SELALU menyenangkan membaca cerpen yang mengajak pembacanya berpikir dan menunjukkan usaha penulisnya dalam bereksplorasi. Terasa makin istimewa bila itu didapat dari cerpen berbahasa Bali dan ditulis oleh penulis perempuan yang jumlahnya memang tidak banyak. Seperti melihat perempuan yang mencoba keluar dari cangkangnya, lepas dari keterbatasan-keterbatasan dan kungkungan yang mengikatnya.
Sebelumnya, Sastra Bali Modern mengenal nama-nama Mas Ruscitadewi, Luh Suwita Utami, dan Putu Novi Suardani di penulisan cerpen. Kemungkinan masih ada penulis perempuan lain namun luput dari catatan, termasuk dalam ulasan singkat ini. Kini gairah itu berlanjut pada Dewa Ayu Carma Citrawati, dengan buku kumpulan cerpen, Kutang Sayang Gembel Madui yang meraih hadiah sastra Rancage 2016.
Buku ini memuat 13 cerpen, yang kalau diperhatikan lebih teliti menunjukkan pembabakan proses kreatif penulis. Terlihat peningkatan antara cerpen-cerpen yang barangkali ditulis lebih awal dengan yang ditulis dalam kurun waktu belakangan. Buku ini seperti terbelah dua, antara cerpen-cerpen yang datar dengan yang menarik.
Tanpa bermaksud mengatakan cerpen konvensional itu buruk, cerpen-cerpen yang menonjol dalam buku ini sebagian besar memiliki daya ungkap yang segar, baik dari segi alur maupun sudut pandang penceritaan. Tema yang digarap juga beragam dan tak terjebak pada stereotif perempuan yang mencoba melawan dominasi laki-laki dalam kerangka isu feminisme, seperti kebanyakan penulis perempuan. Citra seperti keluar dari cangkang cerpen berbahasa Bali yang selama ini terkesan minim eksplorasi. Kalau pun ada, hanya satu dua penulis yang melakukannya.
Eksplorasi gaya bercerita terlihat pada cerpen Sira Sane Iwang. Menggunakan alur flash back, cerpen ini berkisah tentang cinta antara Dewa Ayu Ratih dengan Gede Yuda yang tidak mendapatkan restu orang tua. Ratih yang pada akhirnya memiliki kehidupan rumah tangga baru, kembali terusik oleh masa lalunya terkait anak hasil hubungan pranikahnya dengan Gede Yuda.
Dari segi tema, cerpen Sira Sane Iwang biasa. Yang menarik adalah bagaimana cerita ini dituturkan, juga perpindahan sudut pandang yang digunakan, dari orang ketiga ke orang pertama begitu juga sebaliknya. Penulis juga melatih pembacanya untuk berpikir, dengan tanda-tanda, bukan fakta yang terang benderang.
Dalam cerpen Made Wijaya dan Komang Ayu, Citra bermain-main dalam wilayah fsikologis yang diderita tokoh-tokohnya. Made Wijaya, tokoh dalam cerpen yang sekaligus sebagai judul, senantiasa terjebak dalam ingatan akan masa lalunya, yang sebenarnya sudah tidak ada lagi, dan kehilangan kewarasannya setelah dihantam rasa kehilangan yang begitu keras. Adapun dalam Komang Ayu, Citra menguak secara perlahan kelainan kejiwaan tokoh guru sekolah dasar yang menyukai anak-anak, atau yang marak dikenal sebagai perilaku pedofilia.
Absurditas dan surealisme terlihat dalam cerpen Dedari, Isin Keneh, Nyujuh Langit dan Nyuryakang Bade. Dedari menggambarkan seorang pemuda yang memilih pergi ke dunia lain di mana dia bisa membebaskan dirinya dan keluarganya dari derita hidup, hutang dan kesulitan lainnya. Sekilas cerpen ini mengingatkan pada kejadian-kejadian gaib di luar nalar, berupa plaibang samar, atau dikuasai makhluk halus, yang kerap terdengar di masyarakat.
Isin Keneh menyajikan tokoh yang berambisi bisa membaca pikiran orang lain untuk mengetahui siapa yang benar-benar tulus kepada dirinya dan siapa yang tidak. Setelah berhasil, bukannya kebahagiaan yang didapat, tapi justru keterasingan dari lingkungan dan kesendirian. Dalam cerpen ini penulis berhasil meramu nuansa surealisme dengan humor yang jenaka.
Nyuryakang Bade menggabungkan dunia metafisika (indigo) melalui tokoh Gadagan yang memiliki penglihatan akan masa depan melalui mimpi. Cerpen ini dituturkan dengan sangat menarik kendati ending cerita mudah ditebak. Sementara dalam cerpen Nyujuh Langit, absurditas justru diakhiri dengan kejutan yang meruntuhkan semua bangunan imaji yang telah dirancang dari awal. Apa yang dialami tokoh Putu Darma dalam pesawat ternyata hanya sebuah mimpi, sebuah ending yang datar untuk tidak mengatakannya klise dan kadaluwarsa.
Cerpen lain, Tresna Kaput Bobab menarik dari segi penceritaan karena menyelipkan benda-benda yang bisa berbicara layaknya manusia. Benda-benda ini, seperti pisau dan talenan, tidak hanya menjadi saksi dari konflik rumah tangga antara Luh Sari dengan Putu Jaya, tapi juga menjadi narator yang memperjelas cerita. Luh Sari adalah gadis pemalas, tidak tamat sekolah, diusir dari rumah, lalu pura-pura hamil agar dinikahi lelaki yang dicintainya, Putu Jaya. Tapi selama lima tahun menikah, Luh Sari pada akhirnya tetap tidak hamil, yang membuat Putu Jaya tak percaya lagi pada Luh Sari dan berniat menikah lagi dengan perempuan lain, Luh Gadung.
Kurang Fokus
Beberapa cerpen dalam buku ini memang menarik dari gaya penceritaan dan juga tema. Penulis juga tampak sabar dalam membuat alur, tidak terburu-buru atau tergesa. Dialog antar tokoh berlangsung dengan sangat alami, khas karakter-karakter masyarakat Bali. Tokoh mengekspresikan perasaannya secara jelas lewat bahasa-bahasa yang memang menggambarkan perasaan tersebut.
Kesabaran ini tak selamanya berhasil memang, karena di sana sini masih dijumpai penulis seperti keblalasan dalam mengerem fokus ceritanya, seolah ingin menyampaikan begitu banyak hal dalam sebuah cerita padahal tidak semua peristiwa berkaitan dengan si tokoh. Hal ini juga tidak bisa dikatakan sebagai gaya lanturan, gaya ngalor ngidul yang seolah tidak ada hubungannya, yang sengaja dilakukan untuk memperkuat karakter atau suasana.
Sebagai contoh, dalam cerpen Sira Sane Iwang, ketika Ratih yang perasaannya berkecamuk karena diminta pulang kembali ke Klungkung oleh ibunya, lalu teringat masa lalunya yang kelam, pertengkaran dengan si ayah, terdapat satu paragraf panjang di mana Ratih masih sempat memperhatikan dengan teliti seorang pengemis di jalanan. Ratih yang ketika itu mengendarai sepeda motor juga memikirkan fenomena pengemis yang membawa pisau atau barang-barang lain untuk ditukar, bahkan ada yang memanfaatkan anak kecil untuk mengundang belas kasihan.
Apakah itu ada hubungannya dengan gejolak batin Ratih? Apakah itu kelebatan peristiwa tanpa makna dalam cerita yang sejatinya hanya menggambarkan kesibukan pemikiran sekaligus hasrat penulisnya untuk menyampaikan sesuatu? Sudah pasti ada banyak peristiwa yang terjadi dalam hidup ini yang kadang tumpang tindih, berkelebat begitu saja, termasuk peristiwa-peristiwa di seputaran tokoh, haruskah semua ditampilkan dan menyerbu ke dalam satu cerita?
Perhatikan juga cerpen Komang Ayu. Cerpen ini diawali dengan kecemasan tokoh guru karena akan menjadi pembina upacara di sekolahnya. Tapi ketika perlahan digambarkan guru tersebut bercengkerama dengan para siswanya, terutama siswa perempuan, untuk kemudian sampai pada tindakan pedofilia, juga sepintas masa lalunya, lalu kekerasan yang dilakukannya, kita melihat sama sekali tidak ada hubungannya dengan narasi di awal mengenai kecemasan menjadi pembina upacara. Ini jelas-jelas bukan gaya lanturan, karena dipotong pun narasi awal cerpen itu tidak akan merubah inti cerita.
Apakah penulis di luar kendalinya secara tak sengaja memasukkan rutinitas yang memang biasa dilihat atau dihadapinya sebagai seorang guru? Apakah penulis tengah mencoba membuat ceritanya sealami mungkin dengan memasukkan salah satu hal yang biasa menjadi momok seorang guru? Jika demikian, hal ini sebenarnya sama sekali tidak berhubungan dan sedikit mengacaukan cerpen yang berpotensi menjadi sangat bagus.
Sebuah cerpen yang baik, barangkali pada dasarnya adalah juga latihan buat pembaca, bahwa cerpen tak harus terang benderang, diperlukan ketelitian dan usaha untuk memahaminya, untuk menafsirkannya. Namun eksplorasi gaya bertutur dan perpindahan sudut pandang yang tidak rapi terkadang dapat mengaburkan cerita, terlebih tanda-tanda yang coba diberikan penulis tidak cukup kuat dengan maksud yang hendak disampaikan.
Bagaimana pun juga, kehadiran Citra dalam peta Sastra Bali Modern sepatutnya tidak hanya dipandang dari sisi bahwa dia penulis perempuan, bahwa dia meraih hadiah Sastra Rancage, tetapi juga kesegaran dan kebaruan yang terus dikembangkan penulis-penulis muda. Kesegaran yang tak sebatas dalam gaya ucap, yang tak hanya buduh mencipta, berkarya namun juga mendedahkan makna, mengungkap sisi-sisi kehidupan manusia. (T)