Judul Film:
Manchester By The Sea
Produser:
Kimberly Steward, Lauren Beck, Matt Damon, Chris Moore, Kevin J. Walsh
Pemain:
Casey Affleck, Michelle Williams, Kyle Chandler, Lucas Hedges, Gretchen Mol
Sutradara/Skenario:
Kenneth Lonergan
SEBAGAI salah satu kandidat film terbaik 2016, Manchester by the Sea memberikan pengalaman menonton yang berbeda dengan film-film Hollywood lainnya.
Biasanya film Hollywood sangat identik dengan alur yang cepat dan lugas. Namun, Manchester by the Sea diceritakan dengan sangat mengalir, sehingga penonton pun terhanyut dalam setiap adegan, apalagi kualitas akting para pemainnya juga patut diacungi jempol.
Lee Chandler (Casey Affleck), seorang tukang yang tinggal di Quincy, Massachusetts, mendapatkan kabar bahwa saudara kandungnya, Joe Chandler (Kyle Chandler) telah meninggal dunia. Segeralah ia menuju kota kelahirannya, Manchester by the Sea, sekaligus untuk memberitahu kabar buruk itu kepada keponakannya, Patrick (Lucas Hedges).
Belakangan, surat wasiat Joe mencantumkan namanya sebagai wali Patrick, yang berarti Lee akan bertanggungjawab atas Patrick hingga ia berusia 18 tahun. Permasalahan makin pelik karena Patrick menolak untuk ikut Lee pindah ke luar kota, karena hidupnya telah berakar di Manchester. Sementara, Lee tidak bisa tinggal di kota itu karena masa lalunya yang kelam.
Awalnya, penonton dibuat penasaran tentang masa lalu Lee. Kemudian, dengan cerdiknya Lonergan menggunakan teknik flashback sehingga penonton pun paham mengapa Lee menjadi begitu antisosial dan terlihat depresi, bahkan sejak film dimulai.
Film ini juga didukung oleh karakter-karakter lain yang sangat kuat. Seperti Randi (Michelle Williams), mantan istri Lee yang telah menikah kembali. Masa lalu keduanya yang pahit membuat Randi menyalahkan Lee, sehingga rumah tangga mereka pun berantakan.
Namun, seiring waktu berjalan, Randi sadar bahwa ia tak pantas berlaku demikian kepada Lee. Ada sebuah adegan emosional dimana Randi meminta maaf kepada Lee, sementara Lee merasa kesulitan untuk berurusan dengan perasaannya sendiri.
Aku merasa bahwa kualitas akting Casey Affleck menunjukkan peningkatan sejak ia berperan dalam The Assassination of Jesse James by the Coward Robert Ford (2007). Bahkan, aku seperti melihat ada usaha untuk keluar dari bayang-bayang nama besar kakaknya, Ben Affleck, yang memang telah lama dikenal dalam jagat perfilman. Dan dia melakukannya dengan amat baik.
Di film ini, Casey Affleck berhasil menjadi Lee Chandler yang murung, depressed dan kadang mudah tersulut amarah. Lewat perannya di film ini, Casey Affleck dinominasikan sebagai aktor terbaik dalam ajang Academy Awards 2017. Aku pikir dia memiliki kesempatan yang sangat besar untuk memboyong Piala Oscar tahun ini.
Bagiku, menonton film ini seperti menonton drama Korea; alurnya pelan, para pelakonnya terus berusaha menguras emosi penonton, serta warna-warna yang ditonjolkan cenderung kusam. Namun, warna-warna kusam ini secara tidak langsung turut berkontribusi menambah kesan murung yang memang sengaja ingin ditampilkan oleh Lonergan.
Menurutku, Lonergan memang ahli dalam menciptakan suasana seperti itu. Aku jadi ingat ketika menonton film garapan Lonergan yang lain, You Can Count on Me (2000). Alurnya juga (kurasa) sangat lambat, bahkan cenderung menonjolkan emosi karakternya. Jangan-jangan ini adalah usaha Lonergan untuk menciptakan trade-marknya? Entahlah.
Aku sendiri sangat suka dengan cara Lonergan bertutur lewat dialog para pemainnya. Terbukti dia dinominasikan sebagai sutradara terbaik dan penulis skenario asli terbaik di Academy Awards 2017. Kupikir raihan enam nominasi di ajang Piala Oscar sudah cukup membuktikan bahwa film ini patut ditonton oleh para pecinta film. (T)