Alien sudah pulang mengendarai roket balon.
Membawa Wiji Thukul menjelajah galaksi.
Tanpa lembaran puisi ”Kenangan Anak-Anak Seragam.”
Sebab, Wiji Thukul lebih berharga.
Kita tersenyum bahagia, melambaikan tangan.
Mengucapkan sampai jumpa kembali.
Ah, mungkin jangan kembali lagi.
Kenyamanan ini sudah kekal.
MARI merenungi penggalan puisi Wiji Thukul dalam kumpulan puisi “Aku Ingin Jadi Peluru”: “……//pada masa kanak-kanakku//aku jadi seragam//buku pelajaran sangat kejam//aku tidak boleh menguap di kelas//aku harus duduk menghadap papan di depan//sebelum bel tidak boleh mengantuk//……”
Ini memperlihatkan penggalan sejarah pendidikan masa lalu yang tampak suram. Namun, apakah potret itu masih terulang kembali dalam pendidikan masa kini? Ah, mengapa terlalu tenggelam dalam kegelisahan Wiji Thukul? Cukuplah tidak melupakan sejarah, dan jadikan sejarah itu cermin dalam memperbaiki pendidikan ini.
Jadi teringat suatu kali. Meski baru menginjak usia Paud/TK, bukan berarti anak-anak tidak bisa belajar tekanan udara. Sebuah sains yang mungkin hanya bisa dipelajari oleh anak SMP/SMA.
Bahkan, mungkin paradigma ini menjadi parasit pada sebagian guru. Namun, bisa juga menjadi sebuah tantangan yang sangat besar bagi seorang guru.
Kini pertanyaannya, apakah guru mau mengambil tantangan itu? Apakah hanya menjalani rutinitas pada zona nyaman? Tentu dibutuhkan seorang guru yang mampu berkreativitas, memotivasi, dan menjadi model. Terkadang banyak guru terperosok jauh dalam tekanan kurikulum atau dari si pemberi kebijakan pendidikan.
Sabtu pagi, dua orang pengajar, Kak Juli dan Kak Dayu datang ke Paud Kumara Sentana, mempersiapkan berbagai hal dan membuat setting kelas. Sebuah persiapan untuk mengkondisikan imajinasi anak sehingga tidak lagi mendengar, “Aku bosan” dari mulut anak.
Sound system, laptop, rekaman suara Alien, dan headphones disiapkan. Ketika anak-anak mulai memasuki ruang kelas, mereka mulai bertanya-tanya.
“Kak, kok ada tape gede dan laptop? Kakak pasti mau nelpon Alien ya?”
Anak itu mungkin teringat cerita Alien yang meminjam celana dalam ketika membahas tema pakaian. Kak Juli mulai memakai headphones dan menghubungi Alien.
“Apa kabar anak-anak PAUD?”
Terdengar suara Alien seperti suara yang pernah ditonton di film.
“Kabar baik. Kenapa tidak datang ke sini? Sudah lama Alien tidak datang lagi,” anak-anak menjawab dalam imajinasi
yang begitu hidup. Ia merasa rindu akan kehadiran teman imajinasinya itu.
“Saya tidak bisa datang karena pesawat rusak,” kata Alien dengan nada sedih.
Mendengar kejadian itu, anak-anak penasaran.
“Kenapa bisa rusak?” tanya anak-anak.
“Pesawat rusak habis menabrak batu,” jawab Alien yang semakin membawa imajinasi anak semakin tinggi.
“Gimana sekarang? Gimana cara memperbaikinya? Tak bisa datang Aliennya,” keluh anak-anak yang merasa sedih tidak bisa bertemu Alien.
“Maukah bantu saya membuat roket dengan balon, pipet, plerter, dan benang? Pasti bisa jemput saya dengan roket balonnya,” kata Alien yang memberikan harapan dan semangat bagi anak-anak.
Anak-anak bersama Kak Juli dan Kak Dayu dengan penuh semangat membentangkan benang dan memasukkan sedotan untuk jalan roket balon. Anak-anak dengan semangatnya meniup balon. Namun, ketika balon ditempel di sedotan dengan plester, balon meledak karena balon tipis.
Peristiwa itu pun terjadi berulang-ulang hingga persediaan balon habis. Akibat kegagalan itu, salah-satu anak bernama Ani menangis sedih karena tidak bisa menjemput Alien.
Ani meminta kak Juli untuk mengambil balon lagi. Kak Juli pun merayu Ani agar tidak bersedih lagi. Ia janji setelah istirahat makan akan membuat roket balon lagi.
Ketika istirahat makan selesai, Ani menagih janji itu. Ani bersama anak-anak lainya pun membuat kembali roket balon. Akhirnya, roket balon berhasil meluncur menjemput Alien. Anak-anak bertepuk tangan riang gembira.
“Cepat datang Alien di Paud!” teriak mereka.
“Anak Paud sangat hebat dan pintar bisa membatu membuat roket balon. Baik, saya akan segera datang,” puji Alien kepada anak-anak.
“Dadah Alien,” tanda perpisahan anak-anak dengan Alien dalam sambungan telepon.
Ketika sedang menunggu kedatangan Alien, Kak Dayu bertanya kepada anak-anak. “Kok bisa ya, balonnya bisa meluncur?”
“Ya bisa, didorong angin. Angin keluar dari balon,” serempak dengan penuh semangat anak-anak menjawabnya.
Ini salah satu cara untuk menarik imajinasi anak dalam belajar tekanan udara yang sederhana.
Ah, mengapa saya menulis pengalaman ini? Sadarlah, mungkin pengalaman ini akan terhapus begitu saja di papan putih. Papan putih yang selalu setia menemani teriakan “yes” anak di ruang kelas ketika bel pulang sekolah berbunyi.
Jika teriakan kata “yes” terus terulang dalam pemahaman seperti suasana puisi Wiji Thukul, berarti tidak ada guru yang berani mengambil tantangan tadi, apalagi keluar dari zona nyaman. Sebab, guru yang berani mengambil tantangan itu harus memiliki wawasan yang luas. Wawasan yang luas mampu merangkai pemahaman yang holistik sehingga menjadikan mereka kreatif, mampu memotivasi dan menjadi model.
Namun, ada masalah besar dalam budaya pengembangan wawasan guru. Sebagian besar pendidik tidak mau mengembangkan wawasan di luar bidang yang dikuasainya, bahkan mungkin pengembangan wawasan di bidang keahliannya itu tak pernah dipraktekkan.
Jika kita menanyai 10 guru yang baru menerima gaji, ”Apa yang pertama kamu beli?” Mungkin hanya 1 guru yang menjawab: ”Saya akan membeli buku untuk menambah wawasan.”
Lalu, kita ingin menjadi guru yang bagaimana? (T)