TEPUK tangan bersahutan usai tarian “Sesapi Ngundang Ujan” dipentaskan di atas panggung. Pandangan mata ratusan pengunjung di Bentara Budaya Bali masih terpaku pada bentangan layar yang menampilkan ikan-ikan dalam akuarium. Sedetik suasana kemudian hening. Namun tak lama perhatian penonton beralih. “Calon Gubernur Air” yang dijaga dua pengawal masuk ke dalam ruangan.
Ia mulai kampanye sambil berjabat tangan dengan semua penonton. Layaknya seorang calon penguasa, dia menawarkan diri sekaligus meminta dukungan untuk melaju ke “pentas kekuasaan”.
Begitulah Cok Sawitri mengawali pementasan Arja Siki “Kampanye Calon Gubernur Air” untuk memaknai perayaan Perempuan dan Air. Ekspresi tawa, sedih, geram melebur dalam pementasan yang berlangsung di Bentara Budaya Bali, Sabtu malam, 18 Maret 2017.
Inti pementasan seniman asal Karangasem itu berpusat dalam isu krisis air. Pembahasan tentang tata kelola air dan benturan kebijakan lingkungan di Bali diartikulasikan secara variatif. Kritik, edukasi, dan informasi, berjalan komunikatif melibatkan semua penonton yang hadir. Orasi penolakan reklamasi Teluk Benoa juga mewarnai pementasan tersebut.
Lebih dari sekedar keprihatinan tentang krisis air, alur yang dimainkan Cok Sawitri juga menguraikan corak kecanggihan kekuasaan dunia politik. Misalnya saja, ketika Cok Sawitri bercerita tentang seseorang yang sering dia lihat berganti-ganti baju partai politik untuk kepentingan kampanye.
Sekejap, cerita itu langsung menggelakkan penonton. Namun sesungguhnya ia menegaskan kegelisahan, bahwa bagaimana cara kekuasaan memanipulasi kesadaran masyarakat dalam merajut perilaku politik. Penonton diajak untuk menjelajahi logika hedonisme kalangan elite kekuasaan. Maka, ke mana air mengalir bila dibenturkan ke sebuah tembok besar kekuasaan?
Ada pesan jenaka tersirat dalam poster kampanye sang calon gubernur air itu. “Pilih yang Sedang Tidak Haus!”. Kalimat sederhana ini sekaligus menjadi pisau genealogis yang langsung menyayat ke jantung persoalan. Kata ‘haus’ disertai tanda seru membawa pada penjelajahan makna penuh sindiran yang tegas.
Di dalam setiap komponen kebudayaan Bali tidak akan lepas dari kebutuhan terhadap air. Sistem irigasi serta teknologi pembagian air secara tradisional berkali-kali disampaikan Cok Sawitri sebagai warisan leluhur yang merawat generasi para penerusnya. Di sinilah ia menyisipkan keterkaitan hubungan antara air dan perempuan. Aspek feminisme dalam tradisi Hindu di Bali yang menjaga sumber air selalu diwujudkan bergelar Dewi yang berorientasi dalam pemaknaan mengayomi. Ini menjadi penekanan penting untuk direnungkan.
Pesan itu disajikan berimbang dengan pola membangun kesadaran, bahwa masyarakat harus cerdas menyikapi kebutuhan politik agar tidak terjebak dalam ilusi industri dan kekuasaan. Salah satu contoh menarik ketika Cok Sawitri menjelaskan bahwa penggunaan air dalam satu hotel bisa memenuhi kebutuhan tiga desa.
Pementasan Arja Siki “Kampanye Calon Gubernur Air” berhasil memikat antusiasme penonton. Tata pencahayaan dan pengaturan suara yang membalut pementasan membuat penyampaian semakin asyik diterima penonton. Namun tidak semua penonton bisa menyaksikan utuh pementasan itu karena penataan letak kursi yang tidak sesuai dengan pengaturan panggung. Banyak penonton yang memilih berdiri di sisi ruangan agar bisa lebih jelas menyaksikan. Mereka tidak ingin melewatkan setiap pesan dari pementasan Cok Sawitri yang penuh perenungan tentang kemuliaan perempuan dan air.
Cok Sawitri menampilkan Arja Siki “Kampanye Calon Gubernur Air” untuk memaknai Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret. Pementasan itu tampak penuh wibawa apalagi menggunakan visual art: instalatif art, yang dirancang oleh Adrian Tan. Musik dari Sekeha Geguntangan “Semut Production” serta tata cahaya dan suara oleh Agung Anom Antida Darsana membuat pementasan itu menjadi sempurna.
Tarian Sesapi Ngundang Ujan oleh Kelompok Misra dengan koreografer Ida Ayu Arya Satyani yang menjadi pembuka pementasan itu juga menjadi semacam intro yang mengantarkan penonton ke pentas sang Calon Gubernur Air. (T)