SUATU hari di tahun 2012, Pak Gerson diantar putranya berkunjung ke kediaman saya di kompleks perumahan Jonggol, Cileungsi. Hujan deras ketika itu, saya menyongsongnya untuk membukakan pintu pagar dan membawakan payung.
“Sastrawan jaman sekarang pada mapan, ya. Punya rumah…” selorohnya mengomentari tempat tinggal saya. Saya jawab, ini rumah orang Opa, saya hanya mengontrak. Kami lalu banyak bercakap tentang banyak hal. Termasuk rencana kegiatan yang akan kami ikuti esok harinya. Kebetulan, saya dan Pak Gerson diundang untuk mengisi sebuah seminar budaya di kota Kupang.
Selain kami, panitia juga mengundang Putu Wijaya dan Radhar Panca Dahana. Kami membahas rencana keberangkatan itu dan kemudian ngobrol banyak hal soal perkembangan seni sastra di NTT. Ia menanyakan kepada saya beberapa nama orang muda yang ia dengar aktif menggerakkan seni sastra di wilayah itu. Saya menerangkan satu persatu.
Bahkan bukan hanya tentang generasi muda, tapi saya juga menjelaskan siapa-siapa dari kalangan tua di NTT yang masih konsisten mendukung aktivitas generasi muda itu. Saya sebutkan contohnya bapak DR.Felysianus Sanga yang menjadi guru besar di Undana, Kupang. Tentu saja ia gembira mendengar perkembangan itu.
Mungkin hampir tiga jam kami bercakap-cakap, hingga ia minta pamit. Sore keesokan harinya, kami bertemu pula di kota Kupang. Tanpa hujan deras tentu saja. Selagi Pak Putu Wijaya dan Radhar Panca Dahana beristirahat di penginapannya masing-masing, Pak Gerson kemudian mengajak saya berjalan kaki ke beberapa bagian kota Kupang.
Menurutnya, dari tampilan fisik, tidak banyak perubahan yang menonjol di kota itu, kecuali hotel dan cafe malamnya. Satu-satunya yang hilang, selorohnya, adalah tempat kencing yang aman di ruang terbuka. Tentu saja kami terkekeh-kekeh.
Tidak ada topik yang bisa luput dari perhatian Pak Gerson. Ia tipe sastrawan yang kompleks dan detail. Soal-soal strategi pembangunan yang salah banyak dikritiknya. Ia juga menaruh minat yang besar pada kearifan lokal sebagai modal pembangunan. Pembangunan yang tidak mengapresiasi kekayaan kearifan lokal, katanya, menciptakan keterasingan bagi masyarakatnya sendiri.
Ia mencontohkan pertanian berbentuk Lodok Lingko di Manggarai, Flores Barat. Yang pagar kebunnya cuma 20 meter tapi bisa melindungi kebun satu hektar. Tampilan artistiknya saja sudah estetika, berbentuk roda sepeda kalau itu kebun dan berbentuk sarang laba-laba kalau itu sawah. Dan ada juga kearifan budaya lokal berupa mamar pusaka yaitu kebun tanaman keras sehingga dapat disebut taman di Pulau Rote. Desa-desa di Indonesia, menurut Pak Gerson, seharusnya dibangun berdasarkan nilai-nilai yang seperti itu.
Ia sungguh menyesalkan, betapa jutaan bangsa ini terus terasing dari buminya yang subur dan lautnya yang kaya. Kakinya di bumi subur dan laut kaya tetapi kepalanya di padang pasir dan gurun es kutub. “Lihat saja jutaan manusia berbondong di kota-kota urban. Sehingga kata pakar, urbanisasi adalah setan.
Mau tanam apa di hutan beton? Jika seorang memiliki lahan (yang subur), dengan mengorek-ngorek tanah, dalam tiga atau empat bulan sudah ada ubi, sayuran, padi dan sebagainya. Mengapa mesti merantau jauh-jauh keluar negeri sehingga terhina sebagai budak (-upah)” lanjutnya lagi penuh semangat.
Dalam situasi keterasingan, orang kehilangan mimpi. Padahal tanpa mimpi kebangsaan yang kuat, orang tak bisa membangun kebangsaan yang kuat. Di situlah, menurut Pak Gerson sastra perlu berperan. Setiap sastrawan,katanya lagi, perlu keberanian membangun utopia dengan kejernihan hati nurani dan kegilaan estetika yang dimilikinya
“Sastra saya merupakan mimpi. I have a dream. Manusia Indonesia perlu sekali kembali kembali ke bumi subur laut kaya. Di sana tempat lahir beta, kata sebuah lagu. Di sana ada piring raksasa yang bernama kebun, sawah, bahkan hutan buah-buahan dan sebagainya. Transmigrasi raksasa dan modern perlu dilakukan oleh pemerintah kita. Desa-desa baru yang modern yang menjadi bagian dari kota-kota beranda yang menerima tamu-tamu ekonomi perlu diciptakan segera. Itulah mimpi saya, perjalanan menuju utopia on earth”
Dan ia konsisten dengan idealismenya yang semacam itu. Karya-karyanya merupakan jembatan ke wilayah yang ia sebut via regia, jalan utama yang membawa manusia ke alam ketidaksadaran (unconscious ). Novel atau cerpen yang realistis sekalipun, baginya merupakan perjalanan menuju mimpi utopis yang merupakan dinamika tersembunyi dalam dunia unconscious.
“Sastra, science, teknologi, ekonomi, politik, pembaruan sosial, semuanya digerakkan oleh intuisi kreatif yang datang dari bumi unconscious itu. Puisi lebih menunjukkan hal itu. Puisi lahir dari fibrasi intuisi kreatif yang dikandung dunia taksadar, bergetar melalui tangga-tangga taksadar, bawahsadar, bergerak ke negeri kesadaran rasional yang telah bergabung dengan imajinasi, perasaan, naluri dan kemerduan bunyi kata-kata sehingga lezat seperti rendang Padang atau gudeg Jogja.” papar Pak Gerson pada saya.
Tentu masih banyak lagi topik-topik yang kami perbincangkan selama kurang lebih tiga hari bersama di kota Kupang itu. Dan sungguh mengesankan, ia selalu bersemangat mendiskusikannya. Mungkin hal itu paralel dengan semangat menulisnya. Selama lima puluh tahun berkarya (1955 – 2012), Gerson Pyork telah menulis tidak kurang dari seratus judul buku.
Ia punya tumpukan kliping karyanya sendiri di rumah dan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Sampai hari tuaanya dan hingga ajal memanggilnya, ia masih aktif berkomunikasi dan berdiskusi dengan banyak orang, baik dari kalangan sastra, petugas partai, dan orang dari berbagai latar belakang ilmu. Semua hal ia ladeni.
Tak heran, kalau di perpustakaan pribadinya di rumahnya yang sederhana di kawasan Depok, buku-buku dari berbagai macam bidang ilmu berderet. Mulai dari buku-buku matematika milik anaknya yang jadi dosen di Universitas Indonesia, buku-buku filsafat, teologi, sosiologi, psikologi, sampai ke buku bacaan anak-anak.
Ia juga punya kamar kerja yang unik. Sebidang ruang yang terdiri dari sebuah meja tua dan bangku panjang yang ia buat sendiri. Konon, dulu ia sempat bercita-cita jadi tukang.Waktu masih sekolah dasar, ia suka ikut ayahnya membangun rumah tiang kayu dan dinding bambu, atap alang-alang. Ketika di Amerika, ia sempat berkunjung ke kampung halaman Thoreau di Walden Pond.
Ia ingin menjadi tukang seperti Thoreau. Ia bercerita bahwa tembok rumah induknya bergelombang karena semennya ditempelkan dengan tangan, dilempar ke susunan batako lalu digosok-gosok supaya rata tetapi tetap tak rata. Namun semennya banyak sehingga kuat sekali. “Namun tak sempurna. Ternyata perlu lama sekali waktu latihan, baru bisa seperti tukang sejati..” katanya pula.
Dan ke situ lah ia, kini, ke kesejatian itu. Ia sudah mendahului kita. Rumah yang semennya bergelombang itu, kini tentu akan berganti dengan rumah yang lebih tenang, lebih teduh dan abadi. Semoga, semoga. Selamat jalan sastrawan. Semoga apa yang engkau tinggalkan, dapat memberi inspirasi bagi kehidupan sastra Indonesia yang lebih baik di masa-masa depan. (T/RDP)
Jakarta 2017
Biodata dan Karya
Gerson Poyk dilahirkan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931. Peserta angkatan pertama dari Indonesia pada International Writing Program di Iowa University Amerika Serikat ini, memenangkan Hadiah Adinegoro pada 1985 dan 1986, dan SEA Write Award pada 1989. Novel dan kumpulan cerita pendeknya, antara lain: Hari-hari Pertama (1968), Sang Guru (1971), Matias Ankari (1975), Oleng-kemoleng & Surat-surat Cinta Rajaguguk (1975), Nostalgia Nusatenggara (1976), Jerat (1978), Cumbuan Sabana (1979), Seutas Benang Cinta (1982), Giring-giring (1982), Di Bawah Matahari Bali (1982), Requiem untuk Seorang Perempuan (1983), Anak Karang (1985), Doa Perkabungan (1987), Impian Nyoman Sulastri dan Hanibal (1988), Poti Wolo (1988).