambulilingan.
Yang agak mirip, dag pada janger yang berkembang kini tetap menggunakan baju, tapi bukan kemeja, melainkan baju dengan hiasan renda warna-warni atau ukiran bercat prada. Kadang ditambahi gelang kana di pergelangan tangan dan juga pada lengan. Pokoknya, kostumnya disesuaikan dengan kostum umum yang tampak pada penari atau pemain dalam seni pertunjukan tradisional Bali.
Sekitar tahun 1970-an hingga 80-an, ketika seni janger sangat populer di kalangan pelajar (terutama untuk acara perpisahan), masih terdapat kostum dag menggunakan kombinasi antara seragam sekolah dengan kostum tradisional Bali. Baju dan celananya tetap baju sekolah, biasanya diisi selempang selendang untuk variasi, namun di bagian kepala sudah dihiasi udeng songket atau udeng prada.
Yang menarik, kerap celana sekolah tetap digunakan, namun tetap juga menggunakan kamben-kancut. Baju sekolah tetap digunakan, namun badong juga tetap dipakai. Kemungkinan kostum-kostum itu masih dipengaruhi gaya janger berkostum Belanda dari Desa Menyali.
Lagu-lagu pada janger sekolah juga lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Tema lagu juga tak jauh-jauh dari tema selamat datang, selamat menonton, lengkap dengan ungkapan rendah hati, minta maaf dan mengaku bodoh. Lagu lain juga tak jauh dari tema muda-mudi, rayuan gombal dan pesan tentang persaudaraan.
Janger Politik
Mungkin karena kebebasan dalam berekspresi, terutama dalam bahasa dan kostum, seperti itulah maka janger dengan mudah bisa digunakan sebagai alat propaganda politik. Tahun 1950-an hingga terjadinya prahara politik 1965, di sejumlah desa di Bali konon banyak tumbuh sekaa janger dengan lagu-lagu yang berisi pesan-pesan kampanye partai politik.
Pada zaman Orde Baru pernah terdengar Janger P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila). Lagu-lagunya tentu saja berisi tema yang diambil dari butir-butir Pancasila. Selain itu, banyak lagunya juga berisi puja-puji terhadap pemerintahan Orde Baru.
Kini, janger terkesan sangat megah dan wah, karena menggunakan kostum ala penari Bali secara umum dan sangat lengkap dengan motif dan kombinasi yang kadang terkesan rumit. Di tengah kondisi seperti itulah Janger Menyali yang sudah kreatif sejak dari sononya itu dihidupkan kembali seakan menyindir upaya kreatif yang dilakukan seniman Bali di tengah mudahnya anggaran produksi, canggihnya teknologi pertunjukan dan banyaknya event kesenian, di zaman yang amat kontemporer ini. (T/ole/sumbangan data Kardian, Hardianta dan Eka)